Categories
Sains Teknologi

Menyalakan Harapan Industri Tekstil

Rabu dini hari, 21 Mei 2025, kebakaran hebat melanda PT Mataram Tunggal Garment (MTG) di Balong, Donoharjo/ Sleman. Api membakar sebagian besar bangunan pabrik dan memaksa sekitar 1.600 karyawan dirumahkan hingga batas waktu yang belum ditentukan. Bagi sebagian besar pekerja, pabrik tersebut adalah sumber penghidupan utama. Kini mereka harus menanggung ketidakpastian, tanpa jaminan kapan bisa kembali bekerja.

Peristiwa ini bukan sekadar musibah teknis, melainkan cerminan rapuhnya industri padat karya kita. Risiko kebakaran seharusnya dapat dicegah atau diminimalkan melalui sistem manajemen keselamatan kerja yang ketat dan terstruktur. Namun pada praktiknya, hal ini agaknya seringkali kurang begitu diperhatikan. Lantas patut timbul pertanyaan: seberapa serius perusahaan-perusahaan kita dalam membangun budaya keselamatan?

Kebakaran MTG juga menunjukkan betapa besar ketergantungan masyarakat terhadap satu pusat ekonomi. Ketika pabrik berhenti beroperasi, roda kehidupan pun ikut tersendat. Sektor informal yang menggantungkan penghasilan dari keberadaan industri ikut terguncang. Hal ini menjadi refleksi bahwa keberlanjutan industri tidak hanya soal keuntungan perusahaan, tetapi juga soal ketahanan sosial komunitas di sekitarnya.

Dalam konteks Yogyakarta dan sekitarnya, industri garmen seperti MTG tidak hanya berkontribusi terhadap ekspor, tetapi juga membuka lapangan kerja yang relatif besar bagi masyarakat lokal. Penyerapan tenaga kerja sebanyak ini menciptakan ketergantungan ekonomi di banyak lapisan sosial. Ketika satu pabrik padam, getarannya bisa dirasakan sampai ke warung makan, pengemudi ojek, hingga rumah tangga karyawan.

Lebih jauh lagi, kasus ini memperlihatkan lemahnya sistem jaminan sosial kita. Ketika terjadi bencana, tidak ada jaring pengaman memadai untuk melindungi pekerja dari dampak ekonomi langsung. Hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah dan industri untuk lebih serius membangun sistem perlindungan tenaga kerja yang tangguh dan berkeadilan.

Sementara itu, di Jawa Tengah, dua raksasa tekstil mengalami nasib yang bertolak belakang. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi tutup pada 1 Maret 2025 setelah diputus pailit oleh pengadilan, dengan utang mencapai sekitar Rp 26,4 triliun. Sedikitnya 10.000 orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Di sisi lain, Duniatex yang sempat mengalami tekanan finansial serupa justru berhasil bangkit setelah merestrukturisasi utangnya, dan kini merekrut lebih dari 5.000 karyawan baru.

Dari kasus MTG, Sritex, dan Duniatex, kita dapat belajar bahwa persoalan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sangat kompleks. Tidak cukup hanya mengandalkan pasar dan biaya produksi murah, melainkan dibutuhkan pula sistem yang tangguh dalam tata kelola, mitigasi risiko, serta kemampuan beradaptasi dalam kondisi krisis yang cepat berubah. Ketika aspek-aspek ini diabaikan, dampaknya bisa sistemik dan berkepanjangan.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama. Pertama, pentingnya tata kelola perusahaan dan manajemen keuangan yang sehat dan transparan. Kedua, perlunya sistem keselamatan kerja dan perlindungan buruh yang tidak bisa ditawar. Ketiga, pentingnya dorongan inovasi, terutama diversifikasi produk, agar industri tekstil nasional tidak tertinggal dari perkembangan teknologi dan perubahan selera konsumen global. Keempat, dukungan regulasi dari pemerintah yang berpihak pada keberlangsungan industri dan perlindungan pekerja harus diperkuat, bukan hanya di atas kertas, tetapi nyata di lapangan.

Pemerintah daerah dan pusat perlu lebih aktif dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi industri tekstil. Bukan hanya lewat insentif fiskal, tetapi juga pembinaan, regulasi keselamatan, serta pendampingan terhadap pelaku usaha kecil hingga besar. Jangan sampai krisis membesar hanya karena pengawasan yang longgar dan minimnya intervensi.

