Categories
Politik

Pemilihan Kepala Daerah

Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kembali dipersoalkan, bahkan Presiden Prabowo secara implisit menginginkan agar Pilkada dikembalikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pilkada melalui DPRD sesunggunya bukan isu baru. Pasca reformasi sampai tahun 2005 Indonesia menerapkan Pilkada melalui DPRD. Baru setelah tahun 2005, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang saat ini menjadi Pilkada serentak dan langsung. Tahun 2014 lalu, DPR-RI dan Pemerintah pernah menyetujui penyelenggaraan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, namun hanya sehari setelahnya, UU ini dibatalkan oleh Presiden SBY melalui Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu).

Kalau ditelisik lebih dalam, wacana mengembalikan Pilkada oleh DPRD bukan tanpa alasan sama sekali. Pertama, secara sederhana penyelenggaraan Pilkada langsung membutuhkan cost atau biaya yang jauh lebih tinggi. Mulai dari percetakan kertas suara, distribusi kertas suara, pembentukan TPS, akomodasi panitia pemilihan dan pengawas, gaji panitia dari level kecamatan, desa, hingga TPS, dan masih banyak kebutuhan lain yang sangat besar.

Kedua, fenomena calon tunggal yang melawan kotak kosong semakin menguat setiap kali penyelenggaraan Pilkada. Harus dipahami, Pilkada secara langsung sedikit banyak berkontribusi atas kondisi ini, karena biaya politik yang tinggi menyebabkan partai politik enggan mengusung calon di daerah tertentu. Ketiga, apa yang cukup mengkhawatirkan dalam penyelenggaraan Pilkada langsung adalah menguatnya segregasi sosial, terutama beberapa daerah yang masih menggunakan dan memanfaatkan sentimen religius dan suku dalam mendulang elektabilitas.

Keempat, berbanding lurus dengan itu, adalah tingkat literasi masyarakat, terutama literasi politik yang masih lemah. Jika kita petakan, atau setidaknya telusuri melalui kajian Aspinal 2019 lalu, mayoritas masyarakat sama sekali tidak melihat rekam jejak calon dalam menentukan pilihan, namun digerakkan oleh money politics tim sukses. Artinya, pemilih tidak memilih berdasarkan hati nuraninya, dan calon tidak perlu menunjukkan rekam jejak dan prestasinya, semua dikendalikan oleh politik uang. Pemilu tahun 2024 ini, tampaknya keempat komponen ini bukan saja masih terjadi, tapi justru semakin memburuk.

Wacana Pemilihan Tidak Langsung 

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau tidak langsung, sebetulnya bukan-lah pilihan ideal. Sebagaimana pengalaman masa lalu Indonesia, Pilkada oleh DPRD sangat rentan dikooptasi atau dibajak oleh kepentingan politik penguasa. Dengan jumlah yang lebih sedikit, tentu akan lebih mudah mengendalikan anggota DPRD dari pada masyarakat luas. Maka, adalah rahasia umum jika money politics saat itu juga beredar, namun hanya di kalangan anggota DPRD dan partai politik.

Belum lagi, sekalipun dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) hanya menyebut pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, artinya tidak menyebut langsung maupun tidak langsung, namun perjalanan putusan MK secara konstitusional telah sampai pada penyatuatapan rezim Pilkada ke dalam pemilihan umum, sehingga juga diselenggarakan langsung oleh rakyat. Belum lagi, kalau kita membaca UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD didesain dengan sangat lemah. DPRD adalah bagian dari pemerintahan daerah, bukan lembaga legislatif di daerah. Artinya, sangat tidak konsisten dengan desain awal jika Pilkada diserahkan kepada DPRD. Selain itu, mengembalikan Pilkada kepada DPRD pasti akan berujung pada penolakan rakyat, demo akan terjadi di mana-mana, belum lagi judicial review terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena itu, tulisan ini sampai pada kesimpulan bahwa wacana mengembalikan Pilkada oleh DPRD ini jangan dibaca semata-mata hanya pilihan politik praktis elite. Kita tahu betul, Pilkada langsung saat ini melahirkan berbagai persoalan serius yang memperkuat segregasi sosial.

Isu mengembalikan Pilkada oleh DPRD harus menjadi alarm kuat, bahwa ada masalah pelik dengan pilkada langsung saat ini. Harus ada solusi agar sentimen identitas tidak lagi digunakan, money politics ditekan, politisasi lembaga negara (ASN, TNI, dan Polri) dihentikan, dan yang terutama adalah melembagakan literasi politik kepada seluruh masyarakat. Mengubah desain Pilkada bukanlah solusi, sebagaimana pengalaman dan perjalanan panjang Republik ini.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 24 Oktober 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. Penelitiannya berfokus pada isu hak penyandang disabilitas, perempuan, dan anak, otonomi daerah, dan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan.

Categories
Hukum

Kejahatan Konstitusi

Bagaimana membaca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Batas Usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah? Kita memang kecewa dengan hampir seluruh Putusan MK yang terakhir, mengenai syarat usia calon wakil presiden, mengenai sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden. Tidak hanya kecewa, bahkan publik mengkritik tajam putusan itu, sekaligus mengalamatkan telunjuk jari pada kemandirian dan kapasitas hakim MK.

Namun, semua itu dilakukan tetap dengan kesadaran penuh bahwa Mahkamah Konstitusi adalah the sole interpreter of the constitutionî. Oleh karenanya publik menerima putusan MK sebagai jalan hukum legal yang harus dipilih. Ini adalah prinsip yang kita sepakati bersama saat mendirikan Mahkamah Konstitusi. Di banyak negara, Mahkamah Konstitusi apapun putusannya menjadi akhir dari polemik politik berkepanjangan.

Pada selasa 20 Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi menge- luarkan Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, kedua putusan ini mengatur tentang syarat usia calon kepala daerah dan/atau kepala daerah yang sebelumnya berdasarkan keputusan MA 30 tahun terhitung sejak pelantikan, menjadi terhitung 30 tahun sejak penetapan calon sebagaimana Peraturan KPU sebelumnya, serta tentang syarat ambang batas calon kepala daerah dengan syarat calon perseorangan. Sehari pasca putusan MK, DPR melakukan sidang bersama pemerintah dan menyepakati untuk mengenyampingkan putusan MK dan mengikuti putusan MA, serta menolak menerapkan ketentuan ambang batas sebagaimana ditentukan putusan MK.

Melihat animo yang beredar, kalangan akademisi, aktivis, dan jaringan masyarakat sipil, memberi apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi atas Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Tentu saja, jika dibaca lebih jauh apresiasi yang diberikan bukan terhadap instansi Mahkamah Konstitusi atau hakim MK, namun terhadap nilai keadilan dan kebenaran yang diakui bersama terkandung di dalam putusan. Tidak ada yang berubah dari komposisi hakim MK, artinya kita dapat memahami, dalam hegemoni kekuasaan seperti saat ini, mengeluarkan Putusan a quo bukanlah perkara gampang dan mudah, sudah pasti ada tekanan besar baik dari luar maupun dalam MK sendiri.

Kejahatan Konstitusi

Tulisan ini ingin melihat dinamika yang terjadi dari aspek hukum. Pertama, jika dilihat dari kacamata ilmu perundang-undangan, kedudukan Putusan MK, baik Putusan Nomor 23/P/HUM/2- 024 maupun Putusan Nomor 60/PUU- XXII/2024, sangatlah kuat. Memang ada perdebatan di kalangan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mengenai kedudukan Putusan MK, ada yang mengatakan ia sejajar dengan konstitusi/UUD sehingga berada di atas UUD, ada pula yang mengatakan ia sejajar kedudukannya dengan UU. Terlepas dari perdebatan itu, satu fakta yang diketahui bersama bahwa MK adalah the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution, artinya MK lah satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan UUD dengan Putusannya, lalu membatalkan UU, sehingga sekalipun tidak sejajar dengan UUD, namun Putusan MK setingkat lebih tinggi daripada UU, karena merupakan tafsir langsung atas konstitusi. Karena itu, Putusan MK bersifat final dan binding, artinya tidak dapat diuji lagi dan langsung berlaku pada saat itu juga.

Kedua, dengan demikian, maka secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa penolakan terhadap Putusan MK, bukan saja bermakna pembangkangan terhadap putusan itu sendiri, melainkan pembangkangan terhadap konstitusi. Mengapa demikian, karena Putusan MK sejatinya adalah tafsir konstitusi, atau dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa Putusan MK adalah konstitusi yang hidup. Melampaui terminologi itu, penulis lebih setuju menyebut bahwa sejatinya DPR dan Pemerintah telah melakukan kejahatan konstitusi atau kejahatan terhadap konsti- tusi. DPR dan Pemerintah bukan hanya tidak mau menyelenggarakan Putusan MK, namun dengan kesadaran dan mata telan- jang merancang peraturan yang bertentangan dengan Putusan MK, yang mana putusan itu adalah tafsir konstitusi itu sendiri.

Sayangnya, dalam situasi sulit dan darurat seperti saat ini, tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk me-recall anggota DPR yang telah dipilihnya. Padahal, logika sederhananya, sebagai pemilih orang yang mewakilinya di parlemen, maka rakyat memiliki hak dan dibuatkan mekanisme, jika suatu ketika merasa keinginan wakil tidak lagi sejalan dengan yang diwakilinya, untuk mencabut kembali mandat yang telah diberikan sebelumnya. 

Apa yang dapat dilakukan oleh rakyat hari ini adalah terus mengawal agar Putusan MK sebagai tafsir konstitusi tetap tegak dan dijalankan penyelenggara pemilu, serta terus mengawal berbagai kebijakan pemerintah tetap berada dalam jangkauan kehendak rakyat.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Agustus 2024

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.