Categories
Hukum Politik

100 Hari Pertama Prabowo-Gibran, Masa Depan Perlindungan HAM Makin Dipertanyakan

Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) merupakan Asta Cita nomor 1 dari prioritas program Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini.

Namun, riset terbaru Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menemukan bahwa performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran justru suram pada 100 hari pertama kekuasaannya, terutama dari sisi substansi peraturan perundang-undangan. Kesenjangan ini menjadi fondasi untuk mempertanyakan masa depan perlindungan HAM dalam lima tahun ke depan.

Riset ini meneliti performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran dari sisi substansi peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama pemerintah. Kami berfokus pada 155 peraturan perundang-undangan, terbagi ke dalam 87 undang-undang, satu peraturan pemerintah, dan 67 peraturan presiden.

Dengan mendefinisikan orientasi HAM berdasarkan pernyataan formal dan eksplisit tentang HAM dalam peraturan-peraturan itu, riset ini berupaya untuk memahami cara pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM di dalam aturan bernegara.

Elemen HAM dianggap minoritas

Riset kami menemukan bahwa selama 100 hari pertama memimpin, pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan.

Temuan ini didasarkan pada penilaian terhadap orientasi HAM di dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan indikator pemuatan HAM dalam peraturan, pemerintahan Prabowo-Gibran memperoleh skor 0,14 dari skala 0-1. Sementara berdasarkan indikator cakupan hukum dan ragam HAM dalam peraturan, pemerintahan saat ini memperoleh skor 0,06 dari skala 0-1.

Peraturan Presiden tentang Kementerian Kehutanan, misalnya, tidak didekati dengan pokok pikiran dan alasan pembentukan yang berbasis HAM. Dasar hukum pembentukannya juga tidak merujuk satu pun instrumen hukum HAM. Begitu juga dengan materi muatannya yang tidak menyatakan pelbagai ragam HAM secara eksplisit dan formal. Padahal, terdapat keterhubungan yang ketat antara isu kehutanan dengan HAM.

Dengan demikian, skor orientasi HAM dalam peraturan-peraturan yang telah disahkan hanya berkisar 0,1 dari skala 0-1, menandakan orientasi HAM yang sangat lemah dari pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Ini artinya, aspek HAM belum menjadi perhatian bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam membentuk peraturan perundang-undangan pada 100 hari pertama.

Memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan bukan pertanda baik dalam upaya perlindungan HAM. Konstitusi menegaskan bahwa pemerintah mengemban tanggung jawab untuk menjamin penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Dengan demikian, tanggung jawab pemerintahan terhadap HAM tidak hanya harus dilakukan, tetapi juga harus sudah terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang disahkan.

Abaikan hukum HAM

Riset ini juga menemukan bahwa pendayagunaan hukum HAM masih sangat terbatas. Dari 15 instrumen hukum internasional dan nasional HAM yang menjadi acuan, hanya satu instrumen yang dirujuk dalam 155 peraturan yang disahkan, yaitu UUD 1945 atau Konstitusi. Di tengah banyaknya instrumen hukum HAM, praktik ini menandakan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung tertutup dari keberadaan hukum nasional dan internasional HAM.

Menurut riset PUSHAM UII, pertimbangan tentang HAM justru sukar ditemukan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan peraturan-peraturan yang telah disahkan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Dalam dasar hukum pembentukan, rujukan langsung pada hukum internasional dan nasional HAM disebut sebagai praktik yang langka. Ragam HAM hampir tidak pernah ditemukan dalam ketentuan pasal-pasal. Selain itu, konstruksi HAM dalam penjelasan resmi atas setiap peraturan amat jarang ditemukan .

Pengucilan HAM

Riset ini juga menemukan empat indikasi lain yang semakin membuat komitmen perlindungan HAM dari pemerintahan Prabowo-Gibran patut dipertanyakan.

Pertama, pengakuan hak-hak masyarakat adat yang setengah hati. Dalam hal ini, pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak yang dinikmati oleh masyarakat adat.

