Categories
Hukum

Sejarah Negara Teror

Teror terhadap warga yang bersuara kritis kian tak terkendali. Terbaru, teror terhadap FY, penulis opini di salah satu media nasional yang mengkritisi pengangkatan jenderal TNI dalam jabatan sipil.

Setelah mendapat teror, FY meminta media yang memuat tulisannya agar menghapus artikel itu. Penghapusan tulisan diberitakan dilakukan atas rekomendasi Dewan Pers dan dilakukan demi menjaga keselamatan penulis.

Peristiwa yang juga menguat ialah teror terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi salah satu pemohon uji materi (judicial review) UU TNI ke Mahkamah Konstitusi; penarikan lagu band Sukatani yang mengkritik praktik bayar-bayar oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, pemaksaan permintaan maaf terhadap siswa di Bogor yang mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penangkapan mahasiswa ITB karena membuat meme Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo.

Apa yang terjadi pada FY dan peristiwa lain yang hampir serupa sangat memprihatinkan. Hal itu mengingat UUD Tahun 1945 menjamin hak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani; memberikan jaminan atas hak untuk mengeluarkan pendapat; serta jaminan atas hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Teror dan intimidasi yang terjadi seperti meruntuhkan bangunan konstitusional yang selayaknya dijaga dan dijunjung tinggi. Kedaulatan rakyat dihilangkan dengan tindakan represi dan intimidasi.

Negara Teror
Keprihatinan terhadap teror yang terjadi mungkin agak ringan kalau terjadi di level horizontal, di mana warga yang diintimidasi oleh warga yang lain dapat meminta pertolongan aparat negara. Namun, persoalannya sangat serius jika pelaku teror adalah dari aparat negara sendiri.

Apa yang terjadi pada FY dan beberapa kasus di atas, pelakunya diyakini adalah aparat negara yang notabene digaji dengan pajak dari warga untuk menjaga hak atas rasa aman dan membebaskan warganya dari ketakutan untuk berpendapat.

Pertanyaannya, bisakah negara menjadi state terorism kepada warganya sendiri, padahal selayaknya negara bertugas menjaga hak atas rasa aman?

Dalam beberapa studi ternyata sangat mungkin negara jadi pelaku teror. Negara, jika tak diawasi, akan mudah menggunakan kekerasan terhadap warga sipil secara acak, dengan tujuan intimidasi atau menciptakan ketakutan agar tercapai tujuan politik kekuasaannya.

Teror bisa dilakukan oleh negara terhadap negara yang lain, seperti dilakukan Israel pada Palestina, atau teror negara terhadap warganya sendiri seperti yang terjadi di Myanmar.

Rohingya di Myanmar adalah contoh paling jelas dari begitu kejamnya state terorism, di mana pemerintahan yang berkuasa melakukan genosida secara terbuka pada warganya karena alasan ras (ciri-ciri fisik) dan agama. Secara ras, etnis Rohingya dianggap berbeda ciri-ciri fisiknya dengan mayoritas penduduk Myanmar.

Secara agama, etnis Rohingya sebagian besar beragama Islam, sementara penduduk Myanmar mayoritas beragama Buddha. Kondisi ini menjadi alasan pemerintah untuk secara aktif melakukan teror, pengusiran paksa, dan genosida.

Selain Myanmar, ada beberapa negara yang dianggap aktif melakukan teror terhadap warganya dengan alasan yang beragam: perbedaan politik, ideologi, etnis, agama, penguasaan tanah, dan seterusnya. Alasan pemicu bisa sangat beragam, tapi intinya adalah negara yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil dengan cara intimidasi atau menciptakan ketakutan yang di dalamnya memiliki motif politik tertentu.

Di Indonesia, teror secara masif oleh negara terjadi di era rezim Orde Baru, di mana ada begitu banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Antara lain dalam kasus Waduk Kedungombo, Nipah, pemberedelan media massa, DOM di Aceh, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, kasus Talangsari, penghilangan orang secara paksa, kasus Trisaksi (Semanggi I dan II), dan beberapa kasus yang lain.

Kekerasan negara oleh Orde Baru tidak lepas dari konfigurasi politik yang tunggal (homogen) dan monolitik saat itu. Menurut Alfred Stepan,  karakter tunggal dan monolitik terjadi pada tingkat negara (state) dan masyarakat (society).

Pada level negara terlihat solidnya semua unsur yang ada dalam negara sehingga berkarakter tunggal dan tidak ada check and balances; sementara pada level masyarakat terlihat kondisi pengendalian, penundukan, dan pengarahan pada agenda kepentingan politik kekuasaan tertentu.

Kondisi monolitik tersebut mendorong state terorism yang begitu luas, di mana negara melakukan penundukan secara paksa dan represif, baik secara fisik maupun mental, yang kemudian membungkam kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul masyarakat.

Menjaga demokrasi
Alasan penting mengapa kita prihatin terhadap teror yang menimpa warga dan tekanan terhadap media massa adalah karena situasi tersebut terjadi cukup serius di masa lampau dan menjadi luka sejarah yang begitu menyakitkan.

Karena hal tersebut, dilakukanlah amendemen UUD 1945 yang di dalamnya menegaskan perihal kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, dan ada jaminan hak asasi manusia yang menjadi pijakan warga dari segala tindakan dan kebijakan penguasa yang berpotensi melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang.

Jaminan konstitusional tersebut relatif cukup baik mengiringi proses demokratisasi pasca-jatuhnya rezim Orde Baru.

Pemerintahan di era Reformasi telah silih berganti dan terjadi pasang surut dan tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan warga negara.

Suara warga negara dan pers di era awal dan pertengahan Reformasi masih didengarkan, kekuasaan yang menyimpang masih terkritisi, tetapi di periode dua penguasa terakhir konfigurasi kekuasaan menjauh dari semangat negara hukum dan demokrasi.

Teror yang terjadi pada FY yang notabene seorang penulis dan atau terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi pemohon uji materi ke MK di pemerintahan sekarang ini merupakan bukti betapa penguasa dan aparatnya tidak serius belajar dari sejarah.

Yakni bahwa negara ini pernah jatuh pada lubang otoritarianisme di mana penguasa lewat aparat yang terkomando pernah menjadi aktor teror yang bengis pada warganya sendiri, dan negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat) karena hukum lewat konfiguasi politiknya semata mendukung kepentingan kekuasaan yang otoriter.

Terdapat tiga pandangan dalam melihat gerak sejarah.

Pertama, pandangan yang melihat sejarah sebagai sesuatu yang bersifat linier, sejarah bergerak menuju ke arah yang lebih maju. Kedua, pandangan yang melihat gerak sejarah tidak selalu maju, tapi kadang terjadi proses kemunduran saat berada pada tahap kemajuan.

Ketiga, pandangan yang melihat gerak sejarah bergerak secara berputar seperti siklus yang melingkar.

Dalam pembacaan ini, negara Indonesia saat ini seperti mengalami siklus berputar itu, di mana kekuasaan cenderung monolitik, ada dukungan aparat keamanan dan partai yang kuat, serta warga dan media massa ironisnya dikendalikan.

Tentu kita tidak ingin seperti itu. Gerak sejarah Indonesia selayaknya linier, bergerak ke arah yang lebih maju, yaitu negara yang demokratis, humanis dan tidak meneror warganya sendiri.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 Juni 2025

M Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Hukum

Serangan Siber kian Masif, Akankah Angkatan Siber TNI jadi Solusi?

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.

Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam publik. UU ITE saja sudah kerap menjadi alat untuk membatasi publik dalam menyampaikan pendapat.

Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.

Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan disusupi agenda-agenda politik praktis.

Rentannya serangan siber

Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.

Indonesia sendiri termasuk negara yang masih sangat rentan terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.

Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa komponen pertahanan di bidang siber yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.

Namun, kenyataannya masih banyak terjadi serangan siber yang gagal diantisipasi. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.

Contohnya adalah kebocoran data paspor dan penduduk yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.

Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran ujaran kebencian dan hoax di media sosial.

Maka dari itu, usulan munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.

Usulan pembentukan Angkatan Siber ini perlu ditinjau secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.

Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat patroli siber Polri menjadi sangat agresif dalam menegakkan keamanan siber.

Agresivitas ini justru lambat laun menjadi mengkhawatirkan, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. Jika salah langkah, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru mengancam demokrasi.

Antara pertahanan dan keamanan

Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.

Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.

Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini.

Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “Sinergitas TNI-Polri”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.

Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Untuk pertahanan, bukan keamanan

Kita bisa belajar dari Digital and Intelligence Service (DIS), Angkatan Siber Singapura yang baru saja dibentuk pada Maret tahun lalu.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Operasi siber memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil.

Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.

Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 September 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.