Categories
Hukum

Kejahatan Konstitusi

Bagaimana membaca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Batas Usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah? Kita memang kecewa dengan hampir seluruh Putusan MK yang terakhir, mengenai syarat usia calon wakil presiden, mengenai sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden. Tidak hanya kecewa, bahkan publik mengkritik tajam putusan itu, sekaligus mengalamatkan telunjuk jari pada kemandirian dan kapasitas hakim MK.

Namun, semua itu dilakukan tetap dengan kesadaran penuh bahwa Mahkamah Konstitusi adalah the sole interpreter of the constitutionî. Oleh karenanya publik menerima putusan MK sebagai jalan hukum legal yang harus dipilih. Ini adalah prinsip yang kita sepakati bersama saat mendirikan Mahkamah Konstitusi. Di banyak negara, Mahkamah Konstitusi apapun putusannya menjadi akhir dari polemik politik berkepanjangan.

Pada selasa 20 Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi menge- luarkan Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, kedua putusan ini mengatur tentang syarat usia calon kepala daerah dan/atau kepala daerah yang sebelumnya berdasarkan keputusan MA 30 tahun terhitung sejak pelantikan, menjadi terhitung 30 tahun sejak penetapan calon sebagaimana Peraturan KPU sebelumnya, serta tentang syarat ambang batas calon kepala daerah dengan syarat calon perseorangan. Sehari pasca putusan MK, DPR melakukan sidang bersama pemerintah dan menyepakati untuk mengenyampingkan putusan MK dan mengikuti putusan MA, serta menolak menerapkan ketentuan ambang batas sebagaimana ditentukan putusan MK.

Melihat animo yang beredar, kalangan akademisi, aktivis, dan jaringan masyarakat sipil, memberi apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi atas Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Tentu saja, jika dibaca lebih jauh apresiasi yang diberikan bukan terhadap instansi Mahkamah Konstitusi atau hakim MK, namun terhadap nilai keadilan dan kebenaran yang diakui bersama terkandung di dalam putusan. Tidak ada yang berubah dari komposisi hakim MK, artinya kita dapat memahami, dalam hegemoni kekuasaan seperti saat ini, mengeluarkan Putusan a quo bukanlah perkara gampang dan mudah, sudah pasti ada tekanan besar baik dari luar maupun dalam MK sendiri.

Kejahatan Konstitusi

Tulisan ini ingin melihat dinamika yang terjadi dari aspek hukum. Pertama, jika dilihat dari kacamata ilmu perundang-undangan, kedudukan Putusan MK, baik Putusan Nomor 23/P/HUM/2- 024 maupun Putusan Nomor 60/PUU- XXII/2024, sangatlah kuat. Memang ada perdebatan di kalangan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mengenai kedudukan Putusan MK, ada yang mengatakan ia sejajar dengan konstitusi/UUD sehingga berada di atas UUD, ada pula yang mengatakan ia sejajar kedudukannya dengan UU. Terlepas dari perdebatan itu, satu fakta yang diketahui bersama bahwa MK adalah the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution, artinya MK lah satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan UUD dengan Putusannya, lalu membatalkan UU, sehingga sekalipun tidak sejajar dengan UUD, namun Putusan MK setingkat lebih tinggi daripada UU, karena merupakan tafsir langsung atas konstitusi. Karena itu, Putusan MK bersifat final dan binding, artinya tidak dapat diuji lagi dan langsung berlaku pada saat itu juga.

Kedua, dengan demikian, maka secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa penolakan terhadap Putusan MK, bukan saja bermakna pembangkangan terhadap putusan itu sendiri, melainkan pembangkangan terhadap konstitusi. Mengapa demikian, karena Putusan MK sejatinya adalah tafsir konstitusi, atau dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa Putusan MK adalah konstitusi yang hidup. Melampaui terminologi itu, penulis lebih setuju menyebut bahwa sejatinya DPR dan Pemerintah telah melakukan kejahatan konstitusi atau kejahatan terhadap konsti- tusi. DPR dan Pemerintah bukan hanya tidak mau menyelenggarakan Putusan MK, namun dengan kesadaran dan mata telan- jang merancang peraturan yang bertentangan dengan Putusan MK, yang mana putusan itu adalah tafsir konstitusi itu sendiri.

Sayangnya, dalam situasi sulit dan darurat seperti saat ini, tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk me-recall anggota DPR yang telah dipilihnya. Padahal, logika sederhananya, sebagai pemilih orang yang mewakilinya di parlemen, maka rakyat memiliki hak dan dibuatkan mekanisme, jika suatu ketika merasa keinginan wakil tidak lagi sejalan dengan yang diwakilinya, untuk mencabut kembali mandat yang telah diberikan sebelumnya. 

Apa yang dapat dilakukan oleh rakyat hari ini adalah terus mengawal agar Putusan MK sebagai tafsir konstitusi tetap tegak dan dijalankan penyelenggara pemilu, serta terus mengawal berbagai kebijakan pemerintah tetap berada dalam jangkauan kehendak rakyat.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Agustus 2024

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

Categories
Hukum Politik

Memanusiakan Pekerja Kontrak

Hubungan industrial harmonis yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atas pelayanan jasa adalah cita-cita bersama.

