Pengangkatan duta besar seolah seperti kebiasaan yang berlangsung seperti sebelumnya. Padahal Presiden Prabowo memiliki target untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Untuk mencapainya, dibutuhkan strategi handal dengan mempercayakan beragam tugas berat kepada para diplomat kita.
Penunjukan Politis
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Duta Besar. Kewenangan konstitusional ini memberikan peluang kepada Presiden untuk memberikan posisi Duta Besar kepada siapa saja yang dikehendakinya. Namun, secara kelembagaan, harus diketahui bahwa Kementerian Luar Negeri menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya para diplomat karir.
Para diplomat karir telah dilatih dan disekolahkan untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Mereka juga telah berpengalaman dalam menangani kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia secara lintas batas negara. Memberikan peluang kursi duta besar kepada non- diplomat justru akan memunculkan sebuah pertanyaan apakah mereka minimal mampu memiliki kemampuan yang jauh lebih baik daripada diplomat yang lahir dari merit system.
Penunjukan diplomat non-karir selama ini dilakukan atas dasar kepentingan politik balas budi. Umumnya mereka dipilih karena pernah menjadi tim sukses Presiden selama Pemilu. Tanpa melihat latar belakang keahlian yang dimilikinya, penunjukan diplomatik non-karir justru akan melemahkan kekuatan diplomasi kita.
Beberapa kasus internasional yang dihadapi Indonesia dapat menjadi bahan evaluasi terhadap keberadaan diplomat kita di luar negeri. Belum lama ini, Indonesia kalah dalam forum ICC Singapura dalam kasus Navayo sehingga harus membayar denda ratusan miliar rupiah. Selain itu, permasalahan pekerja migran Indonesia di luar negeri yang tak kunjung selesai menjadi bukti bahwa kebutuhan akan sumber daya manusia yang ahli dalam berdiplomasi sangatlah penting.
Upaya Hukum
Studi yang dilakukan oleh Haglund (2015) menyebutkan bahwa diplomat karir rata-rata memiliki kinerja yang jauh lebih baik jika dibandingkan diplomat yang dipilih secara politik. Mereka umumnya telah teruji memiliki kualifikasi yang sangat tinggi baik dari segi pendidikan dan pelatihan, pengalaman internasional yang jauh lebih baik, serta kemampuan diplomasi yang matang.
Untuk itu, perlu dipikirkan agar tidak sembarang orang dapat dipilih menjadi diplomat non karir. Jangan sampai timbul kesan bahwa keberadaan diplomat non karir sebagai bagian dari bagi-bagi kekuasaan dan mengabaikan level kapasitas yang harus dipenuhi. Presiden perlu melakukan fit and proper test serta mewajibkan mereka untuk mengikuti pelatihan intensif sehingga mereka mampu memahami strategi menghadapi permasalahan dalam hubungan internasional yang dihadapi Indonesia dengan cepat dan efektif. Prosedur ini sangat perlu dilembagakan minimal dalam bentuk Peraturan Presiden agar secara konsisten menjaga marwah kedutaan besar kita di luar negeri.
Selain itu, sudah saatnya kita merombak substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Utamanya, undang-undang ini sangat perlu mengatur secara detail struktur kelembagaan perwakilan kita di luar negeri dan syarat yang harus dipenuhi bagi diplomat non-karir.
Jika hal ini diatur dalam Undang-Undang, maka siapapun Presiden-nya mau tidak mau harus patuh. Tidak akan ada lagi praktik saling tunjuk dengan latar belakang politik praktis. Harapannya, diplomasi kita semakin kuat sehingga memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam percaturan global.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Maret 2025
Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional.