Categories
Sosial Budaya

Refleksi Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia: Mendialogkan Pemikiran Fransiskan dengan Perspektif Sufi Yunus Emre

Kunjungan apostolik yang dilakukan oleh Paus Fransiskus ke Indonesia memberikan hikmah dan pelajaran yang berlimpah bagi seluruh umat beriman. Dalam pidato dan khotbah yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam ragam forum di Indonesia, ada satu poin utama yang coba ditegaskan oleh Paus dalam setiap penjelasannya, yaitu bagaimana umat beriman di Indonesia dapat memaknai kembali hubungan Allah, alam, dan umat manusia.

Penjelasan yang disampaikan dan solusi yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus didasarkan pada filsafat fransiskan yang berangkat dari pemikiran dan laku Santo Fransiskus dari Asisi, seorang rahib dan teolog Katolik pada Abad Pertengahan.

Pemikiran Santo Fransiskus dari Asisi juga tumbuh pada masa-masa krisis setelah kontestasi berdarah antara kuasa muslim dan kristen pada masa itu yang menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat sipil.

Hal itulah yang membuat Paus Fransiskus memilih Santo Fransiskus dari Asisi sebagai nama kepausan. Pola pikir fransiskan memberikan takhta suci Vatikan kesempatan untuk memikirkan kembali posisi agama dan takhta suci dalam krisis multidimensional yang tidak mudah pada kurun kedua abad ke-21.

Dasar pemikiran Fransiskan
Terdapat tujuh nilai dasar Fransiskan yang menjadi laku harian para pengikut tarikat fransiskan hingga masa kini dan menginspirasi pola hidup umat Katolik. Pertama, fransiskan sangat mengutamakan penghormatan dan perlindungan terhadap makhluk hidup seperti yang tergambar dalam dalam doa Santo Fransiskus dari Asisi yang menginspirasi ensiklik Laudato St.

Kedua, fransiskan memberikan tempat khusus pada perlindungan terhadap muruah dan harga diri manusia. Ketiga, fransiskan menganggap bahwa setiap manusia harus dijaga kehidupannya terlepas dari latar belakang kehidupan manusia tersebut. Keempat, fransiskan juga memberikan penekanan yang amat besar terhadap kaum miskin dan masyarakat yang memiliki kerentanan secara sosial dan ekonomi.

Fransiskan memiliki teologi kasih yang berpusat pada welas asih dan laku hidup sederhana yang memberikan umat beragama ruang eksplorasi untuk peduli pada sesama.

Kelima, fransiskan dikenal juga dengan aktivismenya dalam isu perdamaian dan rekonsiliasi konflik yang tergambar dalam slogannya Pax et bonum, damai dan kelakuan baik. Dasar dari slogan Pax et bonum itulah yang kemudian menginspirasi Paus Fransiskus untuk merumuskan dokumen bersejarah Deklarasi Persaudaraan Manusia dan ensiklik Fratelli Tutti untuk mendorong pola pikir yang menerobos kejumudan dan konflik yang tak kunjung berakhir.

Keenam, fransiskan juga beranggapan bahwa ada kesejalanan di antara keadilan dan kedamaian yang perlu berjalan secara seiringan untuk mengoreksi kuasa yang dapat berlaku lalim dan tanpa batas sehingga merugikan hidup kaum miskin dan masyarakat rentan.

Ketujuh, fransiskan memberikan peluang untuk transformasi diri yang akan berpe- ngaruh pada transformasi masyarakat se- hingga setiap orang Katolik yang mengikuti teologi Fransiskan diekspektasikan untuk menjadi agen perubahan.

Yunus Emre sebagai sufi rakyat
Dalam perspektif Islam, filsafat fransiskan dapat didialogkan secara berkelanjutan dengan filsafat sufi. Salah satu figur sufi dalam sejarah Islam, Yunus Emre, merupakan seorang tokoh yang memiliki latar belakang yang cukup serupa dengan Santo Fransiskus dari Asisi dan mengembangkan pemikirannya seputar Allah, alam, dan manusia dalam konteks sosial-politik yang cukup serupa.

Yunus Emre merupakan seorang sufi yang merakyat dan hidup mengembara dalam laku hidup miskin di tanah Anatolia (sekarang Turki), serupa dengan Santo Fransiskus dari Asisi. Sebagai seorang sufi, Yunus Emre tentunya hidup dengan bimbingan guru spiritualnya, yakni Taptuk Emre yang dikenal sebagai salah satu santri kinasih dari Maulana Jalaluddin Rumi yang tersohor dan Haji Bektash Veli yang merupakan pendiri tarikat bektashi di Turki.

Dalam menyebarkan ajaran sufinya, Yunus Emre dikenal sering membuat syair-syair yang sampai sekarang dikenal luas dan dihafal oleh masyarakat Turki secara keseluruhan. Layaknya Santo Fransiskus dari Asisi yang menyampaikan ajaran Katolik dalam bahasa Italia yang sederhana, Yunus Emre menyederhanakan ajaran agama Islam dengan bahasa Turki yang digunakan oleh rakyat sehari-sehari.

Salah satu ajaran Yunus Emre yang menjadi dasar pemikirannya ialah pentingnya untuk memahami dan mengubah diri sendiri sebelum melakukan transformasi terhadap sekitar. Hal itu tergambar dalam bait syairnya: ‘lim ilim bilmekdir, ilim ken- din bilmekdir. Sen kendini bilmezsin ya nice okumakdr yang bermakna: Ilmu itu berarti ilmu untuk memahami kebenaran, dan ilmu untuk memahami kebenaran yang paling paripurna ialah memahami diri sendiri yang menjadi bagian dari ciptaan Tuhan, seberapa besar pun pengetahuan yang dipelajari akan kebenaran, tiada bermakna tanpa pengetahuan akan diri sendiri.

Bait itu disampaikan oleh Yunus Emre sebagai kritik akan para ulama skripturalis yang terlalu berfokus akan kebenaran yang dideliberasi secara tekstual tanpa ada pe- mahaman kontekstual yang baik di alam sekitar. Teologi Islam, menurut Yunus Emre, akan menjadi tidak bermakna tanpa ada refleksi diri yang kuat dan kontekstualisasi kebenaran dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat. Pemikiran itu tentunya sejalan pula dengan laku fransiskan yang menekankan pada iman dalam laku, serta iman yang menghidupkan masyarakat dalam tindakan-tindakan yang nyata.

Teologi kasih sebagai sumber laku dan inspirasi dialog
Kesepadanan pemikiran Yunus Emre dan Santo Fransiskus dari Asisi juga terlihat dalam fokusnya akan teologi kasih. Salah satu bait puisi yang menjadi prinsip sentral dalam filsafat Yunus Emre ialah ‘sevelim sevilelim, dunyaya kimseye kalmaz (marilah mencintai dan saling memberikan cinta/ kasih karena tiada sesiapa yang akan hidup selamanya di dunia).

Ketika cinta dan kasih menjadi inti dalam laku agama, ia akan menggerakkan umat beriman untuk berlaku damai dan baik pada sesama. Dalam salah satu ceramahnya, Paus Fransiskus menyampaikan bahwa teologi penuh hikmat kebijaksanaan (sapiential the ology) ialah teologi kasih. Paus Fransiskus menjelaskan pula bahwa siapa pun yang hidup tanpa kasih, ia hidup tanpa Tuhan karena esensi Tuhan ialah kasih.

Sikap kasih mendorong manusia untuk sadar bahwa materialisme dunia bukan merupakan tujuan, melainkn sekadar alat yang membantu manusia untuk melanjut kan hidup di dunia. Sikap berserah diri pada Tuhan-lah yang selayaknya menjadi referensi untuk menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual di dunia yang fana.” Itu tergambar pula dalam bait Yunus Emre, ‘neyi sever isen imann oldur, nice sevmeyesin sultann oldur,(keimanan seseorang itu bergantung apa yang ia kasihi dan apalah arti kasih itu jika tidak dapat memahami kasih sejati yang berasal dari sang Penguasa).

Dalam bait yang lain, Yunus Emre bahkan mengritik sikap rakus dan eksploitatif ma- nusia sebagai salah satu dasar terjadinya konflik yang merugikan sesama manusia dan merusak lingkungan sekitar. Hal itu tergambar dalam bait ‘ana durur buhl u hased key mubariz durur gayet, kokunu kaz yabana at farig otur ey gam- güzar (di mana pun ada sikap kikir dan cemburu, di situlah ada seteru yang menderu. Maka, bersihkanlah jiwamu dan jauhkanlah dirimu dari sikap- sikap seperti itu).

Dalam beberapa kesempatan, Paus Fransiskus juga mengingatkan bahwa sikap materialisme dan hoarding (menumpuk barang) sebagai laku konsumerisme ekstrem yang menjauhkan seseorang dari kebenaran Tuhan, yang menekankan hidup penuh kasih dan hidup yang berbagi pada sesama. Seperti yang tercantum di dalam ensiklik Fratelli Tutti, konflik yang terjadi di dunia merupakan ejawantah dari keserakahan material yang marak terjadi di dunia ini. Sudah selayaknya laku hidup reflektif dan kembara yang dilakukan oleh Yunus Emre dan Santo Fransiskus dari Asisi menjadi inspirasi yang memberikan manusia peluang untuk memotong rantai konflik dengan memahami lingkungan sekitar secara lebih mendalam.