Kebakaran MTG bisa jadi merupakan peringatan serius. Jika tidak ada perubahan mendasar dalam cara kita memperlakukan industri, mulai dari manajemen risiko sampai perlindungan tenaga kerja, kejadian serupa bisa dan sangat mungkin terulang di tempat lain. Sudah saatnya kita menata ulang industri tekstil tanah air agar lebih tangguh, berkeadilan, dan berkelanjutan. Sebab kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menyelamatkan industri ini?

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 23 Mei 2025

Ahmad Satria Budiman
Dosen Program Studi Rekayasa Tekstil UII. Bidang riset pada Cellulose-Based Fibers, Polymer Technology Sustainable Textiles

Categories
Sains Teknologi

Pertalite dan Pertamax

Pertalite dan Pertamax adalah dua jenis bahan bakar yang diproduksi oleh Pertamina, dengan spesifikasi yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan berbagai jenis kendaraan yang menggunakan mesin pembakaran dalam. Standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak jenis bensin Pertalite dan Pertamax ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi guna memastikan kualitas bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan bermotor di Indonesia.

Latar belakang penetapan standar ini mencakup berbagai aspek teknis yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi, kemampuan produsen, kemampuan dan kebutuhan konsumen, keselamatan dan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, dan untuk kepastian mutu. Penetapan standar dan mutu bensin Pertalite dan Pertamax didasarkan pada kemajuan teknologi otomotif, perlindungan lingkungan, harmonisasi dengan standar global, serta kebijakan energi nasional. Dengan standar ini, diharapkan kendaraan dapat beroperasi lebih efisien, emisi berkurang, dan kualitas udara meningkat, serta mendukung ketahanan energi nasional.

Beberapa parameter penting yang harus dipenuhi antara lain : Research Octane Number (RON), kandungan senyawa tertentu (belerang, tembaga, oksigen, hidrokarbon aromatik, benzene, dan lain-lain), wama, dan lain-lain. Parameter penting yang menunjukkan kualitas Pertalite dan Pertamax adalah Research Octane Number(RON).

Research Octane Number adalah ukuran kualitas bahan bakar berdasarkan seberapa efektif bahan bakar tersebut dapat mencegah mesin dari mengalami detonasi atau knocking saat digunakan dalam kondisi operasi standar saat digunakan dalam mesin pembakaran dalam. Knocking adalah fenomena tidak terkendalinya pembakaran bahan bakar sebelum percikan api dari busi, yang dapat merusak mesin. RON mengukur kemampuan bahan bakar untuk menahan pembakaran spontan ketika ditekan dalam mesin.

RON diukur melalui uji laboratorium menggunakan mesin standar dengan kondisi operasi yang spesifik. Uji ini dilakukan pada kecepatan mesin rendah, sehingga mencerminkan performa bahan bakar dalam penggunaan sehari-hari. Dalam pengujian ini, bahan bakar yang diuji dibandingkan dengan campuran iso-oktan (yang memiliki nilai RON 100 dan sangat resisten terhadap knocking) dan n-heptane (dengan RON 0 dan mudah meng- alami knocking). Hasilnya menghasilkan angka yang menunjukkan kemampuan bahan bakar tersebut untuk menahan knocking di bawah kondisi yang telah ditentukan.

Pertalite memiliki RON 91. Bahan bakar jenis ini dirancang un- tuk digunakan pada kendaraan dengan rasio kompresi mesin an- tara 9-10:1. Secara visual Pertalite dikenali karena warna hijau te- rang dan jernihnya. Sedangkan jenis Pertamax memiliki RON 95 dan berwarna biru. Pertamax direkomendasikan untuk kendaraan dengan rasio kompresi mesin antara 10:1 hingga 11:1, termasuk kendaraan dengan teknologi Electronic Fuel Injection (EFI).

Angka RON yang lebih tinggi biasanya diperlukan untuk mesin performa tinggi yang dirancang bekerja pada rasio kompresi tinggi, sehingga meningkatkan performa mesin. Angka RON yang lebih tinggi menunjukkan resistansi yang lebih besar dan stabil terhadap knock- ing saat beroperasi di bawah beban berat. Bahan bakar dengan RON rendah lebih mudah terbakar sebelum waktunya dalam mesin berkompresi tinggi, yang bisa menyebabkan knocking.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 28 Februari 2025

Arif Hidayat
Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII. Bidang riset pada material dan renewable energy.