Hal ini terlihat dalam 80 undang-undang terkait penetapan provinsi, kabupaten, dan kota. Seluruh peraturan ini merujuk Pasal 18B ayat (2) Konstitusi sebagai dasar hukum pembentukannya. Pasal ini memang mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat.

Namun, pasal tersebut terletak dalam Bab Pemerintah Daerah di dalam Konstitusi. Ini mengindikasikan bahwa semangat dari pengakuan lebih mengakar pada penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah.

Pengakuan yang berbasis kepemilikan hak, padahal, dapat didasarkan pada Pasal 28I ayat (2) Konstitusi, yang secara khusus terletak dalam Bab Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, perujukan Pasal 18B ayat (2) Konstitusi tanpa diikuti dengan Pasal 28I ayat (2) menunjukkan pengakuan hak-hak masyarakat yang setengah hati dan tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak.

Kedua, terdapat klise pada frasa “Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Tumpah Darah Indonesia dan Memajukan Kesejahteraan Umum” dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini dapat dijumpai, misalnya, dalam penjelasan resmi pada 70 undang-undang penetapan kabupaten dan 9 undang-undang penetapan kota.

Ketika diteliti, frasa yang sama juga dapat dijumpai dalam UU Ibu Kota Negara. Sayangnya, riset lain dari PUSHAM UII menemukan bahwa UU Ibu Kota Negara (IKN), yang memuat frasa tersebut di dalam penjelasan resminya, justru memungkinkan pelanggaran HAM dalam implementasi pembangunan Nusantara. Praktik ini mengindikasikan bahwa dalam praktiknya, frasa tersebut belum dijiwai oleh semangat perlindungan yang substantif.

Ketiga, ketidakjelasan pemaknaan tentang agenda pembangunan berkelanjutan. Frasa “pembangunan…dilakukan secara berkelanjutan” ditemukan di bagian pertimbangan dalam 79 dari 87 undang-undang. Sayangnya, istilah pembangunan berkelanjutan seringkali disalahartikan untuk kepentingan sesaat aparat pemerintah dan mengakomodasi kebijakan yang eksploitatif.

Proyek-proyek besar seperti pembangunan Nusantara dan jalan tol Trans-Jawa, misalnya, telah mengganggu HAM dan keberlanjutan lingkungan hidup. Padahal, kedua proyek ini mengusung konsep “berkelanjutan” di dalam dasar-dasar hukumnya.

Keempat adalah pengucilan bidang HAM. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memerintahkan Kementerian HAM untuk bersinergi hanya dengan Kementerian Hukum dan Kementerian Imigrasi-Pemasyarakatan. Tidak ada perintah serupa bagi kementerian di bidang-bidang lain seperti investasi dan hilirisasi, keuangan, perdagangan, kehutanan, dan pariwisata untuk bersinergi dengan bidang HAM. Padahal, HAM ada di setiap bidang dari seluruh urusan pemerintahan.

Tantangan ke depan

Temuan riset tersebut mengindikasikan bahwa perlindungan HAM tampaknya tidak akan terlaksana secara optimal dalam lima tahun ke depan. Sebab, bagaimana bisa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kemampuan melindungi HAM jika HAM sendiri terlihat tidak menjadi prioritas dalam peraturan perundang-undangannya?

Alih-alih memberikan perhatian secara kuat dan memastikan ruang yang dominan untuk HAM, pemerintahan Prabowo-Gibran justru mengeksklusi HAM dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama. Padahal, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memastikan perlindungan HAM.

Di negara-negara yang menganut prinsip negara hukum, seperti Indonesia, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu realitas di masa depan. Umumnya, keutamaan tentang realitas yang dikehendaki dituangkan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan suatu peraturan.

Kemudian, dengan didukung dasar-dasar hukum yang ada, jalan dan rambu-rambu untuk mencapai realitas itu dirumuskan dalam bentuk ketentuan pasal-pasal. Ketentuan ini menjadi penuntun yang mengikat mereka yang menjalankan pemerintahan, bahkan termasuk setiap orang dalam yurisdiksi negara.

Dengan menempatkan perlindungan HAM yang optimal sebagai realitas di masa depan, keutamaan tentang HAM seharusnya dituangkan, dirujuk, diekspresikan, dan dielaborasi dalam setiap elemen peraturan.

