Categories
Politik Uncategorized

Menyambut Albanese, Memperkuat Kemitraan Indonesia-Australia

Indonesia tujuan pertama kunjungan Albanese. Gestur simbolik positif ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Indonesia pada 14 Mei 2025 bukan sekadar simbol diplomatik. Langkah ini adalah sinyal kuat bahwa Australia menempatkan Indonesia sebagai mitra utama kawasan. Albanese tidak menunggu lama setelah pelantikannya untuk menegaskan komitmen ini.

Pertanyaannya, mampukah kita memanfaatkan momen ini sebagai kesempatan untuk memperkuat pendekatan yang sudah dibangun selama ini dengan arah yang lebih strategis dan seimbang? Sudahkah kita memberi perhatian yang sebanding dengan potensi besar yang dimiliki Australia sebagai mitra strategis kita di kawasan?

Mitra strategis
Hubungan Indonesia dan Australia telah melalui berbagai tahap perkembangan yang positif dan membuahkan hasil yang signifikan. Kemitraan strategis kedua negara dalam bidang ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan keamanan telah terbukti menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam bidang ekonomi, Australia telah menjadi salah satu mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai perdagangan dua arah yang mencapai 32,2 miliar dollar Amerika Serikat pada 2023-2024. Australia juga menjadi tujuan utama ekspor Indonesia di sektor pertanian dan sumber investasi penting bagi berbagai sektor di Indonesia.

Program-program perdagangan yang dijalankan dalam kerangka Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) telah meningkatkan akses Indonesia ke pasar Australia, dan sebaliknya, mendiversifikasi hubungan ekonomi kedua negara.

Sektor pendidikan juga telah mengalami kemajuan signifikan. Lebih dari 15.000 mahasiswa Indonesia menempuh pendidikan tinggi di Australia, berkontribusi pada kehidupan sosial dan ekonomi Australia. Selain itu, berbagai kolaborasi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan juga memperkaya hubungan kedua negara, dengan sejumlah program pertukaran akademik yang terbukti saling menguntungkan.

Di bidang keamanan, kedua negara telah bekerja sama dalam menjaga stabilitas kawasan, terutama dalam hal keamanan maritim dan penanggulangan terorisme. Keterlibatan aktif Indonesia dan Australia dalam forum-forum internasional dan regional, seperti ASEAN dan Indo-Pacific Dialogue, menunjukkan keduanya berkomitmen pada tatanan kawasan yang aman dan stabil.

Namun, meskipun keberhasilan ini patut diapresiasi, kita tidak bisa mengabaikan tantangan-tantangan yang masih ada dalam memperkuat hubungan ini lebih lanjut.

Ketimpangan perhatian
Dari sisi Indonesia, salah satu tantangan besar dalam memperkuat hubungan Indonesia-Australia adalah perlunya perhatian yang lebih mendalam terhadap negeri Kangguru tersebut.

Boleh jadi, tantangan ini muncul karena masih melekat stigma di negeri kita bahwa Australia lebih membutuhkan Indonesia ketimbang sebaliknya. Padahal, Indonesia membutuhkan Australia, sama seperti mereka membutuhkan Indonesia.

Selain itu, ketimpangan perhatian ini mungkin muncul karena Indonesia selama ini terlalu sering melihat ke utara, mengarahkan fokus pada negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan China, yang lebih sering menjadi sorotan dalam pemberitaan dan kebijakan luar negeri kita.

Sebagai contoh, ketika Indonesia menggelar Pemilu 2024, media dan akademisi Australia menunjukkan perhatian besar dengan eksposur publik yang intensif. Bahkan, dalam Pemilu Federal Australia 2025, politik luar negeri Indonesia termasuk salah satu isu hangat dalam debat calon perdana menteri.

Sebaliknya, jika dibandingkan dengan Pemilu AS yang sering dibahas secara komprehensif, perhatian publik Indonesia terhadap Pemilu Federal Australia 2025 hanya terbatas pada hasil akhir tanpa mendalami dinamika, seperti isu energi, perubahan iklim, imigrasi, atau kepemimpinan partai politik.