Dengan mendialogkan ajaran fransiskan dan Yunus Emre itu, sudah selayaknya dialog-dialog yang lebih intensif layak dibuka antarumat Islam dan umat Katolik, utamanya dalam isu-isu spiritualisme yang bersifat kontekstual dan menapak tanah. Hal itu amat penting dilakukan untuk mentransformasi agama yang tidak hanya eksis sebagai sekumpulan doktrin, tetapi juga menjadi semangat hidup yang dapat menginspirasi solusi akan masalah-masalah yang mendera masyarakat Indonesia dan dunia.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Media Indonesia pada tanggal 13 September 2024

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Sosial Budaya

Dilema Organisasi Masyarakat Sipil: Pejuang Aspirasi Publik, Terlilit Masalah Pendanaan

Sejarah mencatat organisasi masyarakat sipil (OMS) berperan besar di Indonesia bahkan sejak dalam proses pembentukan negara. Dalam risalah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sedikitnya terdapat 50 OMS yang terlibat, misalnya ada Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), Sumpah Pemuda (1928), Indonesia Muda (1931), dan lain-lain.

Peran OMS di Indonesia mencakup berbagai aspek, mulai dari memperjuangkan hak asasi manusia dan hak sipil—khususnya bagi kelompok rentan, hingga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. OMS juga berperan penting dalam menangani krisis dan menyokong proses pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

OMS juga lebih efektif dalam merespons isu sosial karena mereka sudah berfokus pada isu-isu kemanusiaan dan keadilan. Lain halnya pemerintah yang terkadang lambat beraksi karena struktur birokrasi dan administrasi yang kaku.

Sayangnya, pelaksanaan peran penting OMS kerap tersandung masalah pendanaan. Sejauh ini,, mayoritas OMS di Indonesia bergantung pada donor (terutama dari luar negeri) ketimbang mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Pendanaan internasional bagi OMS semakin berkurang setelah Indonesia bergabung dalam G20 pada dan masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas pada 2008. Situasi ini amat memengaruhi OMS, apalagi di tingkat lokal.

Minimnya pendanaan dari pemerintah

Berdasarkan laporan The Civil Society Organization Sustainability Index (CSOSI), indeks kemampuan finansial OMS Indonesia dalam dua tahun terakhir (2023-2024) masih berkembang tapi cenderung terhambat. Jumlah OMS yang mencapai 300 ribu pada masa reformasi, kini menurun drastis menjadi kurang dari 8 ribu organisasi akibat minimnya dukungan pemerintah dan donor internasional.

Masalah utama sumber daya dan diversifikasi pendanaan OMS tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.

Di sisi lain, ketergantungan pada donor internasional membuat akuntabilitas OMS di Indonesia meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan donor untuk membuat pelaporan yang lebih transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Untuk pendanaan OMS dari pemerintah, pengelolaannya mengikuti mekanisme khusus bernama Swakelola Tipe 3. Sejauh ini, jumlah pendanaan untuk OMS dari mekanisme ini masih sangat kecil.

Pengalaman tahun 2023 juga menunjukkan banyak kesalahan pelabelan dalam paket Swakelola Tipe 3. Beberapa paket yang seharusnya ditujukan untuk OMS justru mencakup proyek konstruksi, operasional pemerintah, pengadaan barang, hibah, dan jasa pihak ketiga.

OMS juga merasa kesulitan mengakses Swakelola Tipe 3. Ini terjadi karena mereka kesulitan mengakses informasi dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi penerima dana.

Berdasarkan penelitian USAID-MADANI terhadap 437 OMS di Indonesia, sumber pendanaan dari pemerintah hanya mencapai 21%. Sementara itu, mayoritas pendanaan berasal dari internal organisasi, yaitu sebanyak 46%.

Sebanyak 52% OMS yang diteliti menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan dukungan yang memadai atau tidak mendukung pemberdayaan OMS sama sekali, terutama terkait pendanaan. 

Alasan mereka antara lain pemerintah tidak mendukung program OMS, akses terhadap pendanaan terbatas dan syaratnya rumit, dan pemerintah tidak mendukung penguatan OMS secara keseluruhan. Meski demikian, yang menarik adalah sebanyak 58% OMS telah berkolaborasi dengan pemerintah daerah.

Lemahnya komitmen pemerintah untuk memberikan anggaran pada sektor yang ditangani oleh OMS dapat dilihat pada penanganan HIV/AIDS dalam kerangka Target Three Zero 2030. Pada tahun 2021, pemerintah Medan, Surabaya, Makassar, Sorong, dan Jayapura tidak menganggarkan dana untuk program ini. 

Kondisi ini menggambarkan bahwa pendanaan dari kas negara minim bukan karena anggaran tak memadai, melainkan karena pemerintah tidak menjadikan bantuan dana OMS sebagai prioritas.

Minimnya pendanaan tidak hanya memengaruhi operasional organisasi tetapi juga pada para anggota dan aktivis yang terlibat di dalamnya. OMS kerap kepayahan dalam mempertahankan pekerja yang kompeten karena keterbatasan anggaran untuk memberikan gaji yang stabil. Situasi ini mengancam pengembangan organisasi dan keberlanjutan program-programnya.

Sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi minimnya pendanaan dari pemerintah, lahirlah inisiatif bernama Ananta Fund pada 2022.

Ananta Fund merupakan forum kolaborasi untuk membuka peluang kerja sama penyedia dana dari berbagai sektor, mulai dari organisasi bilateral, multilateral, filantropi, dan perusahaan. Inisiatif ini berupaya meningkatkan jumlah dana abadi Ananta Fund serta pendanaan langsung untuk program penguatan OMS.

Dukungan wajib dari pemerintah

Kesejahteraan OMS, baik secara organisasi maupun individu, sangat bergantung pada pendanaan. Sayangnya, akses terhadap sumber dana, terutama dari pemerintah, juga sangat terbatas.

Sebagai gantinya, OMS mencoba diversifikasi donor agar tidak bergantung dari satu sumber dana. Sebagai contoh, mereka mencari pendanaan dari CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) maupun platform urun dana atau crowdfunding seperti Kitabisa.com.

Melihat situasi tersebut, pemerintah seharusnya lebih peka dan mengakui peran OMS dengan memberikan dana yang memadai. Pemerintah perlu mendefinisikan peran OMS sebagai mitra strategis dalam membantu masyarakat dan mengakui peran penting mereka dalam perubahan sosial.

Selain itu, keterbukaan pemerintah dan peluang kerja sama yang lebih luas untuk OMS akan membantu menopang keberlanjutan OMS dalam menggaungkan aspirasi publik dan merealisasikannya dalam bentuk pembangunan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 Maret 2025

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.



Categories
Politik Sosial Budaya

Urgensi Perda Kebudayaan

Kota Yogyakarta sampai tahun 2025 ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara khusus mengenai kebudayaan. Meski pada tingkat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah diatur secara komprehensif di dalam Perdais DIY Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan, tetapi sebagai kota yang memiliki kewenangan tersendiri sudah sepatutnya Kota Yogya karta juga memiliki Perda Kebudayaan. 

Sedikit lebih maju daripada Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul telah memiliki Perda khusus mengenai pengelolaan kebudayaan sejak tahun 2022 lalu. Perda tersebut setidaknya dapat menjadi pijakan dan jaminan akan hadirnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam urusan kebudayaan, baik sekarang maupun mendatang. 

Mendesak 

Setidaknya ada beberapa argumentasi mengapa pembentukan Perda tentang Kebudayaan sangat urgen untuk segera diwujudkan di Kota Yogyakarta. Secara filosofis, sebagai bagian dari DIY, Kota Yogyakarta mewarisi nilai-nilai luhur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat. Warisan budaya tersebut perlu dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan dan dibina agar terus lestari. Pemerintah Daerah harus hadir dalam rangka mempertahankan eksistensinya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan di tengah tantangan dan hambatan peradaban daerah. 

Secara sosiologis, tren positif pengelolaan kebudayaan yang dianggap telah baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Raihan kategori terbaik/emas oleh Kota Yogyakarta dalam penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 dari Kementerian Kebudayaan, perlu juga diimbangi dengan kontribusi murni Kota Yogyakarta kepada pengelolaan kebu- dayaan. 

Saat ini, kontribusi Kota Yogyakarta dalam tata kelola kebudayaan, secara mayoritas masih dalam kedudukannya sebagai pelaksana dan penerima tugas urusan keistimewaan bidang kebudayaan dari Pemerintah DIY, bukan murni dari inisiatif atau otonomi Kota Yogyakarta. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberikan kesempatan kepada Pemerintah Kota untuk juga turut aktif dalam memajukan dan melestarikan kebudayaan di daerahnya.

