Categories
Kesehatan Sosial Budaya

Media Sosial Bisa Rangkul Orang Tua Cegah ‘Stunting’ pada Anak

  • Media sosial sangat potensial untuk menyebarkan informasi MPASI yang kredibel guna mencegah ‘stunting’
  • Platform ini disukai para ibu karena lebih mudah dijangkau dan praktis dalam mencari informasi MPASI.
  • Pemerintah perlu menyediakan kanal rujukan dalam mencari informasi MPASI kredibel sesuai dengan standar kesehatan.

Tren penggunaan media sosial sebagai sumber informasi makanan pendamping ASI (MPASI) meningkat seiring dengan makin banyaknya jumlah pengguna media sosial dari kalangan ibu muda.

Studi tahun 2024 mengungkapkan bahwa 57% dari 1.631 ibu di Indonesia—terutama Milenial dan Gen Z berusia 26-30 tahun—mencari informasi MPASI lewat media sosial, seperti Instagram dan TikTok.

Pemberian MPASI sejak usia 6 bulan (dengan jumlah, frekuensi, tekstur, serta variasi makanan yang tepat) sangatlah penting, karena bisa mengurangi risiko stunting pada anak. Kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi terus-menerus ini masih menghantui 4,48 juta balita pada 2025.

Untuk membantu menurunkan angka stunting nasional yang masih tergolong tinggi, media sosial bisa dimanfaatkan dalam menyebarkan kampanye pemberian MPASI yang tepat dan kredibel.

Potensi kampanye MPASI lewat media sosial
 Riset tahun 2024 dalam Indonesian Journal of Public Health menunjukkan bahwa para ibu cenderung menyukai konten-konten MPASI dari media sosial. Survei dari Teman Bumil dan Populix pada 2021 mengungkapkan hal serupa. Sebanyak 1.179 ibu bahkan mengaku sering mengikuti tren MPASI di media sosial, baik dari influencer dengan latar belakang pendidikan kesehatan maupun selebritas.

Misalnya, beberapa peserta mengikuti tren baby led weaning (BLW), yang membiarkan anak usia di atas 6 bulan mengonsumsi secara mandiri MPASI dalam bentuk potongan-potongan kecil, seperti sayur rebus, daging ayam rebus, hingga buah potong.

Para ibu beranggapan bahwa media sosial lebih mudah dijangkau, hemat, dan praktis dalam mencari informasi MPASI. Studi tahun 2019 mengungkapkan bahwa para ibu mengaku lebih mudah memahami konten-konten dari ibu lain yang sudah berpengalaman membuat MPASI untuk anak-anaknya. Alih-alih penjelasan dokter yang sering kali sulit dimengerti karena tidak disertai dengan contoh-contoh praktis.

Selain membantu para ibu memperoleh pengetahuan seputar MPASI, media sosial juga menghubungkan para ibu dengan minat yang sama untuk saling mendukung dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberian MPASI yang sehat.

Apabila media sosial dimanfaatkan dengan tepat, platform ini bahkan dapat berperan sebagai pendukung layanan kesehatan yang membantu masyarakat memperoleh informasi kesehatan secara cepat, termasuk seputar MPASI.

Penelitian tahun 2025 yang melibatkan 76 ibu di Kota Bogor, Jawa Barat mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial (seperti Instagram) efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik pemberian MPASI yang tepat.

Secara tidak langsung, hal ini akan mengurangi beban fasilitas maupun tenaga kesehatan di Indonesia yang belum merata, terutama di daerah-daerah kecil.

Media sosial sarana komunikasi publik tepercaya
Di sisi lain, masifnya konten MPASI di media sosial, membuat para ibu merasa kebingungan ketika menerima informasi yang berbeda-beda mengenai suatu topik yang sama. Kebingungan ini terutama dirasakan oleh para ibu berpendidikan rendah, yang lebih rentan mempercayai informasi yang tidak akurat.

Banyak konten-konten MPASI di media sosial yang kebenaran informasinya tidak terverifikasi, memiliki data yang tidak lengkap, dan tersebar luas tanpa adanya pengawasan. Ini berbahaya karena dampak dari konten tersebut bisa menimbulkan risiko serius bagi kesehatan anak.

Salah satu contohnya adalah mitos bahwa MPASI perlu diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan. Faktanya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru menganjurkan agar bayi hanya menerima ASI eksklusif hingga usia 6 bulan guna mencukupi kebutuhan gizinya.

Pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan justru berisiko membuat anak mengalami diare, hingga mengembangkan obesitas di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyediakan kanal media sosial khusus yang membahas topik-topik seputar kesehatan ibu & anak, termasuk pemberian MPASI. Kanal ini bisa menjadi rujukan bagi para ibu dalam mencari informasi kredibel yang sesuai dengan standar kesehatan.

Pemerintah bisa mengadaptasi pendekatan komunikasi terkini yang relevan dan menarik. Kolaborasi dengan influencer berlatar pendidikan kesehatan juga bisa jadi pilihan.

Untuk meluruskan informasi MPASI yang tidak tepat di masyarakat, pemerintah perlu memproduksi konten tandingan yang memverifikasi keilmiahan, serta menjawab mitos dan fakta seputar tren MPASI di masyarakat.

Melalui konten-konten MPASI yang terverifikasi dan disajikan secara menarik, para orang tua dapat belajar langsung mengenai seluk beluk MPASI (seperti pilihan menu, cara memasak, jumlah, frekuensi, hingga penyimpanannya).

Sebagai orang tua, kita juga perlu kritis untuk mengecek kebenaran informasi MPASI dari media sosial. Jangan menelan mentah-mentah informasi dari satu sumber, serta lakukan pengecekan ulang dari sumber terverifikasi lainnya (seperti jurnal ilmiah ataupun pernyataan lembaga kesehatan).

Ketika masyarakat memperoleh informasi MPASI yang kredibel dan memanfaatkannya dengan tepat, kesehatan masyarakat akan ikut meningkat sehingga beban fasilitas kesehatan juga ikut berkurang.

Cegah stunting dimulai dari masyarakat
Di tengah lambannya penurunan angka stunting di Indonesia, pemerintah perlu terus mencari cara untuk menekan kasus penghambat pertumbuhan anak ini. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran media sosial dalam menyebarkan konten MPASI.

Optimalisasi penggunaan media sosial yang terverifikasi bisa menjangkau lebih banyak orang tua untuk mendapatkan informasi yang relevan dan kredibel, mendukung pelayanan kesehatan, menutup kesenjangan informasi antara orang tua dengan tenaga kesehatan, serta meringankan beban fasilitas kesehatan di masa depan.

Cara ini memang tidak bisa menyelesaikan akar masalah stunting yang disebabkan oleh beragam faktor, tapi bisa memperbesar peluang kita untuk mempercepat langkah pencegahan yang dimulai dari masyarakat.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 4 Agustus 2025

Lutviah
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada komunikasi pemberdayaan, promosi kesehatan, gender dan pembangunan.

Categories
Sosial Budaya

Regulasi Konten di Platform Digital

Komisi I DPR RI dalam tiga bulan terakhir menggelar pembahasan maraton terkait revisi UU Penyiaran No. 32/2002. Ada indikasi pembahasan dipercepat, meski risikonya produksi aturan jadi tidak tuntas. Dari sejumlah isu yang terbengkalai sejak gagasan revisi muncul di tahun 2012, ada sedikitnya tiga isu besar yang kini mendapat perhatian serius dan menjadi penyebab perlunya revisi UU Penyiaran disegerakan.

Pertama, pengaturan terkait konten dan tata kelola penyiaran yang menggunakan saluran platform digital (OTT, media sosial dan kecerdasan buatan/AI), agar ada keselarasan dengan lembaga penyiaran lain dalam ekosistem bisnis terbuka. Kedua, pengaturan penguatan Komisi Penyiaran sebagai regulator yang berwibawa, profesional seperti di negara maju. Ketiga, regulasi untuk transformasi lembaga penyiaran publik (RRI, TVRI), penyatuan keduanya dengan LKBN Antara menuju media yang profesional. Artikel pendek ini fokus kepada isu pertama.

Disparitas Regulasi
Merespons upaya Komisi I DPR tersebut, kiranya perlu dipahami dua hal. Pertama, mencermati beragam regulasi media penyiaran di negara industri media yang maju, seperti Kanada, Australia, Jerman, atau Amerika Serikat, regulasi terkait penyiaran konvensional dan platform digital serta produksi siaran yang memakai saluran media sosial dan AI cenderung beragam, tidak terpusat pada satu UU tertentu. Ini disebabkan perbedaan model bisnis, struktur teknologi, sejarah kelahiran, tata kelola produksi dan ekosistem atau aktor/pihak terkait, khususnya platform digital yang berskala global.

Kedua secara umum, perlu terlebih dahulu dilakukan redefinisi konsep ‘penyiaran’, memasukkan penyiaran berbasis (terestrial) dan berbasis platform (VOD/OTT, media sosial dan AI). Nah, pengaturan konten berbasis media sosial AI dapat dimandatkan ke UU ITE (yang direvisi) karena UU Penyiaran perlu tetep berfokus kepada sistem penyiaran klasik, terestrial digital, termasuk over the top seperti Netflix, Video, atau Amazone-Prime yang tetap sangat urgen dan karena melibatkan kerja korporasi media secara utuh (dari ide, produksi, supervis, hingga diseminasi) agar memenuhi kepentingan publik.

Sementara itu, konten siaran yang disalurkan media sosial perlu diatur tersendiri di luar rezim UU Penyiaran, karena proses produksinya melibatkan publik selaku produsen (user generated content). Dalam konteks ini, ekosistem aktornya lebih kompleks dan memerlukan intervensi platform digital selaku penyedia lapak (layar). Menarik dicatat, sudah cukup banyak regulator negara yang mengatur platform digital. Misalnya Komdigi dari sisi tata kelola teknologi/infrastruktur dan konten khusus, Dewan Pers (etik konten: utamanya menyasar jurnalis), Komisi Penyiaran Indonesia (etik: menyasar lembaga penyiaran), Komite tanggung jawab platform untuk jurnalisme berkualitas (pembagian keuntungan bisnis antara platform digital global dengan penyedia konten lokal).

Terdapat disparitas asumsi terkait posisi platform digital sebagai media, perusahaan global sektor ‘media komunikasi’ seperti halnya media konvensional, atau hanya rumah besar konten penyiaran. Perdebatan masih terjadi karena ekosistem bisnis platform yang berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional. Dalam praktek, ada variasi regulasi penyedia konten digital, sejak pengenaan pajak pendapatan oleh Kementerian Keuangan, pemberlakuan kode etik relasi antara platform dengan pengguna dalam kerangka self-regulation lewat community guidelines; kewajiban take down akun media sosial oleh Komdigi yang terbatas untuk tiga isu yaitu terorisme, pornografi, judi/narkoba; kewajiban moderasi konten dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (self-regulation antara perusahaan platform-users).

Lalu di mana letak urgensi pengaturan platform digital (UGC) dalam UU Penyiaran? Hingga saat ini,regulasi publik terkait layanan video on demand oleh perusahaan OTT seperti Netflix, Apple, Amazone-Prime, masih kosong, nir-regulasi. Jika merujuk model di Kanada, maka ada tiga opsi regulasi yang berbeda: (1) penyiaran klasik/digital terestrial, (2) penyiaran berbasis jalur streaming, (3) pengaturan konten siaran di platform media sosial. Apakah di Indonesia ketiga klaster ini akan diatur dalam UU tunggal? Jika ya, maka akan terjadi kondisi obesitas regulasi yang dapat memperlambat implementasinya. Juga, perlu penguatan Komisi Penyiaran Indonesia yang perlu didiskusikan tersendiri.

 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 21 Juli 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.