Pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung mau menunggu apa lagi untuk membenahi pengadilan kita?
Sudah banyak tulisan di pelbagai media, penelitian, dan seminar menyarankan dilakukan pembenahan total terhadap institusi pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung (MA).
Sudah puluhan, bahkan ratusan, hakim dan pegawai di semua tingkat pengadilan diberi sanksi, mulai dari yang ringan hingga berat; termasuk gelombang tangkap tangan yang dilakukan KPK.
Aktor penerima suap tidak hanya hakim, tetapi juga petugas pengadilan. Operator suap bahkan dilakukan oleh pegawai pengadilan di semua tingkat, mulai dari pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), hingga MA.
Kita masih ingat Edy Nasution, penerima suap pengurusan peninjauan kembali (PK) kasus sengketa perdata antardua korporasi besar. Juga Andri Triastianto Sutisna, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara MA, karena suap ”pengurusan” putusan hakim.
Kemudian, staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman, yang menerima suap dari pengacara Mario Carmelio Bernardo, penasihat hukum terpidana Hutomo Wijaya Ongowarsito. Puncaknya, dua sekretaris jenderal MA hingga kini masih meringkuk di lembaga pemasyarakatan.
Jauh sebelumnya, pada 2005, KPK menangkap lima staf MA, yakni Kepala Bagian Kepegawaian MA Malam Pagi Sinuhadji; Wakil Sekretaris Korpri Suhartoyo; staf Wakil Sekretaris Korpri, Sudi Ahmad; staf bagian perdata, Sriyadi; serta staf bagian kendaraan, Pono Waluyo, dalam kasus ”pengurusan” kasasi Probosutedjo.
Minggu lalu, Kejaksaan Agung menangkap mantan pejabat eselon satu MA yang diduga menjadi makelar kasus Gregorius Ronald Tannur. Ronald dibebaskan oleh majelis hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, dengan imbalan suap senilai miliaran rupiah.
Lebih mencengangkan adalah temuan uang hampir Rp 1 triliun hasil penggeledahan Kejaksaan Agung di beberapa properti milik tersangka Zarof Ricar. Uang dalam jumlah besar itu diduga hasil operasi suap-menyuap tersangka di seluruh pengadilan di Indonesia semenjak tahun 2012. Apakah pelaku bertindak sendiri? Tentu saja tidak.
Patut diduga tersangka memiliki jaringan kerja di tiap-tiap pengadilan; bisa orang dalam pengadilan (pegawai, panitera, hakim), makelar kasus lokal, pensiunan hakim, pensiunan pegawai pengadilan. Dengan kata lain, kejahatan ini bukan kejahatan individual (individual crime), melainkan kejahatan terorganisasi (organized crime) yang harus diungkap lebih jauh oleh Kejaksaan Agung.
Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.
Ragam penyimpangan
Aneka ragam tindakan menyimpang staf administrasi pengadilan dalam ”berbisnis” putusan sangat variatif, seolah tak ada bagian dari administrasi perkara yang luput dari permainan. Beberapa contoh berikut menunjukkan hal itu.
Pertama, memperlambat atau mempercepat mengunggah putusan ke direktori putusan; termasuk mempercepat atau memperlambat penyampaian salinan putusan ke terpidana, jaksa, penggugat, atau tergugat.
Kedua, menahan permohonan upaya hukum (banding atau kasasi) agar proses berlarut-larut. Ketiga, membocorkan putusan kasasi atau PK kepada terpidana yang tidak ditahan atau kepada penasihat hukum sebelum secara resmi putusan disampaikan sehingga terpidana yang berniat menghindari eksekusi punya kesempatan melarikan diri.
Keempat, menahan atau melambat-lambatkan penyerahan ekstrak vonis kepada jaksa agar terpidana punya kesempatan untuk kabur. Kelima, menahan putusan kasasi yang menguatkan atau meningkatkan vonis supaya tak buru-buru disampaikan ke pengadilan dan jaksa penuntut umum agar eksekusi tertunda, dan dalam penundaan eksekusi itu, terpidana bisa melakukan sesuatu.
Keenam, menghubungi pihak-pihak untuk merundingkan proses dan atau putusan kasasi atau PK yang diajukan.
Ketujuh, dalam perkara perdata, oknum pegawai MA menahan putusan kasasi atau PK sehingga pihak yang dikalahkan punya waktu meneruskan mengeksploitasi tambang, memetik hasil panen, menahan proses jual beli yang tinggal menunggu salinan resmi putusan.
Pembenahan
Praktik ”bisnis” putusan telah berlangsung lama, momentum perbaikan berkali-kali datang, tetapi momen tersebut berlalu begitu saja, sampai kemudian terjadi lagi suap atau gratifikasi berikutnya. Lalu, apa yang bisa dilakukan agar ada harapan?
Pertama, pemerintah, DPR, dan MA duduk bersama merevisi semua UU yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dengan fokus pada, pertama, rekrutmen hakim tingkat pertama dilakukan oleh lembaga independen Komisi Yudisial (KY) atau oleh tim seleksi yang memiliki integritas, kapasitas, dan kapabilitas.
Kedua, jadikan hakim sebagai pejabat negara (state apparatus), bukan pegawai negeri (government apparatus), agar independensi tidak terganggu oleh kewajiban-kewajiban administratif sebagai aparatur sipil negara.
Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan.
Ketiga, naikkan pendapatan hakim (take home pay). Keempat, perkuat sistem kontrol dengan menjadikan KY satu-satunya institusi yang melakukan pengawasan, setidaknya proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi sepenuhnya wewenang KY.
Kelima, staf administrasi perkara haruslah orang-orang andal, memiliki integritas dan kompetensi sesuai dengan peruntukannya sebagai pegawai pengadilan dengan mekanisme pengadaan tersendiri.
Keenam, administrasi perkara harus transparan dan akuntabel dengan basis teknologi informasi yang andal.
Ketujuh, harus ada mekanisme kontrol ketat dalam pendayagunaan teknologi informasi supaya tidak terjadi kelambanan mengunggah perkara, mengunggah putusan, tidak salah memuat nomor putusan, dan tidak terjadi perbedaan amar antara yang dimuat di laman dan salinan putusan resmi.
Langkah-langkah ini harus dilakukan segera oleh pemerintah dan DPR dengan merevisi secara luas peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Kepada pimpinan MA, bersikaplah responsif. Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan. Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 November 2024
Suparman Marzuki
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada sosiologi hukum dan hukum HAM. Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015