Secara yuridis, kontribusi yang belum optimal di atas dapat dimaklumi karena Pemerintah Kota Yogyakarta sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Tahunan 2023 Dinas Kebudayaan mengamini sendiri bahwa Kota Yogyakarta memiliki keterbatasan perangkat regulasi teknis terkait dengan pelestarian, pengawasan, dan pengembangan seni budaya di Kota Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasi- kan bahwa terjadi kekosongan hukum bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan tata kelola kebudayaan yang berlandaskan atas otonomi daerah. 

Materi Muatan 

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka ke depan, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta perlu segera membentuk Perda Kota Yogyakarta tentang Kebudayaan. Materi muatan yang perlu diatur dapat berisi beberapa hal berikut. Pertama, sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan antara Pemerintah Daerah DIY dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tujuannya bukan untuk memperumit pembagian kewenangan, tetapi justru dapat memperjelas masing-masing kewenangan dari dua daerah tersebut. Di samping sebagai pelaksana tugas dari Pemerintah DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta juga perlu dimak- simalkan kontribusinya seba- gai daerah yang memiliki kewenangan tertentu. 

Kedua, pemetaan mengenai objek kebudayaan.yang bersumber dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat yang memang berada di Kota Yogyakarta di antaranya nilai hamemayu hayuning bawana, segoro amarto, dan rewang/balad. Ketiga, perlu pengaturan mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan urusan di bidang kebudayaan yang dapat terdiri pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. 

Keempat, pemeliharaan dan pengembangan rintisan ke lurahan budaya serta kelurahan budaya. Dua entitas ini perlu diberi pembinaan dan pelestarian melalui diantaranya peningkatan manajemen, kungan dan fasilitasi sarana dan prasarana serta pendampingan tenaga teknis. Ketentuan ini menjadi lokalitas (local wisdom) karena menjadi kekhasan Kota Yogyakarta. Kelima, pemberian pengha gaan kepada pihak-pihak yang telah be. prestasi dan berperan penting dalam upaya pengelolaan kebudayaan. Penghargaan dapat berupa fasilitas, insentif dan bentuk lainnya. 

Keenam, peran serta masyarakat. Ketentuan ini mengatur mengenai peran apa saja yang dapat diberikan oleh masyarakat di dalam pengelolaan kebudayaan. Peran serta dapat berupa bantuan upaya pengelolaan kebudayaan, bantuan pendanaan, melakukan pelindungan sementara, melakukan advokasi publikasi dan sosialisasi serta pengawasan terhadap upaya pengelolaan kebudayaan. Ketujuh, dukungan pendanaan dalam pelaksanaan pengelolaan kebudayaan. 

Beberapa materi muatan di atas perlu dipertimbangkan agar kehadiran Pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih nyata dalam memberikan kontribusi dalam pengelolaan kebudayaan sebagai daerah otonom, bukan hanya dalam kedudukannya melaksanakan tugas dari Pemerintah DIY. Tentu saja hal ini bertujuan agar potensi kebudayaan di Kota Yogyakarta menjadi optimal secara khusus dan secara umum kebudayaan DIY dapat lestari secara maksimal.



Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 26 Maret 2025

M. Addi Fauzani
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII

Categories
Sosial Budaya

‘Ecohorror’, Alternatif untuk Film Horor Religi di Indonesia

Sutradara Indonesia, Gina S. Noer melayangkan kritik terhadap tren film horor yang sedang berkembang di Indonesia. Ia menyayangkan para sineas yang cenderung mencari jalan cepat untuk menciptakan efek seram dengan memanfaatkan ritual ibadah, alih-alih mengutamakan variasi dan kedalaman cerita. Banyak kalangan juga mempermasalahkan bagaimana agama direduksi sedemikian rupa dan hanya menjadi alat untuk membuat adegan-adegan seram.

Kiblat (2024) menjadi salah satu film yang banyak disorot. Mulai dari poster yang dinilai menistakan agama karena menampilkan sosok seperti iblis sedang salat sampai penggunaan judul ‘kiblat’ yang dianggap menjelek-jelekkan ka’bah selaku tempat suci. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan meminta Agung Saputra, sutradara Kiblat, beserta timnya untuk meminta maaf kepada publik.

Eksploitasi agama di film horor bukanlah hal baru. Sejak rezim Orde Baru, ketatnya sensor pemerintah terhadap film demi menjaga stabilitas rezim, membuat mayoritas pembuat film memilih jalan yang relatif lebih aman. Caranya dengan memproduksi film horor yang mengandung unsur adegan ranjang dan kesadisan, sambil mempromosikan moralitas bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan dan bertakwa kepada Tuhan adalah solusi keselamatan.

Setelah reformasi, mulai muncul film horor yang berani ‘menghilangkan’ kesakralan agama. Sosok kiai atau ustaz tidak lagi menjadi solusi mutlak dari serangan roh jahat. Namun, terlepas dari posisi agama dalam narasi film, ia tetap menjadi menu wajib bagi film horor.

Ini menunjukkan kurangnya eksplorasi sineas terhadap isu religiusitas di masyarakat. Isi film horor hanyalah pengulangan adegan-adegan horor dalam suatu praktik ibadah, misal orang salat yang dimakmumi hantu atau hantu yang bisa memutus doa seseorang. Seolah-olah, tidak ada formula atau ide cerita lain untuk film horor di Indonesia.

Padahal, film horor memiliki potensi sebagai medium yang bisa membicarakan beragam isu penting, termasuk isu lingkungan. Terlebih, masyarakat kita tidak kekurangan cerita-cerita mengenai alam yang bisa mendatangkan celaka kepada siapapun yang mengusiknya.

Apa itu genre ‘ecohorror’?

Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia.

Dalam genre ini, alam direpresentasikan sebagai kekuatan-kekuatan mengerikan yang mengancam manusia gara-gara aktivitas eksploitatif. Salah satu contoh yang paling sering dibahas adalah Godzilla (1954)—film tentang monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

Dalam perkembangannya, ecohorror semakin mempunyai banyak varian cerita yang mengeksplorasi bentuk-bentuk hubungan antara manusia, alam, dan terutama mahluk hidup lainnya.

Deep Blue Sea (1999), misalnya, menggambarkan ilmuwan yang melakukan eksperimen untuk meningkatkan kapasitas otak hiu dalam upaya menemukan obat alzeimer. Namun, situasi berubah horor ketika hiu yang semakin cerdas memburu para ilmuwan dan staf di fasilitas penelitian mereka.

‘Ecohorror’ dan upaya memahami alam di Indonesia

Jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih sedikit. Genre ini tak banyak dibahas baik di ranah populer maupun akademis. Sejauh ini, saya hanya menemukan penelitian tahun 2023 yang secara spesifik membicarakan ecohorror, khususnya dalam konteks perfilman di era Orde Baru.

Menurut riset tersebut, film Ratu Buaya Putih (1988) dan Titisan Dewi Ular (1990) mempunyai formula yang serupa yaitu kemarahan alam atas perbuatan manusia.

Dalam Ratu Buaya Putih, perilaku eksploitatif manusia ditunjukkan lewat pembantaian buaya oleh tokoh bernama Sumarna dan Jefri demi kepentingan bisnis, sedangkan dalam Titisan Dewi Ular, persoalannya adalah spesies ular yang eksistensinya terancam oleh tokoh bernama Dayan demi memperoleh kesaktian. Kedua film tersebut lantas menghadirkan pembalasan alam melalui representasi roh-roh dengan wujud siluman buaya dan siluman ular.

Pada konteks film Indonesia kontemporer, genre ecohorror juga mulai muncul. Sayangnya, isinya masih didominasi narasi yang menempatkan alam sebagai entitas berbahaya.

Seri Kisah Tanah Jawa: Merapi (2019), misalnya, berbicara mengenai demit gunung Merapi yang bisa menculik manusia untuk dijadikan pengantin. Ceritanya mengadopsi kisah yang berkembang di masyarakat mengenai gunung sebagai tempat angker, kerajaan makhluk halus, kemudian pendaki yang hilang dan diculik oleh bangsa jin untuk dijadikan sebagai pengantin.

Namun, karena terlalu fokus pada penciptaan teror, seri ini berhenti pada penggambaran gunung yang misterius dan berbahaya. Sementara manusia sekadar diposisikan menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai kekuatan jahat di sana. Narasi ini berpotensi menciptakan ecophobia (ketakutan irasional terhadap alam) alih-alih tergerak untuk memahami alam secara lebih mendalam.

Memang, risiko membuat audiens menjadi ecophobic tetap ada pada setiap film ecohorror. Sebab, ecohorror adalah genre yang kerap menghadirkan kengerian kepada penonton, entah melalui monster atau perubahan iklim yang membawa bencana.

Namun, kita tetap butuh film ecohorror yang memberi penekanan kuat terhadap kerusakan alam akibat ulah manusia agar muncul rasa bersalah atau, paling tidak, kegelisahan di antara penonton sehingga memantik perbincangan terkait isu-isu lingkungan.

