Lalu, jika sang penggagas liberalisme kini berbalik arah, adakah yang tersisa dari janji keterbukaan ekonomi global?
Selama puluhan tahun, Amerika Serikat berdiri sebagai pilar liberalisasi perdagangan global. Lewat Bretton Woods, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), hingga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), negeri itu mendorong dunia untuk membuka diri atas nama efisiensi, kompetisi terbuka, dan pertumbuhan ekonomi bersama.
Namun, pada Kamis (3/4/2025), Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan tarif impor hingga 32 persen terhadap produk dari Indonesia.
Inilah titik balik yang menampakkan paradoks ”Negeri Paman Sam”: sang penjaga pasar bebas, kini memasang pagar tinggi terhadap yang datang dari luar.
Dunia pun terkejut, meski sebetulnya tak sepenuhnya asing dengan ironi ini. Sebab, sejarah memang gemar berulang dan hanya berganti baju: kali ini ia datang dari negeri yang dikenal lantang menjunjung kebebasan pasar.
Lalu, jika sang penggagas liberalisme kini berbalik arah, adakah yang tersisa dari janji keterbukaan ekonomi global?
Paradoks liberalisme
Kebijakan proteksionis ini pun tidak berdiri sendiri. Negara-negara seperti China, Vietnam, Thailand, Australia, dan bahkan Kanada juga menjadi sasaran tarif sepihak. Ironisnya, negara-negara yang selama ini dituding tidak adil oleh AS justru adalah mitra dagang utama yang berkontribusi pada keseimbangan rantai pasok global.
Dan kini, serangan politik dagang itu sampai di Indonesia, yang menikmati surplus nonmigas dengan AS senilai lebih dari 17,9 miliar dollar AS pada 2024.
Penting untuk melihat lebih dekat bahwa apa yang kita saksikan bukan sekadar kebijakan tarif. Tindakan AS ini merupakan bentuk dekonstruksi terhadap narasi besar liberalisme ekonomi.
Seperti halnya kritik postmodern terhadap Abad Pencerahan: walau membawa akal dan kemajuan, juga menghadirkan sisi kelam kapitalisme, kolonialisme, dan perang dunia (Adorno dan Horkheimer, 1947). Liberalisme pun kini mempertontonkan paradoksnya.
AS, sang promotor perdagangan bebas, kini justru memelopori proteksi. Ini adalah semacam otokritik Barat terhadap dirinya sendiri, serupa orangtua yang akhirnya harus mengakui bahwa doktrin yang diajarkannya tak selalu membawa damai.
Seperti postmodernisme yang menelanjangi luka-luka peradaban modern, dunia kini mulai berani bicara: bahwa kebebasan dan pasar, bila tidak diikat dengan nilai, bisa juga mewujud menjadi penindasan gaya baru.
Dampak bagi Indonesia
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kebijakan AS bukan hanya pukulan ekonomi. Ini juga alarm ideologis: bahwa dalam dunia pascahegemoni, tak ada lagi jaminan konsistensi. Jika sang penjaga pasar bebas bisa dengan mudah meninggalkan prinsipnya, negara-negara Selatan perlu lebih cermat membaca arah angin global.
Secara teori, ada beberapa pendekatan yang bisa membingkai respons Indonesia. Dari sisi realisme, negara perlu memperkuat kapasitas domestik dan memperluas aliansi strategis, bahkan jika itu di luar struktur multilateral formal. Dari liberalisme institusional, forum seperti WTO dan ASEAN tetap penting sebagai ruang advokasi kolektif.
Sementara pendekatan ekonomi politik kritis justru mendorong Indonesia untuk memperkuat solidaritas Selatan-Selatan dan membangun sistem dagang alternatif yang lebih adil.
Namun, membayangkan respons strategis Indonesia tanpa menyentuh kenyataan politik domestik adalah seperti membangun kapal tanpa memeriksa lambungnya. Sebab, satu tantangan mendasar datang justru dari dalam: struktur kebijakan ekonomi kita masih sangat dipengaruhi oleh oligarki.
Yang lebih memprihatinkan, secara lebih umum, Indonesia pun belakangan tampak makin jauh dari keberanian untuk menempatkan nilai sebagai pijakan kebijakan perdagangan dan investasi.
Prinsip keadilan kerap ditenggelamkan oleh suara kalkulasi pragmatis dan logika transaksi. Maka, bukan hanya AS yang perlu dikritik, melainkan juga kita sendiri yang kian hari makin malu-malu bersenyawa dengan nilai.
Misalnya, dalam proyek-proyek hilirisasi tambang atau perjanjian dagang bebas, prinsip keadilan dan keberlanjutan sering kali hanya menjadi pemanis dokumen. Komunitas lokal tidak terdengar, lingkungan dikesampingkan, dan keberlanjutan berubah menjadi sekadar jargon.
Alih-alih memanfaatkan momentum ini untuk mendorong diversifikasi pasar dan transformasi industri, respons yang muncul selama ini cenderung bersifat reaktif, tambal sulam, atau bahkan tak keluar sama sekali karena tersandera oleh kepentingan segelintir elite yang sudah nyaman dengan status quo.
Bagi sebagian pelaku besar ekspor-impor, tarif tinggi boleh jadi hanyalah bermakna biaya lobi tambahan, bukan ancaman eksistensial. Namun, bagi buruh tekstil, petani kopi, dan pelaku UMKM, ini bisa berarti kehilangan pasar, penghasilan, bahkan pekerjaan.
Dan, bagi mereka, tidak ada juru runding. Tidak ada kursi dalam forum dagang dunia. Hanya harap-harap cemas menunggu pesanan yang mungkin tak pernah datang.
Bercermin ke dalam
Sebagaimana ditulis oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), demokrasi Indonesia pascareformasi tidak sepenuhnya membongkar oligarki, tetapi justru mengorganisasi ulang kekuasaan dalam format yang lebih elektoral, tetapi tetap eksklusif.
Maka, wajar jika strategi perdagangan kita sering kali tak berbicara soal bangsa, tetapi soal siapa yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Menghadapi tekanan eksternal seperti tarif Trump, Indonesia bukan hanya dituntut untuk merespons ke luar, melainkan juga harus berani bercermin ke dalam.
Sebab, jika arsitektur ekonomi nasional masih ditentukan oleh segelintir tangan, kebijakan sebesar apa pun hanya akan mengulang sejarah: berganti baju, tetapi mengusung logika lama.
Sejarah memang berulang. Kadang berwujud tragedi, kadang sebagai ironi. Di masa kini, kita menyaksikannya tampil kembali, bukan dengan tank dan senjata api, melainkan dengan tarif dan retorika nasionalisme ekonomi.
Dunia yang dulu dibentuk oleh liberalisme, kini harus belajar bertahan darinya. Meski demikian, dunia tidak sedang kehilangan arah. Perlahan tetapi pasti, ia sedang membentuk keseimbangan baru, menapak jalan baru yang tumbuh dari keteguhan bangsa-bangsa yang sebelumnya dibungkam sejarah.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 4 April 2025
Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII dengan fokus pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.