Keberadaan keutamaan tentang HAM ini menegaskan orientasi HAM dari peraturan perundang-undangan. Peraturan yang memiliki orientasi HAM kuat memungkinkan aparat negara, termasuk pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, untuk melindungi HAM secara optimal.

Sebaliknya, orientasi HAM yang sangat lemah dalam peraturan, sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, justru membuka ruang gangguan dan intervensi negara terhadap penikmatan HAM—membuat warga menyangsikan performa HAM dari suatu rezim pemerintahan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Februari 2025

Said Hadi
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum bisnis dan HAM, serta metodologi hukum.

Categories
Hukum

Indonesia Sudah Lama Punya Pengadilan HAM sendiri. Mengapa Kiprahnya Jarang Terdengar?

Pemerintah meluncurkan kick off Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada 27 Juni 2023. Langkah ini diambil atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (Tim PPHAM), yang diketuai oleh Profesor Makarim Wibisono, pakar hukum HAM sekaligus eks duta besar RI.

Hingga kini, setidaknya ada12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih mangkrak. Padahal, mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia memiliki Pengadilan HAM sendiri yang mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lembaga ini sudah berdiri sejak lebih dari 20 tahun silam.

Pengadilan HAM Indonesia pernah menjadi ‘primadona’ perbincangan akademisi pada kurun tahun 2000-an. Setelah itu, seakan tertidur tak terdengar kembali rimbanya.

Pengadilan HAM Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM). Menurut ketentuannya, Pengadilan HAM merupakan bagian dari Peradilan Umum.

Indonesia saat ini memiliki empat Pengadilan HAM permanen yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Makassar, dan PN Medan. Selain itu, juga pernah dibentuk dua Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran sebelum tahun 2000.

Ketika ramai diberitakan tentang mekanisme nonyudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, para aktivis HAM kembali “mencolek” keberadaan Pengadilan HAM ini. Amnesty International Indonesia,  misalnya, masih vokal mendorong dilangsungkannya peradilan melalui Pengadilan HAM.

Jika kita punya Pengadilan HAM, mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial?

Sempitnya yurisdiksi

Setelah dibentuk pada tahun 2000, kritik terbesar bagi Pengadilan HAM adalah bahwa kompetensi kasus yang diadili terlalu sempit.

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki pernah mengkritik bahwa menunggu Pengadilan HAM menyelesaikan kasus pelanggaran di Indonesia hanyalah “harapan semu”, karena terlalu tinggi dan sempitnya level kejahatan yang dapat diadili Pengadilan HAM.

Ini karena yurisdiksi Pengadilan HAM hanya mencakup kejahatan genosida dan kemanusiaan – tipikal kejahatan yang hanya terjadi pada kondisi konflik bersenjata, atau minimal situasi internal disturbance (gangguan keamanan tingkat tinggi) semata. Sederhananya, kasus yang diadili oleh Pengadilan HAM hanya akan terjadi jika Indonesia sedang mengalami kekacauan keamanan.

Terbukti, Pengadilan HAM, baik ad hoc maupun permanen, sedikitnya baru menyelesaikan empat kasus saja sejak dibentuk. Dua pengadilan HAM ad hoc pernah mengadili kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Sementara Pengadilan HAM Permanen pernah menangani dua kasus, yaitu kasus Abepura dan Paniai di Provinsi Papua. Keduanya terjadi setelah tahun 2000. Padahal, setidaknya ada 15 kasus pelanggaran HAM yang telah diproses Kejaksaan dan seharusnya masuk menjadi kompetensi Pengadilan HAM. Artinya, ada 11 kasus yang menunggu untuk diselesaikan.

Pengadilan sandiwara

Pengadilan HAM juga banyak mendapat kritik dari kelompok pembela HAM karena dianggap sebagai “pengadilan sandiwara” dan penuh rekayasa. Nyaris semua kasus yang ditangani Pengadilan HAM hanya dianggap sandiwara semata dan cenderung memberikan kekebalan hukum pada aparat negara yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM.

Dalam kasus Abepura dan Paniai, Pengadilan HAM memvonis bebas para terdakwa yang merupakan personil TNI dan Polri.

Kasus Abepura merupakan kasus pelanggaran HAM pertama yang diselesaikan oleh Pengadilan HAM permanen. Peristiwa ini terjadi pada 7 Desember 2000. Bermula ketika sejumlah massa tak dikenal menyerang Markas Polsek Abepura yang mengakibatkan satu orang polisi meninggal dunia. Merespons penyerangan itu, pihak kepolisian melakukan pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.

Dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan polisi itulah diyakini telah terjadi kejahatan kemanusiaan, mengakibatkan setidaknya dua mahasiswa Papua tewas dan puluhan warga sipil luka-luka.

Saat itu, Pengadilan HAM menjadi harapan banyak masyarakat, terutama para korban dan keluarga korban peristiwa Abepura. Namun, majelis hakim Pengadilan HAM pada tahun 2005 justru memutus bahwa dua terdakwa yang merupakan personel aktif Polri tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.

Putusan bebas ini membuat publik pesimis bahwa eksistensi Pengadilan HAM akan membawa kemajuan bagi penegakkan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM. Sebaliknya, kasus ini justru menegaskan impunitas aparat keamanan terhadap institusi peradilan.

Sementara itu, peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014. Saat itu, warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan oleh aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Namun, pasukan militer malah menembaki warga sipil di sana. Empat pelajar tewas di tempat, satu tewas setelah sempat dirawat di rumah sakit, dan belasan orang lainnya luka-luka.

Pada 2022, majelis hakim Pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang seorang pensiunan TNI. Putusan ini dikecam banyak kelompok masyarakat sipil. Proses persidangan dianggap tidak berkualitas, penuh kejanggalan, dan seakan memang sejak awal dimaksudkan untuk gagal (intended to fail).

Carut marut konsep sejak pembentukannya

Patut dicurigai lemahnya taring lembaga Pengadilan HAM sudah “terdesain” sejak pertama dibentuk. Dengan kentalnya pelibatan TNI dan Polri dalam perumusannya, UU Pengadilan HAM justru berpotensi memberikan impunitas hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat, khususnya yang dilakukan oleh kedua lembaga negara tersebut.

Jika demikian, pantas saja kemauan politik (political will) untuk menuntaskan penanganan kasus pelanggaran HAM oleh negara selama ini sangat lemah.

Ketika pertama dibahas, konsep Pengadilan HAM digadang-gadang bertujuan untuk menangani tuntutan warga negara yang tidak terpenuhi hak-haknya. Namun, hasil pembahasan justru menyatakan bahwa lembaga ini hanya mengadili dua bentuk kejahatan semata, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua kompetensi ini sangat mirip dengan kompetensi yang dimiliki oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang dapat mengadili empat jenis kejahatan: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Ketika UU Pengadilan HAM masih dalam tahap pembahasan pada 1999, dunia internasional tengah mendesak Indonesia untuk mengadopsi dan mengakui yurisdiksi ICC guna menangani kasus pasca-disintegrasi Timor Timur.

Pun pada akhirnya, Indonesia menolak mengakui yurisdiksi ICC dan memilih membentuk Pengadilan HAM nasionalnya sendiri yang memiliki yurisdiksi yang mirip.

Padahal dua kompetensi tersebut telah dikritik sejak dalam pembahasan awal. Dalam catatan Pemandangan Umum Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, dikhawatirkan “pada masa yang akan datang bisa jadi Pengadilan HAM tidak akan dapat bekerja secara efektif, karena langkanya perkara. 

Kritik-kritik ini akhirnya menjadi kenyataan.

Hari ini, kita semakin jarang mendengar kiprah Pengadilan HAM. Sayangnya, hal ini tidak bisa serta-merta kita artikan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi semakin sedikit, karena yang terjadi adalah sebaliknya.

Label pengadilan sandiwara pun masih tersemat. Jika masalah-masalah ini tak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin penanganan kasus melalui Pengadilan HAM akan semakin ditinggalkan. Akibatnya, harapan untuk memenuhi rasa keadilan para korban pelanggaran HAM akan semakin menjadi mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.