Categories
Politik

Mubazir Kewenangan dalam UU TNI Baru

Beberapa waktu lalu, Gedung DPRD Provinsi DIY menjadi sasaran vandalisme aksi yang menuntut pencabutan UU TNI yang baru saja disahkan. Massa aksi bersikap anarkis ketika mengekspresikan kekecewaan mereka. Sebab, pengesahan UU TNI pada 20 Maret lalu dianggap telah melukai wajah demokrasi nasional. Sejumlah pihak bahkan menasbihkan tanggal tersebut sebagai akhir masa Reformasi. Alasannya, pengesahan UU TNI menjadi langkah mundur komitmen Reformasi yang dibangun 26 tahun terakhir. Pemerintah dan Parlemen teguh mengesahkan UU TNI, kendati selama sepekan lebih ma- syarakat lantang menolak. 

Substansi perubahan UU TNI telah mengecewakan publik. Selain legislasinya yang serampangan, penambamhan jabatan publik yang diisi prajurit aktif dan perluasan kewenangan operasi militer selain perang (OMSP) berpotensi menambah beban kerja TNI. Hal ini, justru dapat melemahkan potensi TNI sebagai militer. 

Militer sebagai Alat Tempur
Sempat berseliweran penggalan video lama nasihat mendiang Salim Said, guru besar dan pakar hubungan sipil militer Indonesia, kepada Prabowo Subianto yang kalaitu menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pada video tersebut, Salim Said mewanti-wanti agar TNI terus berlatih bertempur meski dalam kondisi tidak sedang berperang dan tidak mengurusi hal-hal selain pertahanan nasional. Menurut Salim Said, jika TNI disibukkan dengan urusan-urusan yang bukan bidangnya, negara -negara lain akan meremehkan kemampuan TNI dalam pertempuran. Hal ini, menurut Salim Said, dapat menurunkan deteren dan citra Indonesia di kancah dunia. 

Nasihat Salim Said tersebut didasar kan pada pepatah terkenal di dunia militer : si vis pacem, para bellum, jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Maknanya, persiapan tempur menjadi hal mutlak bagi negara, kendati berada pada masa damai, untuk menghindari agresi dari lawan. Adu mekanik dan pamer kekuatan militer menjadi hal yang lazim dilakukan negara, untuk menghalau niatan liar pihak lain untuk melakukan invasi. 

Sehingga, kapabilitas militer dalam pertempuran harus senantiasa dibangun. Pemerintah, sebagai pelaksana kuasa eksekutif, memiliki kewajiban untuk memastikan langkah tersebut. Menjadikan TNI sebagai militer cakap, bukan sebaliknya. 

Langkah Demiliterisasi TNI
Sayangnya, perubahan ketentuan dalam revisi UU TNI justru menjadikan prajurit semakin tidak militer. Per- luasan OMSP dan penambahan ëjatahí jabatan kementerian dan lembaga dalam revisi terbaru membuat TNI ke hilangan eksistensinya sebagai militer yang cakap. Pasalnya, TNI dituntut un- tuk nimbrung pelbagai aktivitas, mulai ‘dari menangani terorisme, membantu pemerintahan daerah, hingga dijejali! tugas menjaga proyek strategis nasio- nal. Ini membelokkan dari urgensi pra- jurit untuk mengasah skill utama yang seharusnya dikuasai: menja- di pasukan pertahanan yang tangguh. 

Terlebih, kita tidak bisa mengatakan tingkat pertahanan nasional kita sudah paripurna. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, terjadi sebanyak 122,79 juta serangan siber pada periode Januari – Agustus 2024. Selain itu, dari segi kuantitas, jumlah personil secara umum, prajurit TNI juga dianggap kurang jika dibandingkan dengan luas teriitorial yang harus dilindungi. Bahkan, pemerintah terus mendorong penambahan anggota komponen cadangan untuk membantu tugas utama TNI. Artinya, TNI asih kewalahan dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai komponen utama pertahanan. 

Alih-alih memperbaiki permasalahan institusinya, perubahan UU TNI justru memperluas beban kerja prajurit, Prajurit TNI akan semak terbebani jika dituntut untuk menambah kapabilitas lain. Peluasan kewenangan menangani terorisme dan bencana alam yang hendak diberikan kepada TNI akan menjadikan fokus sumber daya manusia militer kita terpecah. Agenda perlu- asan kewenangan yang diatur dalam UU TNI adalah sebuah anomali konteks. Jauh panggang dari api, revisi dicanangkan justru akan memperlemah, alih-alih memperkuat pertahanan nasional Indonesia. 

Peningkatan kewenangan dan lingkup OMSP merupakan hal yang mubazir. Melalui beleid terbaru, TNI disuruh untuk menyelesaikan permasalahan instansi lain, dipaksa untuk bekerja ekstra. Padahal, tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan Indonesia sudah berat. Maka, sepatutnya kita bertanya-tanya, jika TNI dan sipil sama- sama dirugikan, untuk kepentingan siapa UU TNI kemarin dibuat? 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 12 April 2025

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.