Categories
Sosial Budaya

Regulasi Konten di Platform Digital

Komisi I DPR RI dalam tiga bulan terakhir menggelar pembahasan maraton terkait revisi UU Penyiaran No. 32/2002. Ada indikasi pembahasan dipercepat, meski risikonya produksi aturan jadi tidak tuntas. Dari sejumlah isu yang terbengkalai sejak gagasan revisi muncul di tahun 2012, ada sedikitnya tiga isu besar yang kini mendapat perhatian serius dan menjadi penyebab perlunya revisi UU Penyiaran disegerakan.

Pertama, pengaturan terkait konten dan tata kelola penyiaran yang menggunakan saluran platform digital (OTT, media sosial dan kecerdasan buatan/AI), agar ada keselarasan dengan lembaga penyiaran lain dalam ekosistem bisnis terbuka. Kedua, pengaturan penguatan Komisi Penyiaran sebagai regulator yang berwibawa, profesional seperti di negara maju. Ketiga, regulasi untuk transformasi lembaga penyiaran publik (RRI, TVRI), penyatuan keduanya dengan LKBN Antara menuju media yang profesional. Artikel pendek ini fokus kepada isu pertama.

Disparitas Regulasi
Merespons upaya Komisi I DPR tersebut, kiranya perlu dipahami dua hal. Pertama, mencermati beragam regulasi media penyiaran di negara industri media yang maju, seperti Kanada, Australia, Jerman, atau Amerika Serikat, regulasi terkait penyiaran konvensional dan platform digital serta produksi siaran yang memakai saluran media sosial dan AI cenderung beragam, tidak terpusat pada satu UU tertentu. Ini disebabkan perbedaan model bisnis, struktur teknologi, sejarah kelahiran, tata kelola produksi dan ekosistem atau aktor/pihak terkait, khususnya platform digital yang berskala global.

Kedua secara umum, perlu terlebih dahulu dilakukan redefinisi konsep ‘penyiaran’, memasukkan penyiaran berbasis (terestrial) dan berbasis platform (VOD/OTT, media sosial dan AI). Nah, pengaturan konten berbasis media sosial AI dapat dimandatkan ke UU ITE (yang direvisi) karena UU Penyiaran perlu tetep berfokus kepada sistem penyiaran klasik, terestrial digital, termasuk over the top seperti Netflix, Video, atau Amazone-Prime yang tetap sangat urgen dan karena melibatkan kerja korporasi media secara utuh (dari ide, produksi, supervis, hingga diseminasi) agar memenuhi kepentingan publik.

Sementara itu, konten siaran yang disalurkan media sosial perlu diatur tersendiri di luar rezim UU Penyiaran, karena proses produksinya melibatkan publik selaku produsen (user generated content). Dalam konteks ini, ekosistem aktornya lebih kompleks dan memerlukan intervensi platform digital selaku penyedia lapak (layar). Menarik dicatat, sudah cukup banyak regulator negara yang mengatur platform digital. Misalnya Komdigi dari sisi tata kelola teknologi/infrastruktur dan konten khusus, Dewan Pers (etik konten: utamanya menyasar jurnalis), Komisi Penyiaran Indonesia (etik: menyasar lembaga penyiaran), Komite tanggung jawab platform untuk jurnalisme berkualitas (pembagian keuntungan bisnis antara platform digital global dengan penyedia konten lokal).

Terdapat disparitas asumsi terkait posisi platform digital sebagai media, perusahaan global sektor ‘media komunikasi’ seperti halnya media konvensional, atau hanya rumah besar konten penyiaran. Perdebatan masih terjadi karena ekosistem bisnis platform yang berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional. Dalam praktek, ada variasi regulasi penyedia konten digital, sejak pengenaan pajak pendapatan oleh Kementerian Keuangan, pemberlakuan kode etik relasi antara platform dengan pengguna dalam kerangka self-regulation lewat community guidelines; kewajiban take down akun media sosial oleh Komdigi yang terbatas untuk tiga isu yaitu terorisme, pornografi, judi/narkoba; kewajiban moderasi konten dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (self-regulation antara perusahaan platform-users).

Lalu di mana letak urgensi pengaturan platform digital (UGC) dalam UU Penyiaran? Hingga saat ini,regulasi publik terkait layanan video on demand oleh perusahaan OTT seperti Netflix, Apple, Amazone-Prime, masih kosong, nir-regulasi. Jika merujuk model di Kanada, maka ada tiga opsi regulasi yang berbeda: (1) penyiaran klasik/digital terestrial, (2) penyiaran berbasis jalur streaming, (3) pengaturan konten siaran di platform media sosial. Apakah di Indonesia ketiga klaster ini akan diatur dalam UU tunggal? Jika ya, maka akan terjadi kondisi obesitas regulasi yang dapat memperlambat implementasinya. Juga, perlu penguatan Komisi Penyiaran Indonesia yang perlu didiskusikan tersendiri.

 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 21 Juli 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Sosial Budaya

Demi Konten

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang tanpa batas bagi siapa saja untuk memproduksi dan mengonsumsi konten. Namun, kebebasan tersebut sering kali melupakan aspek nalar dan etika. Sensasi dan kontroversi lebih diprioritaskan dibandingkan tanggung jawab moral.

Sangat banyak contoh dan kini terus bertambah konten-konten yang memprihatinkan, tidak hanya melanggar batas etika, bahkan tak sedikit yang melanggar hukum hingga bermain-main dengan kematian. Sekali lagi demi jalan pintas meraih popularitas, viralitas, atau keuntungan finansial dari hasil monetisasi konten.

Jalan raya kini sering dijadikan tempat membuat konten ekstrem oleh remaja, seperti berjoget saat lampu merah atau menantang truk yang melaju. Aksi berbahaya ini berujung tragis, seperti kasus Tangerang ketika dua remaja tewas. Konten yang awalnya dimaksudkan untuk hiburan justru membawa malapetaka.

Bukan hanya masyarakat awam yang terjerat dalam obsesi konten, tetapi juga kalangan selebriti dan profesional. Seorang selebriti dikritik karena menjadikan musibah keluarga, yakni meninggalnya Sang Ayah sebagai konten, mengaburkan batas antara penghormatan pribadi dan eksploitasi.

Di ranah profesional, beberapa tenaga medis melanggar etika demi konten. Dua perawat menghadapi masalah hukum karena merekam pemasangan kateter pada pasien dan mengunggahnya ke media sosial. Kejadian lainnya, seorang perawat bayi di Yogyakarta melanggar privasi pasien dengan merekam dirinya menciumi bayi yang baru lahir dan membagikannya di TikTok.

Mengejar Validasi Sosial
Di tengah beban hidup yang menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hiburan, pakar psikologi mengindikasikan bahwa masyarakat saat ini mulai mengalami gangguan kejiwaan dalam bermedia sosial. Beberapa gangguan kejiwaan yang sering dikaitkan dengan fenomena ini antara lain kepribadian narsistik, social climber atau panjat sosial (pansos), vouyerisme, Internet Asperger Syndrome, dan FOMO (Fear of Missing Out).

Gangguan kepribadian narsistik menyebabkan individu terus-menerus mencari validasi dalam bentuk likes dan komentar, sehingga mereka rela melakukan tindakan berlebihan demi menarik perhatian.

Fenomena social climber memperburuk situasi, ketika individu berusaha meningkatkan status sosial dengan menciptakan konten sensasional mengikuti sesuatu yang sedang disorot publik. Mereka percaya bahwa semakin banyak perhatian yang didapat saat itu, semakin menguntungkan.

Di sisi lain, voyeurisme mendorong individu untuk mengamati dan mengeksploitasi kehidupan pribadinya atau orang lain demi hiburan, tanpa mempertimbangkan aspek privasi dan etika.

Sementara itu, internet Asperger Syndrome mencerminkan bagaimana keribadian individu berubah drastis ketika berinteraksi di dunia maya. Misalnya kehilangan empati dan kesadaran sosial jika sudah memposting sesuatu di media sosal tanpa tidak menyadari bahwa konten yang dibuat dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain di dunia nyata.

FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi faktor utama yang dituding menjadi penggerak banyaknya konten bermasalah. Banyak individu merasa tertekan jika tertinggal dan kehilangan momentum, sehingga terdorong terus membuat beragam konten agar tetap eksis.

Semua atau salah satu faktor di atas berkontribusi meningkatkan kecenderungan individu untuk mengorbankan etika demi mendapatkan validasi sosial dalam bentuk likes, komentar, atau jumlah pengikut, tak jarang diikuti dengan tindakan “mengemis online” untuk mengejar keuntungan instan.

Literasi Digital sebagai Penyeimbang
Untuk mengimbangi fenomena ini, penting bagi pengguna teknologi untuk meningkatkan literasi digital. Pemahaman tentang cara kerja media sosial, bagaimana algoritma mempengaruhi perilaku pengguna, serta dampak psikologis dari konsumsi media digital harus menjadi bagian dari pendidikan sejak dini.

Kesadaran akan etika digital harus dikampanyekan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang eksploitasi demi popularitas, tetapi juga tempat untuk berbagi informasi yang bermanfaat, menginspirasi, dan membangun komunitas yang lebih sehat secara mental dan sosial.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang terjebak dalam ilusi dunia maya dari konten yang tidak berfaedah, di mana nilai dan moral terabaikan demi sensasi sesaat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.