Potensi genre ‘ecohorror’

Meski jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih terbatas, Indonesia memiliki kekayaan cerita yang secara dialogis mewacanakan hubungan antara alam, entitas makhluk gaib, dan manusia.

Di YouTube, misalnya,acara-acara talkshow berbasis paranormal experience telah banyak memuat cerita bagaimana para pendaki gunung memperoleh gangguan jin gara-gara mengotori lingkungan,  seperti mengotori tempat-tempat sakral atau membuang pembalut sembarangan. Biasanya mereka baru bisa lepas dari gangguan tersebut setelah meminta maaf kepada si jin penjaga gunung.

Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara.

Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya.

Kontekstualisasi ‘ecohorror’

Industri perfilman luar negeri sudah banyak mengeksplorasi variasi tema dalam genre ecohorror. Godzilla merupakan salah satu monster yang filmnya paling sering direproduksi dan kerap menjadi perbincangan terkait isu-isu lingkungan. Jika film Godzilla pertama (1954) menyuguhkan pesan mengenai bom nuklir yang membawa petaka, Godzilla versi baru menyajikan tema perubahan iklim dan kepunahan massal.

Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menggunakan formula film ecohorror dari luar.

Sebagian besar masyarakat Indonesia barangkali tidak bisa terhubung dengan kisah monster yang bangkit gara-gara ledakan nuklir atau monster yang tercipta akibat eksperimen sains tertentu. Namun, mereka jelas punya kedekatan terhadap kisah para pendaki gunung yang tersesat ke desa gaib karena membuang pembalut sembarangan. Jutaan views di kanal YouTube RJL 5 saat mengundang narasumber-narasumber yang mengklaim punya pengalaman soal penunggu gunung, misalnya, menguatkan hal ini.

Dengan minat yang tinggi terhadap isu-isu pengalaman gaib, film-film ecohorror bisa menjadi salah satu medium untuk mengarusutamakan isu lingkungan di tengah masyarakat. Meski film horor sendiri bersifat dinamis, fleksibel, dan terbuka untuk berbagai interpretasi, mengeksplorasi ecohorror bisa menjadi langkah awal untuk memantik dialog terkait isu lingkungan, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang kerap abai terhadap kelestarian alam.

Minimal, film ecohorror bisa mengajak kita untuk berpikir ulang: masihkah kita berupaya memahami alam dan bahasa-bahasanya dengan benar?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 17 April 2024

Khumaid Akhyat Sulkhan
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bergiat di Klub Studi Simulakra. Bidang riset pada kajian media dan budaya digital.

Categories
Politik Sosial Budaya

Riset Ungkap Bentuk Empat Model Afiliasi Media dan Politik di Indonesia

Dalam 20 tahun terakhir, kepemilikan media konvensional dan digital di Indonesia dipandang strategis, bukan semata-mata untuk tujuan bisnis murni tapi juga politik praktis.

Media, terutama televisi dan media digital terafiliasi, milik politikus digunakan sebagai alat kampanye politik selama pemilihan umum (pemilu), termasuk Pemilu 2014 dan 2019.

Merespons isu ini, riset terbaru kami memotret kondisi aktual kepemilikan media serta menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik (pemerintah, parlemen, dan partai politik).

Riset ini dibuat dengan harapan bisa membantu pembuat kebijakan, pekerja dan aktivis media, dan masyarakat sipil dalam memahami interelasi media dan politik praktis yang akan berimplikasi pada kontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan kurang dari sepekan lagi.

Riset ini menunjukkan adanya bentuk-bentuk kepemilikan media dan afiliasi politik praktis yang kompleks. Kepemilikan dan hubungan itu diduga kuat menabrak regulasi media pers, penyiaran, dan keterbukaan informasi publik.

Empat model afiliasi

Dalam menyusun riset ini, kami terinspirasi buku klasik Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (1999) karya Robert McChesney. Buku ini kami pakai karena bisa membantu menjelaskan fenomena interkoneksi antara kepemilikan media dan perpolitikan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Dengan mengambil latar di Amerika Serikat (AS) dalam era media konvensional, McChesney mensinyalir jumlah media komersial yang tak terhingga, angkanya tidak bisa lagi dihitung, tetapi kontribusinya terhadap demokrasi sangat minimal. Pascadisrupsi digital, situasi serupa berlanjut, dan bukannya memberi optimisme atas demokrasi elektoral, tetapi mengancam dan memicu kemunduran demokrasi.

Temuan hampir serupa muncul dalam riset terbaru kami yang datanya diambil di Jakarta dalam periode November 2022 hingga September 2023. Data riset ini digali lewat focused group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan para stakeholder media dan penyelenggara pemilihan umum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), organisasi jurnalis, akademisi komunikasi, dan wakil organisasi masyarakat. Data-data primer ini didukung dengan data sekunder yang berupa analisis dokumen legal perusahaan pers.

Data riset kami menunjukkan bahwa salah satu masalah mendasar yang mengancam demokrasi khususnya pemilu adalah kepemilikan media yang terkonsentrasi di segelintir pengusaha yang sekaligus menjadi pemilik/pengurus partai politik.

Mengenai analisis kepemilikan media ini, terdapat beragam pendekatan dan konsep. Konsep kepemilikan bisnis media yang digunakan dalam riset ini diadaptasi dari pemikiran Gillian Doyle dalam publikasinya Media Ownership (2002); dan Media Ownership Transparency in Europe: Closing the Gap between European Aspiration and Domestic Reality (2021)  dari Rachael Craufurd Smith, di antaranya: horizontal (satu platform banyak saluran), vertikal (bisnis media dari hulu ke hilir), diagonal (campuran horizontal dan vertikal) dan konglomerasi: lintas usaha.

Dalam mencermati kepemilikan, kami menggunakan dua pintu masuk: uang (saham pada media) dan posisi kekuasaan dalam struktur media.

Adapun konsep afiliasi politik dapat dilihat dalam dua sisi: (1) afiliasi langsung, yakni pemilik atau pengelola media sekaligus merupakan pejabat publik, calon atau anggota parlemen (DPR, DPR, DPD) dan pengurus partai politik. (2) Afiliasi tidak langsung, yakni para pekerja media terhubung kepada partai politik, pejabat pemerintah, anggota DPR, tim sukses, calon anggota legislatif, tim ahli, dan konsultan.

Dengan konsepsi ini dan data-data di lapangan, kami mengembangkan empat tingkatan konseptual afiliasi media dan politik di Indonesia.

Pertama, afiliasi ekstrem yang muncul ketika pemilik media dan keluarganya (pemegang saham-komisaris-direksi) sekaligus menjadi ketua partai, calon legislatif (caleg) atau anggota parlemen pusat atau daerah, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh paling jelas dari tipe ini adalah Hary Tanoesoedibjo. Pada sisi media, dia merangkap pemilik (pemegang saham) MNC group, direktur utama (memimpin operasional). Sementara, dari sisi politik, dia menjadi Ketua Umum Perindo, sekaligus menjadi caleg DPR.

Pada saat yang sama, Hary memiliki anak perempuan, Angela Tanoesoedibjo, yang menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada perhelatan Pemilu 2024 ini, seluruh keluarga inti Hary Tanoesoedibjo juga maju menjadi calon anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan.

Di luar keluarga, hasil wawancara riset ini juga menunjukkan bahwa Hary aktif mengimbau karyawannya untuk maju sebagai calon legislatif.

Dari temuan data ini, dapat dikatakan bahwa Hary Tanoesoedibjo memiliki interkoneksi media dan politik praktis yang nyaris paripurna. Ia memegang kendali banyak media, memiliki satu partai, punya anak yang duduk di pemerintahan, dan berpotensi duduk di parlemen (jika terpilih). Model ini barangkali hanya ada di Indonesia.

Kedua adalah afiliasi kuat. Afiliasi ini muncul ketika seseorang berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contohnya adalah Surya Paloh (SP). SP adalah pemilik Media Group (dengan saham mayoritas sekaligus direktur utamanya). Dia juga Ketua Umum Partai Nasdem. Anaknya, Prananda Surya Paloh, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan juga anggota DPR periode 2019-2024. Prananda kini maju kembali di Pemilu 2024.

Partai milik SP, Nasdem, juga menempatkan tiga Menteri dalam kabinet Jokowi selama dua periode: Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate; Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, dan; Menteri Pertanian Syahru Yasin Limpo.

Ketiga adalah bentuk afiliasi moderat. Afiliasi ini teridentifikasi ketika seseorang menjabat direksi di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh model ini adalah Syafril Nasution. Dia menjabat sekretaris perusahaan Media Nusantara Citra (MNC), Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) 2019-2022, dan kini menjadi caleg Perindo daerah pemilihan Jawa Tengah 1. Selain itu, Syafril juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Perindo.

Keempat adalah afiliasi lemah. Afiliasi ini muncul ketika jurnalis atau editor media menjadi caleg, anggota parlemen, atau pengurus partai. Pada hasil penelitian, jurnalis tingkat nasional yang menjadi caleg antara lain adalah Aiman Witjaksono. Selain menjadi jurnalis di MNC Group, Aiman juga maju calon DPR lewat Partai Perindo.