Ketimpangan perhatian ini membuka ruang bagi kita untuk lebih proaktif dalam memahami dinamika kebijakan luar negeri Australia, bukan sekadar meresponsnya. Perlu kita ingat bahwa keputusan yang diambil di Canberra dapat berdampak signifikan bagi mahasiswa Indonesia, pengusaha, dan bahkan posisi kita di kawasan.

Tentu saja, tantangan ini bukanlah tugas pemerintah saja. Media kita memiliki peluang untuk memperluas cakrawala liputannya, dengan lebih sering menghadirkan perspektif Australia dalam pembahasan kawasan. Pelaku bisnis dapat lebih peka terhadap perubahan kebijakan yang memengaruhi perdagangan dan investasi. Begitu pula dengan dunia pendidikan yang memiliki kesempatan untuk memperkaya kurikulum dengan kajian-kajian lebih dalam tentang Australia, agar hubungan ini lebih terbangun dengan fondasi yang kuat dan seimbang.

Jika pendidikan ingin benar-benar menjadi fondasi dari hubungan strategis kedua negara, ruang kerja sama perlu menjangkau lebih jauh dengan menyentuh institusi vokasi dan perguruan tinggi di daerah. Upaya seperti kolaborasi riset dua arah, pertukaran dosen, serta skema pendanaan bersama bisa menjadi jalan untuk itu.

Dalam kerja sama pendidikan, Indonesia perlu memperkuat posisinya tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai mitra sejajar dalam produksi pengetahuan. Dengan demikian, diplomasi pendidikan dapat menjelma dari sekadar simbol menjadi strategi jangka panjang yang setara dan berdampak. 

Jika ikhtiar kolektif tersebut dicapai bersama, masyarakat luas niscaya akan mulai membayangkan Australia bukan semata sebagai destinasi studi atau negara ”jauh di selatan”, melainkan sebagai tetangga dekat yang memainkan peran penting dalam dinamika regional kita.

Poros Jakarta-Canberra
Langkah Albanese memilih Jakarta sebagai tujuan pertama kunjungan luar negerinya mempertegas tradisi panjang hampir semua Perdana Menteri Australia sejak 2008—baik dari Partai Buruh maupun Koalisi Liberal—yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi pertama setelah pelantikan. Hal ini mencerminkan konsensus bipartisan bahwa Indonesia adalah mitra utama di kawasan. Namun, gestur simbolik ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Albanese adalah sinyal. Namun, agar sinyal ini tidak menguap, semua pemangku kepentingan di Indonesia perlu meresponsnya dengan lebih serius. Mengharapkan Australia selalu mengambil inisiatif tanpa membangun kesiapan internal hanya akan melanggengkan relasi yang timpang. Kemitraan strategis yang sejati hanya mungkin lahir dari kesetaraan persepsi, komitmen, dan partisipasi.

Indonesia dan Australia memiliki sejarah panjang hubungan diplomatik yang berkesinambung. Meski demikian, untuk menghadapi tantangan di masa mendatang, kedua negara tidak hanya membutuhkan sejarah, tetapi juga visi bersama yang solid. Visi tentang kawasan yang stabil, adil, dan saling memperkuat. Untuk itu, poros Jakarta-Canberra harus dibangun atas dasar kebutuhan timbal balik dan kemauan untuk benar-benar mendengarkan satu sama lain.

Sudah saatnya Indonesia turut merancang arah masa depan hubungan bilateral ini dengan gagasan, perhatian, dan kesiapan yang setara.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 16 Mei 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

 

Categories
Politik

In Indonesia, Albanese has a Chance to Reset a Relationship Held Back by Anxiety and Misperceptions

Prime Minister Anthony Albanese has wasted little time taking his first overseas trip since Labor won a historic victory in Australia’s federal election. He’ll head to Indonesia today to meet the country’s new president, Prabowo Subianto.

With both nations entering new political chapters, the visit carries symbolic weight. But it will also have practical importance.

Despite the two nations’ proximity and strengths, the relationship has often been held back by outdated perceptions and strategic hesitation. This is a timely opportunity to reset the relationship.

Prabowo’s emerging foreign policy

Prabowo succeeded outgoing President Joko “Jokowi” Widodo in October after a decade of his infrastructure-driven and globally engaged leadership.

Prabowo, a former army general and defence minister, had projected a populist and nationalist image during his 2024 election campaign. He frequently emphasised Indonesia’s food self-sufficiency, military strength and national sovereignty.