Pernahkah terbayang sebelumnya bahwa perbedaan mendasar antara pekerja atau buruh tetap dan pekerja atau buruh kontrak adalah jenis perjanjian kerja yang mengikat keduanya? Lalu mengapa kondisi yang sering dijumpai justru terkesan bahwa nasib pekerja kontrak sangat kontras dengan pekerja tetap?

Perjanjian kerja ini pada dasarnya memang terbagi menjadi dua, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang kemudian pekerjanya disebut sebagai pekerja atau buruh kontrak, dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) yang pekerjanya dikenal sebagai pekerja tetap. Perbedaan jenis perjanjian serta penyebutan status keduanya ini berdampak terhadap hak-hak yang diterima oleh keduanya.

Secara filosofis, mekanisme perjanjian kerja sudah tidak adil dari awal. Mengapa dikatakan demikian?

Perjanjian kerja berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adanya unsur perintah dalam hubungan kerjalah yang menjadikan perjanjian kerja jelas berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Unsur perintah ini yang membuat pihak pengusaha dengan leluasa memberikan perintah terhadap pekerjanya, dengan catatan perintah tersebut sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.

Selain itu, perjanjian kerja dibuat oleh salah satu pihak, yakni pengusaha, sehingga pekerja tidak memiliki daya tawar terhadap isi perjanjian kerja tersebut, berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Terlebih lagi ketika membahas perjanjian kerja waktu tertentu.

Lalu, mengapa dibutuhkan pekerja kontrak jika sudah ada pekerja tetap?

Kehadiran pekerja kontrak berawal dari kehadiran flexibility labour market (pasar tenaga kerja fleksibel) yang menghendaki keleluasaan dalam dunia pasar, kemudian pengusaha pun menghendaki pekerja yang easy to hire, easy to fire (mudah di-rekrut, mudah dipecat). Demi mengakomodasi tuntutan tersebut, lahirlah status pekerja kontrak, termasuk di Indonesia sendiri.

Pengusaha bahkan menyukai mekanisme ini karena ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dari pengusaha terhadap pekerja, maka pengusaha tidak perlu membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.

Mengapa demikian? Karena uang-uang tersebut hanya akan diterima oleh pekerja tetap jika mereka terdampak PHK oleh pengusaha. Bagaimana dengan pekerja kontrak? Mereka mendapatkan haknya dalam bentuk uang kompensasi saja.

Pada dasarnya, pengaturan mengenai aspek pekerja di Indonesia sudah cukup mengakomodasi jaminan kepastian nasib pekerja kontrak di masa depan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang saat ini telah dicabut dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang) yang membuat perasaan pekerja kontrak semakin cemas akan nasib mereka. Khususnya berkaitan dengan batasan jangka waktu maksimal penggunaan PKWT yang menjadi kabur.

”Angin segar” yang diembuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2024 lalu seolah memberikan harapan baru bagi pekerja/buruh kontrak. MK melalui amar putusannya menegaskan adanya batasan jangka waktu yang diperbolehkan dalam penggunaan PKWT, yaitu tidak melebihi jangka waktu 5 tahun termasuk jika terdapat perpanjangan.

Sayangnya dalam tahapan implementasi di lapangan, ”angin segar” itu masih jauh dari harapan. Mengapa? Masih banyak dijumpai pekerja yang mengalami ”pemutihan” perjanjian kerja dengan mekanisme apabila perjanjian kerjanya akan berakhir, maka pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja, lalu pekerja tersebut ditawarkan perjanjian kerja baru tanpa menghitung masa kerja sebelumnya dan ini terjadi secara berulang-ulang. Apabila dijumlahkan, masa kerja tersebut sudah dapat dipastikan melanggar peraturan perundang-undangan.

Kasus lain yang terjadi adalah para pekerja kontrak diberikan beban pekerjaan yang pada dasarnya bertentangan dengan batasan cakupan jenis pekerjaan yang boleh untuk diperjanjikan dengan jenis perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Secara aturan, PKWT tidak diperbolehkan digunakan terhadap pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tetap.

Namun lagi-lagi, batasan-batasan yang sudah ada hanya dituangkan dalam hitam putih dengan mengabaikan fakta di lapangan. Hal-hal demikian jelas merupakan penyelundupan hukum yang seolah-olah saat ini menjadi hal yang lumrah atau biasa dilakukan. Sangat miris.

Terlebih lagi, ketika berbicara mengenai perbedaan kewajiban antara pekerja tetap dan pekerja kontrak. Sering kali dijumpai dalam kasus tertentu (meskipun tidak seluruhnya) kewajiban atau beban kerja dari pekerja dinilai jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerja tetap. Bagaimana tidak, hak yang diterima dipastikan berbeda, tetapi beban kerja dinilai jauh lebih berat.

Contohnya adalah pengusaha dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerja kontrak ke dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Bukankah pekerja kontrak juga manusia? Terkadang, secara sengaja by design memang diperlakukan tidak seperti manusia pada umumnya, direnggut hak-haknya meski sudah secara jelas dan tegas pengaturannya diakomodasi melalui peraturan perundang-undangan.

