Bank syariah sering kali hanya dipahami sebagai lembaga keuangan yang mengganti bunga dengan prinsip bagi hasil atau akad syariah. Padahal, bank syariah seharusnya berperan lebih dari sekadar lembaga komersial, tetapi juga sebagai agen perubahan dalam mewujudkan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Contohnya, Grameen Bank di Bangladesh telah sukses menjadi bis nis sosial yang memberdayakan perempuan, dengan 96,8% nasabahnya adalah perempuan.
Para ulama dan ahli ekonomi Islam seperti Dr. Yusuf Qardawi, Monzer Kahf, dan Umer Chapra juga menekankan pentingnya peran sosial perbankan syariah melalui zakat, wakaf, dan pemberdayaan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan sebuah ekosistem dengan masyarakat nya yang memiliki gaya hidup halal (halal life style). Ekosistem semacam ini dikenal pula dengan ekosistem halal.
Bank syariah tidak hanya perlu mengembangkan produk dan layanan halal sebagai alternatif konvensional, tetapi juga harus menjadi katalisator perubahan menuju halal life style. Bank syariah seharusnya tidak mendorong konsumsi berlebihan melalui pemasaran kredit yang agresif atau penawaran hadiah yang bisa menyebabkan misalokasi pendapatan. Ekosistem halal membutuhkan sinergi lima unsur: pelaku usaha halal, lembaga ekonomi sosial, pemerintah, infrastruktur halal, dan sumber daya insani (SDI). Infrastruktur halal mencakup kawasan industri halal (KIH), laboratorium halal, sistem penelusuran halal, serta standarisasi dan sertifikasi halal.
Dalam ekosistem halal, bank syariah memiliki empat peran strategis. Pertama, sebagai pusat keuangan bagi industri halal, bank syariah harus inovatif dalam menyediakan produk dan layanan sesuai kebutuhan industri halal, baik dalam bentuk skema pembiayaan maupun investasi. Faktanya, menurut data OJK, pembiayaan perbankan syariah tahun 2024 hanya 8,06% dari total kredit nasional, dengan 48%-nya dialokasikan ke sektor produktif, jauh di bawah rata-rata kredit produktif secara nasional (73%). Karena itu, bank syariah perlu meningkatkan strategi pembiayaan produktif agar sektor halal bisa tumbuh seperti sektor makanan, fesyen, farmasi dan kosmetik, pariwisata, dan industri kreatif halal.
Kedua, peningkatan kualitas SDI tidak hanya tanggung jawab dunia pendidikan. Bank syariah harus berkontribusi dalam edukasi dan literasi ekonomi syariah dengan menggandeng lembaga pendidikan dan pelatihan. Program “Praktisi Mengajar” serta magang mahasiswa perlu diperluas dan diperkuat. Selain itu, edukasi ekonomi halal ke pondok pesantren dan sekolah menengah juga penting agar pemahaman ekonomi syariah tertanam sejak dini.
Ketiga, pengembangan infrastruktur ekosistem halal membutuhkan sinergi banyak pihak, termasuk bank syariah. Pembangunan KIH, pusat kuliner halal, destinasi wisata ramah Muslim, dan UMKM halal membutuhkan keteribatan bank syariah sebagai penyedia modal, perguruan tinggi sebagai inkuba- tor bisnis, serta pemerintah daerah sebagai penyedia lokasi. Saat ini, baru ada tiga KIH yang diresmikan, yaitu di Serang Jawa Barat, Sidoarjo Jawa Timur, dan Bintan. KNEKS juga telah mengembangkan Zona Kuliner Halal Aman dan Sehat (KHAS) sejak 2022 di beberapa lokasi, dan ke depan diharapkan KIH hadir di lebih banyak wilayah, termasuk Yogyakarta.
Keempat, sektor sosial syariah seperti zakat, sedekah, dan wakaf berperan dalam meningkatkan kesejahteraan kelompok rentan dan miskin. Bank syariah dapat berkolaborasi dengan lembaga amil zakat (LAZ) dan nadzhir wakaf dalam pemberdayaan masyarakat, baik sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) maupun lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU). Dalam hal ini, bank syariah diharapkan menjadi mediator dan inkubator bagi kelompok rentan.
strategis tersebut, bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai entitas keuangan, tetapi juga sebagai lokomotif dalam mewujudkan ekosistem halal yang inklusif dan berkelanjutan.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Februari 2025
Priyonggo Suseno
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi UII. Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Wilayah DIY. Pengawas syariah pada beberapa entitas bisnis syariah