Categories
Hukum Politik

Memanusiakan Pekerja Kontrak

Hubungan industrial harmonis yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atas pelayanan jasa adalah cita-cita bersama.

Pernahkah terbayang sebelumnya bahwa perbedaan mendasar antara pekerja atau buruh tetap dan pekerja atau buruh kontrak adalah jenis perjanjian kerja yang mengikat keduanya? Lalu mengapa kondisi yang sering dijumpai justru terkesan bahwa nasib pekerja kontrak sangat kontras dengan pekerja tetap?

Perjanjian kerja ini pada dasarnya memang terbagi menjadi dua, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang kemudian pekerjanya disebut sebagai pekerja atau buruh kontrak, dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) yang pekerjanya dikenal sebagai pekerja tetap. Perbedaan jenis perjanjian serta penyebutan status keduanya ini berdampak terhadap hak-hak yang diterima oleh keduanya.

Secara filosofis, mekanisme perjanjian kerja sudah tidak adil dari awal. Mengapa dikatakan demikian?

Perjanjian kerja berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adanya unsur perintah dalam hubungan kerjalah yang menjadikan perjanjian kerja jelas berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Unsur perintah ini yang membuat pihak pengusaha dengan leluasa memberikan perintah terhadap pekerjanya, dengan catatan perintah tersebut sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.

Selain itu, perjanjian kerja dibuat oleh salah satu pihak, yakni pengusaha, sehingga pekerja tidak memiliki daya tawar terhadap isi perjanjian kerja tersebut, berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Terlebih lagi ketika membahas perjanjian kerja waktu tertentu.

Lalu, mengapa dibutuhkan pekerja kontrak jika sudah ada pekerja tetap?

Kehadiran pekerja kontrak berawal dari kehadiran flexibility labour market (pasar tenaga kerja fleksibel) yang menghendaki keleluasaan dalam dunia pasar, kemudian pengusaha pun menghendaki pekerja yang easy to hire, easy to fire (mudah di-rekrut, mudah dipecat). Demi mengakomodasi tuntutan tersebut, lahirlah status pekerja kontrak, termasuk di Indonesia sendiri.

Pengusaha bahkan menyukai mekanisme ini karena ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dari pengusaha terhadap pekerja, maka pengusaha tidak perlu membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.

Mengapa demikian? Karena uang-uang tersebut hanya akan diterima oleh pekerja tetap jika mereka terdampak PHK oleh pengusaha. Bagaimana dengan pekerja kontrak? Mereka mendapatkan haknya dalam bentuk uang kompensasi saja.

Pada dasarnya, pengaturan mengenai aspek pekerja di Indonesia sudah cukup mengakomodasi jaminan kepastian nasib pekerja kontrak di masa depan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang saat ini telah dicabut dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang) yang membuat perasaan pekerja kontrak semakin cemas akan nasib mereka. Khususnya berkaitan dengan batasan jangka waktu maksimal penggunaan PKWT yang menjadi kabur.

”Angin segar” yang diembuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2024 lalu seolah memberikan harapan baru bagi pekerja/buruh kontrak. MK melalui amar putusannya menegaskan adanya batasan jangka waktu yang diperbolehkan dalam penggunaan PKWT, yaitu tidak melebihi jangka waktu 5 tahun termasuk jika terdapat perpanjangan.

Sayangnya dalam tahapan implementasi di lapangan, ”angin segar” itu masih jauh dari harapan. Mengapa? Masih banyak dijumpai pekerja yang mengalami ”pemutihan” perjanjian kerja dengan mekanisme apabila perjanjian kerjanya akan berakhir, maka pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja, lalu pekerja tersebut ditawarkan perjanjian kerja baru tanpa menghitung masa kerja sebelumnya dan ini terjadi secara berulang-ulang. Apabila dijumlahkan, masa kerja tersebut sudah dapat dipastikan melanggar peraturan perundang-undangan.

Kasus lain yang terjadi adalah para pekerja kontrak diberikan beban pekerjaan yang pada dasarnya bertentangan dengan batasan cakupan jenis pekerjaan yang boleh untuk diperjanjikan dengan jenis perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Secara aturan, PKWT tidak diperbolehkan digunakan terhadap pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tetap.

Namun lagi-lagi, batasan-batasan yang sudah ada hanya dituangkan dalam hitam putih dengan mengabaikan fakta di lapangan. Hal-hal demikian jelas merupakan penyelundupan hukum yang seolah-olah saat ini menjadi hal yang lumrah atau biasa dilakukan. Sangat miris.

Terlebih lagi, ketika berbicara mengenai perbedaan kewajiban antara pekerja tetap dan pekerja kontrak. Sering kali dijumpai dalam kasus tertentu (meskipun tidak seluruhnya) kewajiban atau beban kerja dari pekerja dinilai jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerja tetap. Bagaimana tidak, hak yang diterima dipastikan berbeda, tetapi beban kerja dinilai jauh lebih berat.

Contohnya adalah pengusaha dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerja kontrak ke dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Bukankah pekerja kontrak juga manusia? Terkadang, secara sengaja by design memang diperlakukan tidak seperti manusia pada umumnya, direnggut hak-haknya meski sudah secara jelas dan tegas pengaturannya diakomodasi melalui peraturan perundang-undangan.

Padahal hubungan industrial harmonis yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atas pelayanan jasa adalah cita-cita bersama. Tidak bisa egois, pengusaha membutuhkan kehadiran pekerja baik tetap maupun kontrak. Manusiakanlah pekerja karena mereka jugalah yang membantu kesuksesan dan keuntungan dalam kegiatan proses usahamu.

Semoga menjadi bahan renungan bersama demi kebaikan bersama pula.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 1 Mei 2025

Mustika Prabaningrum Kusumawati
Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ketenagakerjaan.