Categories
Hukum

Restu Amendemen dari Pak Amien

Jangan pernah terlalu percaya bahwa amendemen lagi atas UUD lantas bisa menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan kita.

 

Amien Rais menyatakan meminta maaf karena perhitungannya yang naif saat memimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat dan karena melakukan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Dia pun mempersilakan jika MPR yang sekarang hendak mengamendemen lagi UUD tersebut.

Pernyataan mantan Ketua MPR tersebut disampaikannya saat menemui pimpinan MPR, 6 Juni 2024 lalu. Konteksnya, Pak Amien merasa keliru (terlalu naif) telah memelopori perubahan (amendemen) atas UUD 1945 yang ternyata ada beberapa isinya yang membuat kehidupan politik dan ketatanegaraan kita terjebak dalam kubangan politik yang buruk.

Dua hal buruk yang secara eksplisit dicontohkan oleh Amien Rais kepada wartawan adalah tentang pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara langsung dan tentang syarat kewarganegaraan untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Cara pemilihan presiden dan wakil presiden yang menurut Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 yang asli dipilih oleh MPR diubah menjadi dipilih langsung oleh rakyat melalui Pasal 6A Ayat (1) UUD hasil amendemen. Dalam praktiknya, ternyata ini berbalikan dengan apa yang saat itu dibayangkan oleh Amien Rais bahwa pilpres secara langsung akan lebih demokratis karena tidak mungkin ada yang bisa menyuap rakyat dengan politik uang (money politics).

Praktiknya, pilpres langsung malah marak dengan transaksi dan money politics. Bahkan, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai Pemilu 2024 pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia.

Hal lainnya, terkait dengan salah satu syarat untuk menjadi presiden/wakil presiden, yang semula menurut Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang asli harus ”orang Indonesia asli”, diubah frasanya dalam UUD 1945 hasil amendemen menjadi ”warga negara Indonesia”.

Ini menimbulkan masalah karena “dianggap” menggerus hak konstitusional dan historik pribumi. Meskipun secara ilmiah masih menjadi persoalan, masih banyak anggapan bahwa orang Indonesia asli pasti pribumi, sedangkan warga negara Indonesia belum tentu pribumi.

”Resultante” poleksosbud

Amien Rais menyatakan meminta maaf karena hal-hal tersebut, tetapi bagi banyak orang mungkin kurang tepat kalau hanya Amien yang harus meminta maaf, sebab perubahan UUD 1945 saat itu merupakan arus besar aspirasi masyarakat yang tidak bisa dibendung.

Kalau amendemen itu dianggap salah, yang harus meminta maaf adalah semua pejuang reformasi 1998 karena tidak bisa mengendalikan amendemen konstitusi sehingga memuat hal-hal yang dianggap tidak baik. Kalau amendemen tersebut salah, itu adalah kesalahan kolektif kita. Begitu pun, statement Amien Rais yang mempersilakan jika UUD akan diamendemen lagi merupakan statement yang wajar dan tepat sebab UUD memang bisa diamendemen dengan mekanisme dan syarat tertentu.

KC Wheare dalam The Modern Constitutions (1960) mengatakan bahwa konstitusi adalah resultante atau kesepakatan para pembentuknya berdasar keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud) bangsa yang bersangkutan pada saat konstitusi itu dibuat.

Perjalanan waktu dan keadaan bisa melahirkan perubahan konstitusi berdasar kesepakatan sesuai dengan situasi poleksosbudnya. Apa yang dilakukan Amien Rais dan kawan-kawan ketika melakukan amendemen atas UUD 1945 adalah sesuai dengan resultante umum saat itu. Jika sekarang diperlukan resultante baru, kita bisa melakukannya dengan mengamendemennya lagi.

Diubah tiap tahun pun, jika moral, etik, dan konsistensi kita dalam berhukum tidak diperbaiki, amendemen seperti apa pun tidak akan ada gunanya.

Selalu diubah, selalu disalahkan

Jadi, ilmu hukum tata negara tidak boleh tidak setuju jika ada kehendak untuk membuat resultante baru yang mungkin diperlukan untuk melakukan amendemen lagi terhadap UUD 1945 hasil amendemen.

Namun, yang harus diingat, jangan pernah terlalu percaya bahwa amendemen lagi atas UUD lantas bisa menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan kita. Dalam perjalanan sejarah kita, UUD selalu dibuat dan selalu diubah, tetapi tidak ada satu pun yang kemudian dianggap benar sehingga selalu diamendemen dan diamendemen lagi.

Jika dihitung dari sejarah perjalanan bangsa, baik secara resmi maupun dalam praktik ketatanegaraan sejak tahun 1945, kita sudah melakukan perubahan konstitusi tidak kurang dari sepuluh kali, yang kemudian selalu digugat untuk diamendemen lagi.

Kita tahu, tak sampai dua bulan setelah pengesahan UUD 1945 yang pertama (yang asli) tanggal 18 Agustus 1945, pada 16 Oktober 1945 sudah dikeluarkan Maklumat Wapres Nomor X yang disusul dengan maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 yang isinya mengubah praktik ketatanegaraan dari sistem presidensial menjadi sistem ministerial tanpa mengubah UUD secara resmi.

Kemudian, berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, UUD kita diganti secara resmi dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Konstitusi RIS 1949 ini pun tidak berlaku lama karena sejak 17 Agustus 1950 diganti lagi dengan konstitusi baru, yakni Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Pada akhir tahun 1950-an, UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer dianggap terlalu liberal, memicu kegaduhan, dan mengancam persatuan bangsa sehingga dibentuk Konstituante melalui Pemilu 1955 dengan tugas membentuk konstitusi baru yang definitif. Sejalan dengan tersendat-sendatnya Konstituante untuk membentuk UUD yang baru, Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang mencabut berlakunya UUDS 1950 dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Pascakejatuhan Presiden Soekarno tahun 1966/1967, di era pemerintahan Orde Baru muncul juga usul-usul agar UUD 1945 diganti lagi, tetapi pemerintahan Orde Baru menegaskan tetap memberlakukan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Pemerintah Orde Baru bersikap kokoh dengan jargon “murni dan konsekuen” tersebut. Tiga tokoh yang berbicara tentang kemungkinan perubahan UUD 1945, yaitu Ismail Sunny, Bung Tomo, dan Mahbub Djunaidi, pernah ditahan oleh pemerintah Orde Baru tanpa proses pengadilan.

Meskipun begitu, tekad untuk murni dan konsekuen Orde Baru atas ideologi dan konstitusi tidaklah melahirkan pemerintahan yang bersih. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi kanker ganas di tubuh bangsa. Sejalan dengan krisis moneter, tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi tak bisa dibendung hingga pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto runtuh melalui gerakan reformasi 1998.

Setelah itu, agenda reformasi dan konsolidasi demokrasi dikerjakan dalam berbagai aspek dan yang paling menonjol di antaranya adalah amendemen atau perubahan UUD 1945. Semboyannya waktu itu, “Tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi”.

Maka, UUD 1945 diamendemen oleh MPR hasil Pemilu 1999 yang diketuai oleh Amien Rais melalui empat tahap (empat kali sidang tahunan), yakni tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Sekarang muncul lagi ide yang, antara lain, disuarakan oleh Amien Rais tentang kemungkinan dilakukannya lagi amendemen atas UUD hasil amendemen.

Masalahnya moral dan etika

Pada dua periode (sekitar 10 tahun) pertama perjalanan reformasi 1998, pemerintahan berjalan relatif bagus.

Berbagai peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga baru dibentuk dengan kerja-kerja yang cukup demokratis dan efektif. Namun, semakin lama politik demokratis bergeser menjadi oligarkis. KKN merajalela lagi, penegakan hukum menjadi karut-marut.

Itulah alasan munculnya ide mengamendemen lagi UUD 1945. Namun, seperti saya kemukakan di atas, kita bisa saja bersetuju dengan ide amendemen lagi tersebut, sebab kapan pun kita mau membuat resultante baru tidaklah salah. Namun, hendaknya diingat, masalah yang paling pokok adalah sikap moral, etika, dan konsistensi dalam berkonstitusi dan berhukum.

Diubah tiap tahun pun, jika moral, etik, dan konsistensi kita dalam berhukum tidak diperbaiki, amendemen seperti apa pun tidak akan ada gunanya. Buktinya, setiap hasil amendemen yang semula dianggap baik kemudian selalu digugat untuk diamendemen lagi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 15 Juni 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)