Since taking office, however, he has moderated his tone. While seen by some in the West as assertive, he has signalled a willingness to strengthen bilateral defence ties with Australia. He also has an interest in modernising Indonesia’s military and engaging more transparently with partners.

Still, questions remain about how he will shape Indonesia’s foreign policy. This includes whether he will maintain Jokowi’s emphasis on multilateralism and economic diplomacy. Both are key to the tone and outcomes of Albanese’s visit.

Prabowo’s leadership style is nuanced. Despite his polarising image, Indonesia’s foreign policy is still shaped by pragmatism and non-alignment. As such, Prabowo will likely focus on balancing relations with China, the United States and Russia, while protecting Indonesia’s sovereignty.

Indonesia’s decision to join BRICS, the economic group that includes both China and Russia, for example, should be seen as a diplomatic hedge, not a new geopolitical alignment.

Other recent decisions, such as providing aid to Fiji, suggest an increasingly outward-facing regional posture.

Albanese should offer Prabowo credible alternatives to Russian and Chinese engagement through trade, technology and education exchanges, rather than reacting to Jakarta’s moves with suspicion.

Opportunities for cooperation

In his election campaign, Albanese reaffirmed his government’s commitment to working closely with Southeast Asia. He also promised a foreign policy grounded in diplomacy, climate cooperation and economic diversification.

This provides a strong incentive for both leaders to deepen ties. For Australia, deepening ties with Indonesia supports its Indo-Pacific strategy. The goal: promoting a stable and inclusive regional order, particularly amid concerns over growing strategic competition between the US and China.

For Indonesia, Australia offers investment, education partnerships, and critical expertise in clean energy and innovation.

A free-trade agreement signed in 2019 provides a platform for deeper integration and less competition in certain industries.

For example, there are huge opportunities to collaborate in clean energy, particularly after the neighbours signed a climate partnership last year. The agreement will secure supplies of lithium for Indonesia’s EV battery production, while Australia will gain more export markets for its critical minerals.

People-to-people ties are also vital, while education remains a longstanding pillar of the bilateral relationship.

Both countries face skills shortages in key sectors. Indonesia needs skilled workers in health care, clean technology and digital literacy. Australia has shortages in critical infrastructure, aged care and engineering.

There are good opportunities here for student exchanges, joint employment training programs and other vocational collaborations.

New Australian university campuses in Indonesia are a positive step, but they remain commercially focused and concentrated in elite, urban areas. With over 4,000 universities across the archipelago, these partnerships could go much further.

Where tensions might arise

The relationship is not without friction. Australia’s involvement in the AUKUS agreement, and its close alignment with the United States and United Kingdom, has raised concerns for Indonesia, which has long championed non-alignment.

Jakarta has voiced unease over the perceived risks of nuclear submarine proliferation in the region.

Albanese’s visit is a key opportunity to clarify that AUKUS involves nuclear-powered — not nuclear-armed — submarines. He should also reinforce Australia’s commitment to transparency over the deal. This is essential to avoiding misunderstandings and building trust.

A more recent flashpoint is speculation around a possible Russian military presence in Indonesia — a claim the Indonesian government has firmly denied.

Indonesia’s response exemplifies its longstanding commitment to strategic autonomy. However, the whole ordeal reveals the complexity of Jakarta’s foreign relations, which often involve balancing ties with competing powers.

For Australia, acknowledging Indonesia’s independent foreign policy — rather than interpreting it through a great-power rivalry lens — is critical to sustaining mutual trust.

A chance to re-anchor the relationship

This moment offers both governments the chance to move beyond symbolic gestures toward a deeper, more inclusive and people-centred partnership.

Amid global fragmentation, trust is not just desirable — it’s essential. And while differences remain, they are not insurmountable when guided by mutual respect, strategic patience and a commitment to genuine cooperation.

For Australia, the challenge is to move past strategic anxiety and invest in a resilient, multidimensional relationship with Indonesia. This visit could be the first step in doing just that.

 

The article was published in  The Conversation Indonesia on May 14, 2025.

Hangga Fathana
A lecturer in the Department of International Relations at the Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on Australia studies, global political economy, trade politics, and the dynamics of capitalist development.