Dalam wawancara riset ini, Aiman menyatakan keputusannya pindah dari Kompas TV ke MNC Group salah satunya juga karena adanya peluang berkiprah di dunia politik. Aiman dalam wawancara mengatakan “Jadi di sini (MNC Group) saya lihat, saya bisa masuk ke media di mana saya juga bisa berkiprah di partai politik. Tapi, bukan mencampuradukkan keduanya.”

Di luar Aiman, penelitian kami juga menunjukkan bahwa ada beberapa jurnalis senior di berbagai provinsi di Indonesia yang maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Dampaknya, media-media tempat mereka bekerja menunjukkan keberpihakan kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita.

Menarik diperhatikan, bahwa empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya, seperti EMTEK, Grup Kompas Gramedia, Jawa Pos Group, Berita Satu Media Holding, CT. Corps, dan TEMPO Media Group.

Perlu perubahan peraturan

Riset ini mengonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan media dan afiliasi politik. Hal ini menjadi peringatan pada tiga pihak: regulator media, regulator terkait pemilu, dan regulator terkait persaingan usaha di Indonesia.

Untuk memitigasi isu ini, kami menyampaikan rekomendasi reformasi kebijakan terkait kepemilikan media, afiliasi media dan jurnalis ke dalam struktur politik. Reformasi kebijakan ini penting untuk mewujudkan pemilu yang adil dan sehat ke depan.

Pada konteks kepemilikan media, sebenarnya sudah ada dua aturan pembatasan kepemilikan, yakni (1) pelarangan kepemilikan oleh pemerintah dan warga negara asing dan (2) pembatasan cross ownership di UU Penyiaran.

Menurut kami, masih perlu adanya penambahan aturan di UU, berupa pembatasan kepemilikan media oleh politikus, pejabat pemerintah atau pengurus partai politik (secara langsung atau tidak langsung).

Kita juga perlu mendorong revisi aturan partisipasi politik di UU Pemilu, khususnya kandidasi dalam kepemiluan demi menjaga independensi media dan jurnalis. Pelarangan jurnalis saja menjadi caleg tidak cukup dan tidak adil. Pelarangan terjun ke politik elektoral juga harus melingkupi para pemilik saham dan pejabat tinggi media juga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 1 Februari 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Lingkungan Sosial Budaya

Tsunami Aceh : Bagaimana Monumen Bencana Membantu Kita Mengingat, Sekaligus Melupakan Bencana

20 tahun sudah Aceh pulih dari tsunami yang menimbulkan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya para penyintas. Dalam periode yang berdekatan, Aceh juga berusaha bangkit setelah didera konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah selama puluhan tahun.

Setelah mengalami bencana, masyarakat terdampak akan menghadapi tarik-menarik antara mengingat dan melupakan bencana. Di satu sisi, mereka harus mampu melupakan bencana yang dialami agar bisa move on. Di sisi lain, masyarakat penyintas harus tetap merawat ingatan bencana, khususnya untuk mengenang keluarga dan kerabat yang menjadi korban, juga untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana serupa di masa depan.

Dalam tarik-menarik ini, ingatan bencana selalu ada, tapi bukan sebagai memori yang terus diingat dalam keseharian. Memori bencana tersebut akan muncul sebagai ingatan aktif ketika dipicu oleh pemantik tertentu, misalnya tempat, benda, atau peristiwa.

Memori ini erat kaitannya dengan pemaknaan atas bencana. Dalam tsunami Aceh 2004, masyarakat Aceh menafsirkan bencana secara beragam.

Awalnya, terdapat narasi awal tsunami sebagai hukuman atau peringatan dari Allah. Lalu, seiring berjalannya waktu, muncul makna atas bencana yang disepakati secara sosial, yaitu tsunami sebagai ujian dari Allah.

Narasi tsunami sebagai ujian ini terbukti ampuh mempercepat proses pemulihan pascatsunami. Pemulihan psikologis bisa berjalan cepat karena orang-orang move on dari trauma tsunami dengan meyakini bahwa keluarga yang meninggal adalah syuhada, berada di surga. Sementara mereka yang masih hidup diberi kesempatan oleh Allah untuk hidup lebih baik lagi.

Langkah menyepakati narasi ini disebut sebagai memory canonization (kanonisasi memori), yaitu ketika pemerintah dan para elit yang berkuasa mengajukan tafsir atau narasi tertentu atas bencana yang terjadi, termasuk tentang apa yang harus diingat dan bagaimana mengingat bencana tersebut.

Kanonisasi memori bencana juga mewujud dalam pendirian monumen-monumen bencana dan acara-acara peringatan bencana. Sayangnya, kanonisasi memori seperti ini kerap meminggirkan atau melupakan narasi-narasi lain yang tidak sejalan dengan narasi utama yang diajukan. Ini membuat banyak monumen bencana di Aceh yang justru tidak memicu ingatan penyintas akan tsunami.

Kontestasi memori bencana

Pembangunan memorial permanen setelah peristiwa bencana adalah tren umum di masyarakat modern. Di Aceh, kita bisa menjumpai banyak sekali monumen tsunami—banyak diantaranya bahkan menjadi destinasi wisata.

Secara umum, monumen tsunami bisa dibedakan menjadi dua berdasarkan proses pendiriannya.

Pertama monumen yang didirikan dari puing-puing sisa tsunami, yang sengaja dijaga, dimodifikasi atau ditambahi elemen tertentu, dan dirawat sebagai monumen tsunami. Contohnya adalah Kapal PLTD Apung, Monumen Kapal di Atas Rumah di Lampulo, atau puing tsunami di Masjid Rahmatullah Lampuuk.

Kedua monumen yang sengaja didesain dan didirikan setelah tsunami sebagai bangunan baru, misalnya Museum Tsunami Aceh atau Tugu Tsunami yang didirikan di lebih dari 50 titik di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Pendirian memorial bencana selalu bersifat politis. Monumen bencana adalah perwujudan nyata bagaimana pemerintah dan para elit mendorong dan merawat tafsir tertentu agar menjadi tafsir utama atas bencana. Ini bisa dilakukan dengan merancang desain arsitektur tertentu dan memilih koleksi atau narasi tertentu untuk disajikan di monumen.

Di sisi lain, proses kanonisasi tersebut tidak akan pernah final. Setelah didirikan, setiap monumen bencana akan menjadi tempat pembentukan, penguatan, modifikasi, pengubahan, hingga revisi tafsir atas bencana.

Dalam keseharian, masyarakat penyintas akan berinteraksi dengan monumen dalam beragam konteks—misalnya menjadi sumber penghasilan atau tempat menghabiskan waktu luang. Artinya, makna sebuah monumen bencana bisa bermacam-macam, yang seringkali tidak ada kaitannya sama sekali dengan narasi dan tujuan awal dari pihak-pihak yang menginisiasi monumen.

Penelitian yang sedang saya lakukan di Banda Aceh sejak November 2024 (belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa di kalangan penyintas, ingatan tsunami justru sering kali dipicu oleh tempat tertentu yang berasosiasi dengan pengalaman mereka. Beberapa di antaranya seperti bangunan rumah tempat mereka selamat dari tsunami, kawasan pantai di mana mereka digulung tsunami, atau puing-puing rumah mereka.

Para penyintas ini merawat ingatan personal yang unik dan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Ingatan ini juga berbeda dengan narasi utama yang dibangun pemerintah melalui monumen tsunami—saya menyebutnya sebagai the forgotten memories of tsunami (memori tsunami yang terlupakan).

Bagi para penyintas, monumen-monumen yang didirikan justru tidak memicu ingatan mereka pada tsunami. Memang, banyak monumen tsunami didirikan tanpa melibatkan warga lokal. Akibatnya, warga tidak merasa terhubung, alih-alih merasa memiliki monumen tersebut.

Monumen bencana dan pendidikan kebencanaan

Saat ini, 20 tahun setelah tsunami, kita masih bisa menjumpai para penyintas tsunami dengan mudah.

Dari mereka, kita bisa mendapatkan banyak kisah menarik yang sangat berguna untuk pendidikan kebencanaan. Misalnya: bagaimana penyintas membangun keluarga baru setelah tsunami; membangun kembali rumah dan desa mereka di tempat yang sama, di kawasan pantai; membangun kesadaran kultural tentang tsunami sembari hidup di tempat yang sangat rentan gelombang pasang, dan seterusnya.

Namun, seiring waktu para penyintas tersebut akan meninggal dan generasi berganti. Dari mana orang-orang baru dan generasi baru akan belajar tentang tsunami? Terlebih para pendatang yang pindah ke sana setelah tsunami dan menyewa rumah di kawasan pantai.

Lama kelamaan, mereka akan bergantung dari memorial tsunami di sekitar mereka, karena hanya itu artefak yang tersisa. Sayangnya, banyak memorial tsunami yang kini terlupakan, bahkan sengaja tidak dirawat.

Untuk memitigasi potensi risiko tersebut, saya merekomendasikan beberapa hal.

Pertama, kita bisa mendokumentasikan ‘memori tsunami yang terlupakan’ secara kreatif, misalnya dengan video dokumenter, komik, foto, konten media sosial, atau lainnya. Ini bisa berfokus pada ingatan dan kisah yang memberikan wawasan bagi upaya pengurangan risiko bencana dan pendidikan kebencanaan untuk generasi muda.

Kedua, kita perlu mendorong interaksi yang berkelanjutan dan bermakna antara warga lokal dengan monumen-monumen tsunami. Memorial bencana akan berfungsi secara maksimal—dalam merawat ingatan bencana sekaligus mendidik generasi muda tentang bencana—ketika terhubung dengan aktivitas keseharian warga sehingga memiliki makna, peran dan fungsi tertentu bagi warga.

Dalam konteks Aceh, ini dapat dilakukan melalui pelibatan siswa sekolah untuk berkunjung dan melakukan aktivitas tertentu di monumen. Langkah lainnya adalah pelibatan warga sekitar untuk merawat kembali memorial tsunami yang mulai terlupakan. Masyarakat juga dapat diajak berpartisipasi dalam pencarian dan pemilihan koleksi-koleksi yang akan dipamerkan di monumen atau museum tsunami.

Langkah-langkah tersebut bertujuan mendorong rasa kepemilikan warga atas monumen tsunami yang ada di lingkungan mereka. Dengan cara itu, mereka akan sukarela merawat monumen tersebut, menjadikannya bagian integral dalam upaya pengurangan risiko bencana.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 Desember 2024

Muzayin Nazaruddin
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset padakomunikasi bencana dan risiko, komunikasi lingkungan, serta hubungan antara manusia dan lingkungan.

Categories
Politik Sosial Budaya

Integritas Pejabat Negara

Sudah seharusnya, penegakan etika dapat perhatian lebih serius. Kepercayaan publik tidak dapat dibeli, tetapi diperoleh melalui dedikasi dan komitmen yang konsisten.

“Untuk meneruskan jabatan saya sebagai Menteri Kesehatan, saya harus mendapatkan kepercayaan. Saya berhenti dari pekerjaan menakjubkan ini.” Demikian pernyataan Ingvild Kjerkol, mantan Menteri Kesehatan Norwegia.

Pernyataan disampaikan setelah ia memutuskan mundur dari jabatannya, pertengahan April 2024, menyusul kasus plagiarisme dalam tesis magisternya di Nord University. Seiring mencuatnya skandal ini, sebagaimana dilaporkan Aftenposten, Perdana Menteri Norwegia, Jonas Gahr Store, memutuskan Kjerkol harus mundur. Almamaternya pun membatalkan tesis tersebut dan mencabut gelarnya.

Kepercayaan publik

Kasus ini bukanlah yang pertama di Norwegia. Tiga bulan sebelumnya, pada Januari 2024, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Norwegia Sandra Borch juga memutuskan mengundurkan diri segera setelah pelanggaran yang dilakukannya terungkap.

”Ketika menulis tesis magister saya sekitar 10 tahun lalu, saya membuat kesalahan besar. Saya mengambil teks dari tesis lain tanpa menuliskan sumbernya, dan untuk itu saya memohon maaf,” ungkapnya.

Meskipun Kjerkol tidak langsung mengundurkan diri seperti Borch, keduanya menyadari bahwa kepercayaan publik adalah aset yang tak ternilai bagi seorang pejabat negara. Pelanggaran terhadap integritas akademik bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan juga indikasi dari cacat moral yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap kepemimpinan mereka.

Jika pejabat negara memandang perilaku tidak etis sebagai sesuatu yang lumrah, publik berhak merasa khawatir bahwa amanah yang diberikan dapat diselewengkan kapan saja.

Kasus pelanggaran integritas akademik yang melibatkan pejabat tinggi tak hanya terjadi di Norwegia. Pada 2011, Menteri Pertahanan Jerman Karl- Theodor zu Guttenberg terpaksa mengundurkan diri setelah Bremen University mencabut gelar doktornya karena ia terbukti melakukan plagiarisme dalam disertasinya.

Dua tahun kemudian, pada 2013, kasus serupa kembali terjadi di Jerman. Menteri Pendidikan Annette Schavan memilih mundur setelah ditemukan plagiarisme dalam disertasinya yang telah ditulis lebih dari 30 tahun sebelumnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa pelanggaran akademik, meskipun terjadi di masa lampau, tetap memiliki konsekuensi yang nyata dalam kehidupan profesional.

Di luar Eropa, kasus serupa juga mengguncang Taiwan. Pada 2013, Menteri Pertahanan Taiwan Andrew Yang mengundurkan diri setelah diketahui bahwa artikel yang diterbitkan atas namanya pada 2007, hasil dari plagiarisme.

Dalam konferensi pers, Yang menyatakan, ”Ini adalah kesalahan personal saya, dan saya meminta maaf karenanya.” Yang mundur hanya enam hari setelah menduduki jabatannya, sebuah tindakan yang mencerminkan keseriusan skandal semacam ini dalam lanskap politik di Taiwan.

Kasus-kasus itu memberikan pelajaran berharga bahwa integritas akademik bukanlah sekadar norma yang berlaku di lingkungan akademisi, melainkan ia juga pilar fundamental dalam kepercayaan publik terhadap para pemimpin mereka. Dunia akademik dibangun di atas fondasi kejujuran dan etika; tanpa itu, seluruh sistem akan rapuh.

Pelanggaran terhadap nilai-nilai akademik membawa konsekuensi serius, bukan hanya bagi individu bersangkutan, melainkan juga bagi institusi yang mereka wakili. Gelar akademik yang dicabut bukan hanya hukuman administratif, melainkan juga simbol bahwa pelanggaran semacam ini memiliki dampak jangka panjang terhadap reputasi seseorang.

Keputusan para pejabat negara yang memilih mundur juga menunjukkan bahwa di negara-negara dengan standar etika yang tinggi, tanggung jawab moral diutamakan dibandingkan kepentingan pribadi. Tindakan mereka menjadi preseden penting bahwa kepercayaan publik lebih bernilai daripada mempertahankan jabatan dengan mengorbankan prinsip-prinsip integritas.

Standar etika

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam soal bagaimana standar etika dan akuntabilitas diterapkan di beragam belahan dunia.

Di beberapa negara, pejabat yang terlibat dalam skandal akademik dapat tetap bertahan di posisinya. Dalih yang dibangun: kesalahan itu bagian dari masa lalu dan tak memengaruhi kinerja mereka saat ini. Relasi kuasa antara pejabat negara dan kampus juga menjadikan penegakan etika tak seperti yang seharusnya.

Namun, contoh dari Norwegia, Jerman, dan Taiwan menunjukkan bahwa kepercayaan publik adalah hal yang sakral dan sekaligus rapuh. Karena itu, ia harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Keberanian untuk mengakui kesalahan dan mengambil konsekuensi adalah sikap yang patut diapresiasi. Pilihan ini bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi, melainkan juga sebagai upaya untuk mempertahankan standar integritas dalam pemerintahan dan dunia akademik.

Sudah seharusnya penegakan etika dapat perhatian lebih serius. Kepercayaan publik tidak dapat dibeli, tetapi diperoleh melalui dedikasi dan komitmen yang konsisten terhadap prinsip-prinsip etika. Kasus-kasus itu menjadi pengingat bahwa pelanggaran kecil pun dapat berakibat besar, dan bagi pejabat publik, kehilangan kepercayaan bisa berarti akhir dari karier mereka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 15 April 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Sosial Budaya

Tren ‘Asoka Challenge’: Bagaimana TikTok Mengubah Cara Kita Berkomunikasi dan Berekspresi di Media Sosial

Pernah dengar potongan lagu yang berbunyi “San sanana nana, san sanana nan… Jaa jaa re jaa re jaa re, jaa re pawan”?

Setidaknya sejak 24 April 2024, banyak orang yang terngiang-ngiang dengan potongan lirik lagu dari film Asoka yang dibintangi Shah Rukh Khan (Asoka) dan Kareena Kapoor (Kaurwaki) tersebut.

Meski filmnya sendiri sudah rilis lama, lagu ini populer kembali sejak digunakan sebagai background music dari Asoka challenge—sebuah tren di TikTok yang mengajak pengguna meniru riasan dan gaya busana ala India lalu bertransformasi menjadi Kaurwaki.

Hasil penelusuran saya menunjukkan bahwa akun @izzynoteasy, @yunicantiek, @ayupurnamadewi, @azkhategar391, dan @farrajaidi adalah kreator pertama yang memopulerkan tren Asoka challenge di Indonesia sejak 2022. Melalui TikTok, tren tersebut tersebar di penjuru dunia.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana cara kita berkomunikasi dan berekspresi di media sosial telah berubah. Dari yang semula hanya bisa melihat, sekarang kita bisa berinteraksi, membuat, menyebarkan, dan mengundang pengguna lain untuk berpartisipasi melalui penggunaan hashtag (tanda pagar/tagar), partisipasi yang imitatif, dan meme audio.

