Viralnya peristiwa pemberhentian karyawan TVRI Yogyakarta imbas pemangkasan anggaran membuat prihatin berbagai pihak. Meski akhirnya ada instruksi pembatalan dari Menteri Keuangan, kasus sudah terjadi dan memicu perdebatan komitmen Presiden Prabowo terhadap penyiaran publik di Indonesia. Muncul kesimpulan no viral no justice yang menggambarkan bebalnya mentalitas aparat birokrasi dalam membuat kebijakan. Tulisan kecil ini menguraikan aspek fundamental penyiaran publik dan kekeliruan kebijakan pemangkasan anggaran yang menimpa dan oleh elite RRI/TVRI sebagai media publik.
Postur Anggaran RRI/TVRI
Keputusan Prabowo mangkas anggaran kementerian/lembaga hingga mencapai 306 triliun dengan antara lain mengalihkan ke program makan bergizi gratis sekilas baik dan sangat populis. Harus diakui, pemborosan anggaran sudah lama terjadi di berbagai lembaga negara termasuk di manajemen RRI/TVRI, antara lain pos kunjungan kerja, tim kebijakan dan pos rapat-rapat di luar kota. Jika penghematan menyasar pos-pos ini, maka ia patut didukung agar lembaga penyiaran publik mengalami penyehatan birokratis.
Dalam satu dekade terakhir, APBN untuk kedua media cenderung naik secara gradual hingga mencapai triliunan pertahun. Sebagai contoh, tahun 2025 TVRI memperoleh pagu anggar an sebesar Rp 1,05 triliun, sedang RRI mendapat pagu sebesar Rp 1,07 triliun. Dari total budget ini, hampir 70% di- pakai untuk kebutuhan belanja pegawai dan layanan administrasi. Sisanya baru untuk produksi konten. Budget ini termasuk untuk honor tenaga lepas yang justru ujung tombak produksi konten. Artinya, ada ketidakseimbangan dan salah postur, yang diakibatkan besarnya jumlah ASN di sektor administrasi.
Lembaga penyiaran publik di berbagai negara dilindungi paripurna karena tugas historis dan politisnya sebagai penjaga moralitas, pemersatu jiwa lewat konten terbaik. Oleh tugas mulia ini, anggaran LPP bersumber langsung dari publik yang dikelola negara terpisah dari APBN. Istilah yang kini populer: media trusted fund, agar terhindar dari aksi pangkas memangkas oleh kepentingan politik tentatif. Dalam budaya politik anggaran di Indonesia, APBN selalu naik turun, diputuskan secara politik praktis di parlemen, rawan korupsi.
Lebih jauh, oleh budaya organisasi media publik itu sendiri yang birokratis, penuh birokrat, pemangkasan budget RRI/TVRI justru menimpa para tenaga lepas dan sektor produksi siaran sebagai jantung layanan publik, tak menyentuh elite kedua media. Berbeda dengan lembaga negara lain yang dominan fungsi administrasi, media publik memiliki peran strategis pada penguatan nasionalisme, mencerdaskan kehidupan bangsa lewat kon- ten berkualitas, sifatnya produktif. Ini, jauh lebih utama dari makan bergizi gratis yang bersifat karitatif. Muncul kesan buruk di publik: negara dan RRI/TVRI lebih mengutamakan perut kenyang, ketimbang otak dan kecerdasan berpikir. Senjakala penyiaran publik sudah tampak.
Bagaimana memahami munculnya pemutusan hubungan kerja (sejenak) dan masa depan lembaga penyiaran publik? mengapa pemangkasan anggaran justru menimpa sektor produksi dan harus viral? Pertanyaan ini harus dijawab dan direfleksikan oleh pekerja kedua media itu sendiri. Setidaknya ada dua kesimpulan umum. Pertama, Presiden Prabowo tidak punya prioritas anggaran, dan aksi memangkas anggaran yang menyasar RRI TVRI tampak ugal ugalan. Kedua, tidak ada sense of crisis pimpinan RRI/TVRI ketika merespons pemangkasan. Langkah PHK kepada pembuat konten mencerminkan suatu keputusan buruk, yang justru memicu risiko penurunan kualitas produksi, senjakala kedua media itu sendiri sebagai lembaga pelayanan konten publik yang profesional.
Pemangkasan budget oleh Prabowo menjadi pelajaran mahal agar TVRI/RRI membenahi kinerja, semakin dekat ke publik sehingga dalam jangka pendek dapat menerapkan model mixed budget: iuran, crowed fund dll., tanpa tergantung lagi kepada dana APEN. Evaluasi anggaran negara yang selama lebih dari lima puluh tahun dipakai di kedua media juga mutlak dilakukan, termasuk dengan cara melakukan rasionalisasi sumber daya manusia yang tidak produktif di era digital, mayoritas di sektor administrasi.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 Februari 2025
Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.