Categories
Hukum

Membangun Gaza

Presiden Prabowo kembali memicu perdebatan publik melalui pengumuman kebijakan kemanusiaan yang kontroversial. Dalam kunjungan kenegaraan ke kawasan Timur Tengah belum lama ini (baca KR 12/4), Presiden menyampaikan niat Indonesia untuk merelokasi sekitar 1.000 warga sipil dari Gaza ke wilayah Indonesia. Meskipun langkah ini dikemas sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan dan dukungan terhadap rakyat Palestina, kebijakan tersebut menuai respons beragam dari masyarakat Indonesia, termasuk kritik terhadap implikasi hukum, politik, dan sosial-budaya yang mungkin ditimbulkan.

Ide relokasi sebenarnya bermula dari gagasan Presiden Trump. Pada awal masa pemerintahannya, Trump secara terbuka mendorong relokasi penduduk Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania meskipun keduanya menolak keras gagasan tersebut. Trump menggagas mengubah Gaza menjadi kawasan wisata eksklusif di Timur Tengah atau “Riviera of the Middle East.”

Pelanggaran Hukum
Pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 melarang dengan tegas pemindahan atau deportasi secara paksa, baik terhadap individu maupun kelompok dari wilayah tempat tinggal mereka.

Meskipun ada pengecualian yang memungkinkan evakuasi jika terjadi ancaman serius terhadap keselamatan warga sipil atau alasan militer yang sangat mendesak, hal ini hanya dibolehkan secara sementara dan dengan syarat warga tersebut harus dipulangkan kembali setelah situasi membaik.

Sejalan dengan itu, Statuta Roma (1998) dalam Pasal 7 ayat (1) juga mengatur bahwa pengusiran atau pemindahan paksa yang dilakukan secara tidak sah dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini bukan sekadar teori. Dalam kasus Milan Martić—seorang tokoh dalam konflik di bekas Yugoslavia—dinyatakan bersalah karena melakukan pemindahan paksa terhadap warga sipil Muslim dan dijatuhi hukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Maka dari itu, jika Indonesia dengan dalih kemanusiaan turut terlibat dalam relokasi warga Gaza yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional, negara ini berisiko terlibat dalam pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Bahkan jika situasi di Gaza dianggap sebagai konflik bersenjata internasional, tindakan relokasi permanen juga bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2)(a)(viii) Statuta Roma.

Perkuat Kedaulatan
Indonesia perlu berhati-hati dan cermat dalam merumuskan kebijakan luar negeri, khususnya dalam konteks mendukung perjuangan bangsa Palestina. Dalam situasi yang semakin kompleks dan darurat, Palestina tidak hanya membutuhkan dukungan moral, tetapi juga langkah konkret dari komunitas internasional, termasuk Indonesia, untuk memperkuat kedaulatan dan hak-hak dasarnya sebagai sebuah bangsa.

Tugas diplomasi Indonesia dalam isu Palestina masih jauh dari selesai. Salah satu agenda penting adalah mendorong pengakuan internasional yang lebih luas terhadap Negara Palestina, termasuk mendukung upayanya untuk menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di sisi lain, pemulihan kondisi internal di wilayah Palestina pasca agresi militer Israel juga menjadi urgensi besar. Indonesia, baik melalui pemerintah maupun masyarakat sipil, telah berkontribusi dalam penggalangan bantuan kemanusiaan. Namun, agar bantuan tersebut tepat sasaran dan berkelanjutan, perlu adanya koordinasi lintas negara dan peran besar organisasi internasional. Dalam hal ini, Indonesia dapat berperan sebagai pemimpin tim internasional untuk menyusun master plan pembangunan kembali Palestina yang mencakup sektor pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan tata kelola pemerintahan.

Yang tak kalah penting, seluruh upaya ini harus dilakukan dengan prinsip bahwa Palestina adalah subjek yang berdaulat, bukan objek belas kasih internasional. Bangsa Palestina membutuhkan dukungan untuk membangun kemandirian dan memperjuangkan hak-haknya secara bermartabat. Sebaliknya, dukungan terhadap ide relokasi yang didorong oleh Amerika Serikat dan sekutunya justru berpotensi memperburuk keadaan, mengingat rekam jejak mereka yang kerap mengabaikan norma dan prinsip hukum internasional.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 13 Mei 2025

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional.