Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam dari 6.471,95 (17/3/205) menjadi 6.233,39 (18/3/2025) atau turun sebesar 5 persen. Setelah itu, pergerakan liar saham terus terjadi sehingga kembali turun 6.161,22 (24/3/2025) meskipun kembali naik menjadi 6.510,62 (27/3/2025).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemangku kebijakan agar IHSG tidak terus melemah. Penghentian sementara perdagangan (trading halt) telah dilakukan pada 18/3/2025 dan juga kebijakan buyback saham bagi emiten yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar tanpa RUPS. Pertanyaan yang muncul, apa yang sedang terjadi dengan ekonomi Indonesia saat ini?
Menarik untuk dicermati kenapa IHSG anjlok. IHSG adalah indikotor jangka pendek kondisi ekonomi makro suatu negara. Pasar saham adalah tempat para investor menanamkan modalnya di sektor keuangan untuk mendapatkan retum dalam jangka pendek. Keuntungan diperoleh dari perbedaan dari harga beli dan harga jual kembali (capital gain). Karena sifatnya jangka pendek, maka harga saham pergerakannya sangat fluktuatif.
Lalu faktor apa yang menjadikan harga saham naik dan turun, ada dua faktor yaitu fundamental pasar dan sintimen pasar. Fundamental pasar adalah kondisi perekonomian makro. Fundamental pasar menjadi pemicu utama anjloknya harga saham saat ini. Pertama, turunnya daya beli masyarakat yang ditunjukkan adanya deflasi pada awal tahun 2025. Deflasi telah terjadi dua bulan berturut turut yaitu 0,76% pada bulan Januari dan 0,48% pada bulan Februari. Fenomena deflasi di awal tahun ini mengulangi kembali gejala deflasi tahun 2024 selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei-September. Artinya, kondisi ekonomi Indonesia masih dalam kondisi kelesuan.
Melemahnya ekonomi karena deflasi ini diperparah adanya penurunan kepercayaan konsumen. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada bulan Desember 2024 sebesar 127,70 dan mengalami penurunan menjadi 127.20 pada bulan Januari 2025. Penurunan IKK ini menunjukkan adanya perlambatan ekonomi dan gambaran akan sulitnya mencari lapangan pekerjaan.
Kedua, adanya tekanan terhadap anggaran pemerintah (APBN). Target pengeluaran APBN sebesar 3.620 triliun sedangkan target pendapatan APBN 2025 sebesar Rp3.005 triliun sehingga terjadi defisit anggaran sebesar Rp616 triliun. Namun, diperkirakan pendapatan sulit dicapai melihat melemahnya kondisi ekonomi dan akibatnya defisit akan membangkak.
Upaya untuk meningkatkan pendapatan sudah diupayakan dengan menaikkan PPN sebesar 12%. Begitu pula, adanya kebijakan efisien anggaran adalah bagian memangkas agar defisit tidak melebihi 3%. Adanya kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar 72 triliun juga menjadi beban tambahan anggaran setiap tahun. MBG belum cukup jelas pola pelaksanaannya dan sehingga sulit mengukur hasilnya, meskipun dimungkinan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi.
Hasil pemotongan belanja hasil efisiensi ditargetkan mencapai Rp 306 triliun. Namun, efisiensi anggaran dengan melakukan pemotongan belanja di berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) akan menimbulkan persoalan. APBN adalah instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting ketika kondisi ekonomi sedang mengalami kelesuan. Kebijakan fiskal ekspansif sangat diperlukan ketika kondisi dunia usaha masih lesu dan belum pulihnya bisnis mereka akibat Covid-19. Namun, kebijakan fiskal kontraktif dengan adanya efisiensi anggaran ini, tentunya akan semakin memperlemah pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ketiga, adanya sentimen negatif pasar juga mendorong anjloknya harga saham. Isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani semakin menambah ketidakpastian para investor yang mempengaruhi anjloknya harga saham. Begitu pula, isu miring tentang pengelolaan Danantara sebagai lembaga yang mengelola investasi negara melalui konsolidasi aset-aset Badan BUMN strategis yang dananya sangat fantastis sebesar 900 juta dolar AS.
Anjloknya IHSG secara langsung berdampak terhadap penurunan nilai tukar rupiah. Rupiah melemah dari 16.406 per dollar (17/3/2005) menjadi 16.410,5 (18/3/2025). Tekanan terhadap rupiah terus berlanjut sehingga rupiah mencapai level 16.550 (27/3/2025). Jika pelemahan rupiah terus berlangsung akan berdampak langsung kepada sektor riil karena sebagian besar produksi domestik masih mengandalkan bahan baku impor.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 2 April 2025
Agus Widarjono
Guru Besar Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII. Bidang riset pada ekonomi mikro dan ekonometrika.