Padahal hubungan industrial harmonis yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atas pelayanan jasa adalah cita-cita bersama. Tidak bisa egois, pengusaha membutuhkan kehadiran pekerja baik tetap maupun kontrak. Manusiakanlah pekerja karena mereka jugalah yang membantu kesuksesan dan keuntungan dalam kegiatan proses usahamu.

Semoga menjadi bahan renungan bersama demi kebaikan bersama pula.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 1 Mei 2025

Mustika Prabaningrum Kusumawati
Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ketenagakerjaan. 

Categories
Hukum

Mendesak Israel di ICJ

Tragedi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk pasca Israel melancarkan serangan balasan kepada Hamas. Israel berdalih dengan tindakan self defense (dibaca: membela diri) karena Hamas melakukan serangan roket pada 7 Oktober 2023. Akibatnya, masyarakat sipil menjadi korban serangan brutal dan diperkirakan 23,000 penduduk sipil di pihak Palestina tewas. Sebagian besar korban tersebut adalah perempuan dan anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan selama konflik.

Upaya untuk menghentikan serangan di kedua belah pihak baik melalui jalur diplomasi tampaknya tak membuahkan hasil yang signifikan. Forum-forum internasional hanya menghasilkan dokumen yang tak berarti. Dewan Keamanan PBB sebagai organ yang paling berwenang untuk menghasilkan resolusi juga terhalang oleh veto Amerika Serikat.

Situasi inilah yang kemudian mendorong Afrika Selatan berani untuk mengajukan permohonan putusan sela (provisional measure) di Mahkamah Internasional (Internasional Court of Justice/ICJ). Pada 29 Desember 2023 di Den Haag (Belanda), Afrika Selatan mengajukan permohonan kepada hakim Mahkamah Internasional yang salah satunya adalah untuk memerintahkan Israel untuk menghentikan operasi militernya di Gaza dan melakukan gencatan senjata.

 Kemana Indonesia?
Baik Israel dan Afrika Selatan merupakan negara peserta Konvensi Genosida tahun 1948. Afrika Selatan memandang bahwa tindakan balasan yang dilakukan oleh Israel telah memenuhi unsur tindakan genosida, yaitu melakukan tindakan baik sengaja maupun tidak sengaja yang menyebabkan tewasnya puluhan ribu warga sipil Palestina tewas serta ribuan warga terluka. Selain itu, tindakan Israel yang berupa pengepungan, pemindahan paksa, penghancuran infrastruktur medis, dan pembatasan akses bantuan kemanusiaan menimbulkan kondisi warga Palestina semakin tidak mungkin untuk bertahan hidup. Seluruh operasi militer yang dilakukan sangat tampak bukan hanya ditujukan kepada Hamas tetapi kepada seluruh warga Palestina.

Melalui pernyataan resmi yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia pertengahan Januari ini, Indonesia memberikan dukungan penuh baik secara moral dan politis kepada Afrika Selatan. Meskipun demikian, secara hukum Indonesia tidak dapat turut hadir dan menggugat Israel bersama Afrika Selatan dikarenakan sampai hari ini Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Genosida 1948.

Untuk itu, tampaknya Indonesia perlu mempertimbangkan kembali untuk terlibat dan tunduk pada Konvensi Genosida 1948 sebagai tindakan nyata untuk turut serta bersama-sama masyarakat internasional lainnya untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights).

Menanti Putusan
Pasal 41 (1) Statuta Mahkamah Internasional (ICJ Statute) memberikan peluang bagi Afrika Selatan untuk meminta agar hakim mengeluarkan putusan sela yang pada intinya memerintahkan Israel (interim order) untuk menghentikan serangan yang secara bertubi- tubi, tidak proporsional, dan melanggar prinsip kemanusiaan. Berdasarkan preseden yang ada, permohonan putusan sela selalu dikabulkan apabila dalam situasi yang mendesak dan terdapat potensi pelanggaran/kekerasan yang dilakukan oleh suatu negara.

Setidaknya terdapat optimisme bahwa Mahkamah Internasional akan mengabulkan permohonan Afrika Selatan. Pada tahun 2020, Mahkamah mengabulkan permohonan Gambia dan memerintahkan Myanmar untuk menghentikan persekusi terhadap etnis minoritas Rohingya. Selain itu pada tahun 2022, Mahkamah juga mengabulkan permohonan Ukraina dan meminta Rusia untuk menghentikan operasi militer yang berlebihan dan masuk kategori genocidal intent.

Putusan sela secara hukum mengikat bagi para pihak yang bersengketa meskipun dalam praktiknya tidak disertai dengan sanksi. Akan tetapi, putusan sela Mahkamah akan memberikan arah baru dalam penyelesaian konflik Israel dan Palestina yang berkepanjangan. Tentu saja, hal yang paling mendesak adalah putusan sela diharapkan mampu mengakhiri tragedi kemanusiaan dan memulihkan situasi di Gaza.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada 22 Januari 2024

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional.