Categories
Sosial Budaya

Dilema Hak Kekayaan Intelektual

Bagi para ilmuwan, berjuang untuk tetap objektif dan impersonal adalah suatu keniscayaan. Tindakan personal yang membuat ilmuwan menjadi subjektif dipandang sebagai cacat oleh mereka yang memiliki integritas ilmiah. Menjadi ilmuwan yang objektif sangatlah sulit. Faktanya, ketika ilmu tidak dibarengi dengan kebajikan personal, ilmu menjadi komoditas bisnis.

Fenomena ini dinyatakan oleh Steven Shapin sebagai amoral dilemma. Pernyataan yang cukup keras dialamatkan kepada ilmuwan yang terjebak dalam pragmatisme. Kekawatiran tersebut dituangkan dalam bukunya, The Scientific Life: A Moral History of a Late Modern Vocation (2018). Tampaknya, pandangan Shapin ini semakin disadari di kalangan ilmuwan modern saat ini (the late modern scientists).

Komodifikasi Ilmu
Di era modern ini, dilema moral ilmuwan menjadi beban berat karena perkembangan industrialisasi yang pesat, terutama karena ekonomi modern mendorong industrialisasi berbasis inovasi. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memainkan peran penting. Produk dan jasa dalam bisnis modern dipenuhi dengan atribut hak paten atau HKI.

Mungkin zaman telah berubah, dan tidak ada yang namanya makan siang gratis. Pandangan ilmuwan sebagai wakil Tuhan yang mencerahkan umat manusia telah bergeser ke urusan dunia yang tampak lebih menjanjikan. Karya manusia kini lebih banyak didominasi oleh legitimasi hukum melalui HKI. Hal ini karena bisnis berbasis teknologi inovatif yang sarat dengan hak paten tumbuh pesat di seluruh dunia.

Karya manusia kini lebih banyak didominasi oleh legitimasi hukum melalui HKI. Hal ini karena bisnis berbasis teknologi inovatif yang sarat dengan hak paten tumbuh pesat di seluruh dunia. Di kalangan praktisi bisnis dan industriawan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipandang sebagai aset yang menjanjikan untuk mengakumulasi kekayaan. Banyak ilmuwan akhirnya bekerja untuk mereka, dan komodifikasi atau industrialisasi ilmu tak terelakkan.

Mungkin BYD Technology bisa dijadikan contoh. Perusahaan yang didirikan oleh Mr Wang Chuanfu ini mampu mempekerjakan 100 ribu insinyur dan memiliki sekitar 35 ribu paten. Dalam konteks bisnis modern, ini adalah pencapaian luar biasa. Bahkan, BYD Technology telah melampaui kerajaan bisnis Elon Musk, Tesla. Tentu, dua kerajaan bisnis yang disebutkan tadi bukanlah satu-satunya di dunia ini. Banyak lagi praktisi bisnis yang mengikuti jejak mereka.

Pandangan Tentang Kepemilikan Ilmu
Ada dua pandangan tentang ilmu pengetahuan. Pertama, ilmu dihasilkan dari kepentingan pribadi manusia melalui proses yang terstruktur, sehingga manusia pantas diberikan hak kepemilikan atas ilmu tersebut yang dilindungi oleh undang-undang atau peraturan. Kedua, ilmu pengetahuan hanyalah amanah dari Tuhan, sehingga manusia harus bersyukur dan menyebarkan ilmu tersebut demi kemaslahatan dunia.

 Kedua pandangan ini tidak pernah sejalan, sehingga muncul istilah “moral double standard” di kawasan Asia karena banyaknya pembajakan produk. Mengapa? Karena kawasan Asia cenderung mengadopsi pandangan kedua. Kepemilikan ilmu oleh individu memunculkan monopoli yang mengganggu keadilan sosial dan ekonomi. Ilmu tidak tersebar dengan baik ke seluruh dunia, yang menyebabkan perbedaan mencolok antara dua benua besar, seperti Eropa dan Asia.

Kepemilikan Ilmu oleh Negara
Siapa yang seharusnya mengendalikan kepemilikan ilmu? Ada tiga aliran pemikiran dalam hal ini. Pertama, ilmu adalah anugerah Tuhan, sehingga siapapun boleh menggunakannya. Kedua, ilmu adalah hasil ’self interest’ manusia, sehingga kepemilikannya ada pada individu. Ketiga, ilmu adalah anugerah Tuhan sekaligus pengakuan atas usaha individu, sehingga hasilnya diberikan kepada pihak ketiga, yaitu negara, sebagai wakil Tuhan.

Tentu ini adalah topik yang dapat diperdebatkan. Pendapat pertama dapat ditemukan di kalangan kelompok religius yang memiliki budaya kolektif, di mana kepentingan publik diutamakan daripada kepentingan individu.Bekerja dan berkarya dianggap sebagai ibadah, seperti yang dicontohkan di Indonesia. Banyak karya berharga yang memiliki potensi komersial tidak dianggap sebagai kepemilikan individu.

Misalnya, karya makanan, seni, dan alat pertanian sering dikomersialkan oleh praktisi bisnis tanpa membayar sepeser pun kepada penciptanya. Pendapat kedua ditemukan di kalangan modernis yang memiliki budaya individualis. Kepentingan individu diutamakan, termasuk dalam kepemilikan ilmu yang dilindungi oleh regulasi sebagai dasar hukum atas karya intelektual.

HKI menjadi alat yang kuat untuk melindungi hak kepemilikan ilmuwan atas karya mereka. Hampir semua penemuan menjadi objek hak kekayaan intelektual, dan pengguna harus membayar untuk mengakses karya tersebut. Dalam praktik bisnis, produk yang penuh dengan hak paten menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh banyak orang. Pendapat ketiga menggabungkan kedua pandangan di atas—modernis yang religius. Mungkin kelompok terakhir ini bisa dianggap sebagai perspektif alternatif.

Karya individu adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan disebarkan untuk kebaikan umat manusia. Namun, otorisasi HKI diserahkan kepada negara. Penemuan ilmuwan disebarkan ke berbagai industri oleh negara, melalui skema pembagian keuntungan, pajak, dan mungkin juga skema kemanfaatan untuk tujuan sosial dan pengembangan ilmu. Dampak dari pengelolaan HKI oleh negara dengan harapan kesejahteraan lebih tersebar dengan baik, karena industri menjadi berkembang, lapangan kerja semakin luas, harga produk dan jasa menjadi lebih rasional, dan pendapatan per kapita meningkat.

Tentu saja, para penemu dan ilmuwan disejahterakan melalui mekanisme anggaran negara dalam bentuk penghasilan dan hak istimewa lainnya. Pada akhirnya, karya kebudayaan manusia ini mewujudkan rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Semoga muncul terobosan baru dalam pengelolaan karya ilmuwan melalui perlindungan HKI yang lebih adil demi kebaikan umat manusia.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 4 Oktober 2025

Anas Hidayat
Guru Besar Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII. Bidang riset pada pemasaran berbasis hubungan, pemasaran Islami, dan fenomena pemalsuan produk.