Tagar memudahkan pencarian

Penggunaan tagar membatasi berlebihnya topik, sehingga memudahkan pencarian. Sebagai objek digital, tagar berfungsi sebagai indeks untuk mencari, menavigasi, berinteraksi, memantau, melacak, dan mengambil kumpulan data.

Dari 63 sebaran tag pada 20 video dengan penonton terbanyak, penulis menemukan lima tagar paling banyak digunakan yakni #asokamakeup (15,9%), #indiamakeup (7,9%), #makeuptransition (6,3%), #asoka (6,3%), dan #fyp (6,3%). Meski #fyp mendapatkan porsi kecil, tagar ini umum digunakan dan terpopuler di TikTok. Interaksi pada tagar mengekspresikan percakapan Asoka secara global. Terlihat dari sekitar 55,2 triliun penggunaan #fyp secara global, yang 10,51% diantaranya berada pada konten Asoka.

Meski TikTok tidak secara resmi menyatakan penggunaan tagar #fyp, para penggunanya percaya bahwa algoritme TikTok mempertimbangkan tagar ini, mencocokkan dengan pengguna yang tepat, sehingga meningkatkan peluang kemunculan di halaman For You—umpan video yang dipersonalisasi berdasarkan minat dan keterlibatanmu dengan konten tertentu.

Peniruan sebagai bentuk partisipasi

Pengguna TikTok menggambarkan challenge sebagai penunjukkan atas diri, mendapatkan rasa hormat, dan membuat prestasi. Misalnya, Asoka challenge memerlukan banyak waktu, keterampilan make-up, dan keahlian teknis yang mumpuni. Kurangnya ketersediaan ketiganya berarti dia ‘menjadi kreator yang aneh’. Ini kemudian menjadikan kreator (pencipta konten) terbagi menjadi dua golongan, peniru handal dan peniru amatiran. Namun, mereka yang berada pada golongan kedua tetap mendapatkan tempat karena algoritme diri yang aneh menjadi hiburan dan tampil di halaman For You.

Dengan TikTok, saat pengguna berpartisipasi, mereka menjadi bagian dari kreator, sehingga terdorong untuk konsisten mengisi konten. Saat berinteraksi dengan konten Asoka, kita memberikan semacam umpan balik kepada TikTok, yang membuat konten-konten yang direkomendasikan untuk kita disesuaikan dengan Asoka.

Variasi konten dalam halaman For You memang ditentukan oleh lima faktor yaitu konten yang selaras dengan standar lokal dan norma budaya, pengaturan bahasa, sistem operasi pada perangkat, video yang baru-baru ini kita lihat-selesaikan-sukai-lewati, kemudian juga video yang berhubungan dengan pengguna lain yang kita ikuti di TikTok. Ini membuat, interaksi dengan akun atau pengguna lain dapat terjadi secara real-time, instan, singkat, dan audiovisual.

Keputusan awal pengguna untuk berpartisipasi umumnya terjadi atas peran kunci selebriti. Farra Jaidi dan Jharna Bhagwani dipandang sebagai selebriti yang kompeten dalam make-up dan transisi. Partisipasi keduanya menyebar ke selebritas lain yang kita sukai dan kemudian membuat kita memutuskan untuk terlibat. Sebab, kedekatan merupakan elemen utama dalam pengambilan keputusan untuk berpartisipasi.

Kecepatan untuk melakukan peniruan juga merupakan ciri khas dari komunikasi ini. Pasalnya, terdapat implikasi sosial dari terlambatnya partisipasi dalam challenge seperti tidak diperolehnya validasi atas konten.

‘Meme’ audio sebagai navigasi kreator

TikTok mengutamakan audio daripada visual. Ini yang disebut sebagai meme audio, yang menjadi template penggerak produksi konten. Meme audio menjadi corong viralnya tren di TikTok. Meme audio adalah prinsip pengorganisasian bagaimana konten diarsipkan ke dalam repositori di TikTok sebagai navigasi pengguna untuk mencari dan membuat tren.

Audio San Sanana menjadi template terjadinya replikasi meme dan memprovokasi jutaan kreator TikTok. Penelusuran kata kunci ‘Asoka Makeup’ melalui Google Trends menunjukkan puncak popularitas tren ini pada 27 April 2024.

Hingga akhir Juni 2024, jutaan kreator berkreasi dalam challenge tersebut. Lebih dari 100 template audio diproduksi dengan banyak versi. Data TikTok per 4 Juni 2024 menunjukkan lima template audio dengan pengguna terbanyak yakni versi Jharna Bhagwani (1,6 juta pengguna), Sita Suwarnadwipa (2,1 juta pengguna), Kikiisifa_muamakassar (34,9 ribu pengguna), The Glamorous Girl (145,5 ribu pengguna), dan Bacan Studio (43,9 ribu pengguna).

Setiap audio memiliki cara untuk menetap di dalam otak, membuat kita tertawan, terus-menerus mendengar, tanpa sadar menyenandungkannya setiap hari, sampai-sampai membuat orang sekitar kita jengkel. Inilah yang disebut dengan earworm, suatu fenomena yang lumrah terjadi dalam platform digital berbasis partisipatori. Ini juga yang membuktikan bahwa audio memiliki kualitas khusus untuk menghibur dan menjadi fitur kunci pada TikTok.

Tren Asoka menunjukkan bahwa TikTok telah mengubah cara kita berkomunikasi dan berekspresi. Sehingga, siapapun dapat berinteraksi langsung dengan kreator, mengajak pengguna lain untuk berpartisipasi dan menikmati challenge, unjuk keterampilan bervideo, dan berkolaborasi antarpengguna.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 Juli 2024

Sumekar Tanjung
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada TikTok culture, media dan gender, produksi media audiovisual.

 

Categories
Ekonomi Sosial Budaya

 15,74 Triliun Rupiah

Berapa potensi pengeluaran mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama setahun? Angka di atas adalah jawabannya: Rp15,74 triliun per tahun atau Rp1,31 miliar per bulan atau Rp 43,72 miliar per hari. Angka itu setara dengan 8,71 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kehadiran sekitar 442 ribu mahasiswa tentu sangat penting. Sekitar 75 persen dari mereka berasal dari luar DIY. Karenanya, kontribusi mereka sangat luar biasa. Pengeluaran mereka (Rp 3,06 juta per bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa lokal (Rp 2,15 juta).

Nominal ini belum termasuk biaya pendidikan yang dibayarkan ke kampus dengan nominal bervariasi. Data tersebut diambil dari hasil Survei Biaya Hidup Mahasiswa DIY yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY. Laporannya dirilis beberapa waktu lalu. Sulit untuk tidak bersepakat, jika kontribusi mahasiswa sangat signifikan dalam menggerakkan roda ekonomi lokal.

Banyak sektor bisnis terkait mahasiswa yang mendapatkan manfaat langsung. Sektor kuliner rata-rata menerima sekitar Rp 780 ribu per mahasiswa selama sebulan. Proporsi pengeluaran untuk makan dan minum adalah yang paling tinggi, sebesar 26 persen dari belanja bulanan. Pengeluaran besar setelahnya di sektor gaya hidup, yang meliputi antara lain perawatan kulit, berkumpul di kafe, rekreasi/hiburan, dan olah raga. Nominalnya sekitar Rp 685 per bulan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tempat tinggal yang menempati urutan ketiga, dengan angka pengeluaran sekitar Rp 655 ribu. Tentu ada komponen pengeluaran lain, seperti untuk transportasi, komunikasi, kesehatan, belanja keperluan pribadi, dan cuci pakaian.

Melihat dampak ekonomi yang signifikan dari kehadiran mahasiswa, yang sebagian besar pendatang, perhatian serius sudah seharusnya diberikan oleh semua pemangku kepentingan terkait. Termasuk di dalamnya pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dapat terlibat dengan memikirkan program yang relevan untuk perguruan tinggi. Membantu promosi, memastikan keamanan, dan meningkatkan layanan transportasi publik adalah beberapa di antaranya.

Masyarakat juga serupa. Salah satu kontribusinya adalah menyambut mahasiswa pendatang dengan suka cita dan memastikan kenyamanannya. Tentu, ini bukan berarti menoleransi apa pun yang dilakukan oleh mahasiswa. Justru masyarakat bisa membantu dalam mendidik mahasiswa dengan mengenalkan nilai- nilai jogjawi yang ramah, santun, dan menghargai liyan. Lunturnya nilai-nilai jogjawi ini menjadi salah satu hal yang dikeluhkan oleh orangtua mahasiswa. Selama ini, perguruan tinggi seakan-akan menjadi satu-satunya pihak yang paling berkepentingan dan harus bertanggung jawab untuk hal yang terkait dengan menarik mahasiswa ke DIY.

Ketika ada oknum mahasiswa yang bermasalah di tempat tinggalnya, sebagai contoh, tak jarang masyarakat melayangkan komplain ke pihak kampus. Seharusnya ini menjadi tanggung jawab bersama. Pun, ketika dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi lokal berteriak karena secara umum cacah maha siswa barunya menurun, suaranya seakan hilang ditelan kegelapan malam. Sirna tanpa jejak. Kampus seperti berjuang sendirian.

Tentu, misi utama perguruan tinggi adalah menghasilkan lulusan yang mumpuni dan menghasilkan karya akademik yang berkualitas. Namun, perguruan tinggi juga perlu dianggap penting dalam memutar ekonomi lokal. Sekaranglah saatnya menyatukan langkah para pemangku kepentingan dengan bingkai kesadaran kolektif yang diperbarui: bahwa di sana ada kepentingan bersama.

Tulisan ini dibuat untuk memantik kesadaran tersebut, karena kampus tidak punya hak menginstruksikan pemerintah dan memerintah masyarakat. Misi utamanya adalah menguatkan DIY sebagai salah satu penjuru atau jika mungkin penjuru utama pendidikan nasional. Tanpa langkah bersama, jangan kaget jika predikat DIY sebagai ‘kota’ pendidikan agak memudar. Semoga bukan ini yang terjadi. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 9 Januari 2025

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada Bidang penelitian: eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Sosial Budaya

Menjamin Keberlanjutan Media dan Jurnalisme

Peraturan Presiden Media Berkelanjutan harus menjadi pintu masuk untuk merawat jurnalisme berkualitas. Untuk itu, draf perpres tersebut perlu dibuka kepada publik, mendapatkan masukan dari publik.


Harian Kompas pada halaman 8 edisi 16 Februari 2023 memuat pernyataan Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Pusat Wenseslaus Manggut yang mendorong transparansi draf Peraturan Presiden Media Berkelanjutan, yang sedang digodok Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam pernyataannya, Ketua AMSI Pusat menilai pentingnya uji publik perpres oleh komunitas pers, masyarakat sipil, dan platform global.

Perpres Media Berkelanjutan ini urgen dan sudah jamak terjadi di sejumlah negara maju, seperti Jerman dan Australia. Namun, regulasi yang berpola pikir business to business antara perusahaan pers di Indonesia dan platform digital tidak otomatis menjamin ekosistem media yang sehat. Seraya sepakat dengan aspirasi ini, penulis melalui forum ini juga ingin mengulas berbagai hal yang harus menjadi perhatian dalam penetapan regulasi ini nanti.

Tiga diskursus
Sepanjang lima tahun terakhir, isu keberlanjutan media (media sustainability) menjadi diskursus di kalangan pers dan pemerhati media global. Lembaga pemeringat keberlanjutan media yang berbasis di Washington, International Research and Exchanges Board (IREX), misalnya, setiap tahun mengeluarkan indeks global kesehatan media. Indikatornya sangat luas, dari ekonomi korporasi, teknologi, hingga jaminan kebebasan redaksional.

Frere (2013) mendefinisikan keberlanjutan media sebagai daya tahan organisasi berita dan jurnalisme di suatu negara untuk bekerja efektif menjamin tersedianya jurnalisme berkualitas menghadapi tekanan struktur politik-ekonomi.

Di Indonesia, isu ini tampak terpusat pada tiga diskursus. Pertama, keberlanjutan media konvensional (cetak, radio, dan televisi) sebagai entitas korporasi komersial pascakrisis popularitas menyusul revolusi teknologi digital. Teknologi internet telah mendisrupsi proses produksi dan distribusi berita menjadi lebih efisien dan cepat. Berita tidak lagi memerlukan birokrasi yang panjang untuk sampai ke publik. Model bisnis bergeser dari korporasi padat modal ke ”media rumahan”.

Model bisnis agregasi berita oleh platform digital berskala global memicu krisis korporasi media konvensional. Platform digital seperti Google mendominasi perolehan iklan sekaligus. Pola relasi media berita versus platform digital tidak imbang karena kontrol algoritma sepenuhnya berada di tangan korporasi digital.

Berita sebagai produk informasi mengalami krisis kualitas, dan sebagai risiko dari kualitas yang rendah, berita mengalami penurunan nilai kepublikan.

Kedua, terjadinya penurunan kualitas jurnalisme secara drastis setelah merebaknya situs berita daring (online) yang hanya mengacu logika click bait, tingginya disinformasi, hoaks, dan lain-lain. Berita sebagai produk informasi mengalami krisis kualitas, dan sebagai risiko dari kualitas yang rendah, berita mengalami penurunan nilai kepublikan.

Di sisi lain, platform digital dan portal berita daring sejak kelahirannya menganut prinsip berita sebagai produk yang tersaji gratis, bukan berbayar (eceran atau berlangganan) seperti tradisi media cetak. Iklim ini menyulitkan media berita untuk menjaring pendanaan produksi dari publik.

Ketiga, pandemi Covid-19 memicu disrupsi pola kerja jurnalisme pascakebijakan pembatasan mobilitas fisik warga. Pembatasan fisik membatasi akses kerja jurnalisme di satu sisi, dan mempercepat migrasi digital bisnis media di sisi lain.

Muncul dua iklim yang saling bertolak belakang. Pertama, dua tahun Covid-19 memicu pandemi bisnis media jurnalisme, yang ditandai oleh pemutusan hubungan kerja akibat melemahnya kinerja bisnis. UNESCO (2021) merilis, 40 persen media pers mengalami krisis multidimensi yang berujung kepada pemutusan hubungan kerja, pengurangan biaya produksi, hingga penghentian produksi berita.

Berbeda dari iklim pertama, disrupsi digital juga memicu transformasi bisnis media jurnalisme konvensional. Sejumlah media berita nasional melakukan migrasi layanan berita ke platform digital sejak produksi, distribusi, hingga pemasaran.

Di luar media berita arus utama, berkembang pula inisiatif start up media jurnalisme alternatif yang menawarkan/melanjutkan jurnalisme berbasis data dan jurnalisme investigasi. Project Multatuli, Konde.co, Magdalene.co, misalnya, lahir dari jurnalis senior yang sebelumnya bekerja untuk jurnalisme media arus utama.

Fenomena ini memberi optimisme tetap hidupnya jurnalisme setelah platform berita konvensional (cetak dan siaran) semakin terpinggirkan. Jurnalisme di Indonesia tidak mati, mengalami evolusi bahkan revolusi format dan strategi diseminasi, dari platform lama ke platform baru.

Rencana pembuatan Perpres Media Berkelanjutan harus dilihat sebagai bentuk proteksi negara atas nama kepentingan nasional terkait kedaulatan digital.

Sayangnya, dari ketiga konteks di atas, konteks pertama lebih mengemuka ketimbang konteks kedua dan ketiga. Terdapat reduksi perdebatan pegiat pers dari kepentingan publik yang terganggu akibat disrupsi digital di sektor media jurnalisme, kepada semata kepentingan korporasi media yang mengalami krisis keberlanjutan usaha. Padahal, diskursus keberlanjutan media bersifat holistik: bisnis, politik redaksi, dan legalitas.

Intervensi negara
Rencana pembuatan Perpres Media Berkelanjutan harus dilihat sebagai bentuk proteksi negara atas nama kepentingan nasional terkait kedaulatan digital. Kepentingan ini melingkupi hajat hidup korporasi media untuk terus beroperasi dan juga hajat hidup publik atas layanan berita dan kegiatan jurnalisme yang sehat.

Dalam kerangka ini, semangat perpres harus menjawab keseluruhan konteks di atas, tidak semata-mata berpola pikir business to business, antara platform global dan korporasi media pers. Perpres harus menjadi pintu masuk untuk merawat jurnalisme berkualitas (good journalism), yang pada era digital tidak hanya dilayani oleh korporasi media arus utama, tetapi juga media alternatif.

Dalam upaya mencapai misi ini, draf perpres perlu dibuka kepada publik, mendapat masukan dari publik agar memenuhi seluruh kepentingan dari ekosistem jurnalisme. Langkah ini sekaligus menunjukkan keberpihakan negara kepada semua pelaku media dan jurnalisme.

Penerapan kebijakan yang hanya berfokus kepada pembagian kue iklan antara platform digital dan korporasi penyelenggara jurnalisme bersifat elitis, tidak menyentuh kepada ekosistem media dan jurnalisme digital yang kompleks. Lebih jauh, upaya penyelamatan korporasi media dari bencana bisnis hanya bersifat sektoral-institusional, dan tidak berdampak kepada kebutuhan warga digital terhadap konten berkualitas sebagai public good.

Menimbang adanya keterbatasan regulasi setingkat perpes, perlu dipikirkan juga agar posisi regulasi ini sebagai ”pintu masuk” pembuatan Undang-Undang Media Berkelanjutan di masa depan. Kita bisa belajar dari Jerman yang mempunyai UU Penanggulangan Disinformasi (Network Enforcement Act) sejak 2018.

Kita juga bisa belajar ke Irlandia yang pada 2022 membuat UU Keamanan Daring bagi warganya. UU ini secara tegas melarang platform digital menjadi ruang diseminasi ujaran kebencian dan disinformasi. Pembiaran disinformasi adalah pemicu utama krisis reputasi jurnalisme di media digital.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 5 Maret 2023

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.