Categories
Ekonomi Islam Sosial Budaya

Daftar Gelap Produk Israel dan Persaingan Bisnis

Hingga saat ini, himbauan dan gerakan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel terus bergulir. Gerakan ini tidak hanya berakar pada solidaritas kemanusiaan, tetapi juga membawa dimensi ekonomi yang luas. Boikot produk terkait Israel dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian, terutama jika dilakukan secara konsisten dan berjangka panjang. Dalam jangka pendek, dampaknya mungkin terbatas dan tidak langsung memengaruhi perekonomian secara makro. Namun, jika aksi boikot berlangsung selama satu kuartal atau lebih, efek ekonomi yang lebih besar akan mulai dirasakan.

Sayangnya, hingga saat ini, aturan yang jelas dan terstruktur mengenai boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel belum muncul. Dalam situasi ini, peran pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah perlu memberikan arahan tegas terkait produk apa saja yang masuk dalam daftar boikot, alasan di balik pemboikotan, dan bagaimana mekanisme pemboikotannya dijalankan. Boikot adalah tindakan sukarela, bukan paksaan. Walaupun ada himbauan untuk memboikot, masyarakat tetap memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan berpartisipasi atau tidak. Namun, ketidakjelasan aturan dapat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan, terutama di sektor bisnis.

Aksi boikot yang tidak terkoordinasi dengan baik dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Ada kemungkinan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini untuk menyerang pesaingnya. Misalnya, mereka dapat memasukkan produk kompetitor ke dalam daftar produk yang diboikot dengan alasan yang tidak berdasar. Situasi semacam ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga mencederai prinsip persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, kehadiran negara atau pemerintah untuk mengawasi dan mengatur aksi boikot menjadi sangat penting.

Aksi Boikot Seringkali Tidak Tepat Sasaran

Meski demikian, langkah boikot ini kemungkinan besar tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Israel. Bahkan jika boikot berlangsung secara meluas, kecil kemungkinannya untuk membuat ekonomi Israel runtuh. Sebaliknya, dampak negatifnya justru lebih terasa di dalam negeri, khususnya bagi perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang terpengaruh oleh boikot mungkin akan mengalami penurunan pendapatan, yang pada akhirnya dapat memaksa mereka untuk mengurangi jumlah karyawan atau bahkan melakukan PHK massal. Ini menjadi alasan utama mengapa pemerintah perlu hadir untuk memberikan arahan yang jelas dan mencegah efek domino yang merugikan.

Aksi boikot ini juga sering kali tidak tepat sasaran. Sebagian besar produk yang diboikot sebenarnya bukan langsung diproduksi oleh Israel, melainkan oleh perusahaan multinasional yang memiliki jaringan global. Di Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi tenaga kerja yang besar, dampak boikot ini justru dapat dirasakan secara langsung oleh sektor tenaga kerja. Banyak perusahaan lokal yang terkena dampak secara tidak langsung, sehingga masyarakat perlu lebih jeli dan bijaksana dalam memilih produk untuk diboikot. Sasaran utama dari aksi boikot harus dipastikan tercapai tanpa menimbulkan kerugian yang tidak perlu pada masyarakat lokal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa boikot produk pro-Israel telah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu efeknya adalah perubahan pola konsumsi masyarakat, di mana banyak konsumen yang beralih dari produk impor ke produk lokal. Meskipun ini terlihat sebagai peluang untuk mendukung produk dalam negeri, kenyataannya dampak lain yang muncul adalah penurunan investasi dari luar negeri dan berkurangnya produktivitas di sektor-sektor tertentu. Selain itu, aksi boikot ini juga memengaruhi bisnis lokal yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa daftar produk yang diboikot sering kali tidak diverifikasi dengan baik, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang tidak seharusnya terlibat.

Dampak Boikot Terhadap Ekonomi Nasional

Dampak langsung dari aksi boikot juga terasa di sektor ritel dan restoran. Penurunan penjualan hingga 40% dilaporkan oleh beberapa pelaku usaha di sektor ini. Hal ini berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja massal, yang tentu saja berdampak buruk bagi tenaga kerja lokal. Meskipun pemerintah Indonesia tidak secara resmi mengeluarkan kebijakan boikot terhadap produk Israel, gerakan boikot yang dilakukan oleh masyarakat tetap memengaruhi banyak perusahaan lokal yang sebenarnya tidak terafiliasi dengan Israel.

Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatur aksi boikot menjadi sangat penting untuk mencegah efek domino yang merugikan. Tanpa regulasi yang jelas, daftar produk yang diduga terafiliasi dengan Israel hanya akan menjadi “daftar gelap” yang membuka peluang untuk penyalahgunaan. Pemerintah harus menyediakan pedoman yang objektif dan berbasis data, sehingga aksi boikot dapat dilakukan secara tepat sasaran. Selain itu, masyarakat juga perlu mengambil langkah rasional dalam memutuskan apakah suatu produk layak diboikot atau tidak.

Aksi boikot tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga etika. Dalam perspektif bisnis, pemboikotan yang tidak terarah dapat menciptakan ketegangan dalam persaingan usaha. Di sisi lain, dari sudut pandang sosial, aksi boikot mencerminkan kepedulian terhadap isu global, seperti pelanggaran hak asasi manusia. Namun, kepedulian ini harus disertai dengan pemahaman yang komprehensif agar tidak menciptakan masalah baru di tingkat lokal.

Penutup

Kesimpulannya, aksi boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi dengan Israel harus dilaksanakan dengan hati-hati dan berdasarkan data yang akurat. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur dan mengawasi aksi ini agar tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu. Masyarakat juga perlu lebih kritis dan bijaksana dalam menyikapi himbauan boikot, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian lokal dan tenaga kerja. Dengan pendekatan yang tepat, aksi boikot dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung keadilan global tanpa merugikan kepentingan domestik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 November 2024

Yusdani
Guru Besar Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Pengurus Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM). Pengurus ICMI Kabupaten Sleman. Bidang riset pada studi Islam. 

Categories
Hukum

Presiden, DPR, dan MA Menunggu Apa Lagi

Pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung mau menunggu apa lagi untuk membenahi pengadilan kita?

Sudah banyak tulisan di pelbagai media, penelitian, dan seminar menyarankan dilakukan pembenahan total terhadap institusi pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung (MA).

Sudah puluhan, bahkan ratusan, hakim dan pegawai di semua tingkat pengadilan diberi sanksi, mulai dari yang ringan hingga berat; termasuk gelombang tangkap tangan yang dilakukan KPK.

Aktor penerima suap tidak hanya hakim, tetapi juga petugas pengadilan. Operator suap bahkan dilakukan oleh pegawai pengadilan di semua tingkat, mulai dari pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), hingga MA.

Kita masih ingat Edy Nasution, penerima suap pengurusan peninjauan kembali (PK) kasus sengketa perdata antardua korporasi besar. Juga Andri Triastianto Sutisna, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara MA, karena suap ”pengurusan” putusan hakim.

Kemudian, staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman, yang menerima suap dari pengacara Mario Carmelio Bernardo, penasihat hukum terpidana Hutomo Wijaya Ongowarsito. Puncaknya, dua sekretaris jenderal MA hingga kini masih meringkuk di lembaga pemasyarakatan.

Jauh sebelumnya, pada 2005, KPK menangkap lima staf MA, yakni Kepala Bagian Kepegawaian MA Malam Pagi Sinuhadji; Wakil Sekretaris Korpri Suhartoyo; staf Wakil Sekretaris Korpri, Sudi Ahmad; staf bagian perdata, Sriyadi; serta staf bagian kendaraan, Pono Waluyo, dalam kasus ”pengurusan” kasasi Probosutedjo.

Minggu lalu, Kejaksaan Agung menangkap mantan pejabat eselon satu MA yang diduga menjadi makelar kasus Gregorius Ronald Tannur. Ronald dibebaskan oleh majelis hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, dengan imbalan suap senilai miliaran rupiah.

Lebih mencengangkan adalah temuan uang hampir Rp 1 triliun hasil penggeledahan Kejaksaan Agung di beberapa properti milik tersangka Zarof Ricar. Uang dalam jumlah besar itu diduga hasil operasi suap-menyuap tersangka di seluruh pengadilan di Indonesia semenjak tahun 2012. Apakah pelaku bertindak sendiri? Tentu saja tidak.

Patut diduga tersangka memiliki jaringan kerja di tiap-tiap pengadilan; bisa orang dalam pengadilan (pegawai, panitera, hakim), makelar kasus lokal, pensiunan hakim, pensiunan pegawai pengadilan. Dengan kata lain, kejahatan ini bukan kejahatan individual (individual crime), melainkan kejahatan terorganisasi (organized crime) yang harus diungkap lebih jauh oleh Kejaksaan Agung.

Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.

Ragam penyimpangan

Aneka ragam tindakan menyimpang staf administrasi pengadilan dalam ”berbisnis” putusan sangat variatif, seolah tak ada bagian dari administrasi perkara yang luput dari permainan. Beberapa contoh berikut menunjukkan hal itu.

Pertama, memperlambat atau mempercepat mengunggah putusan ke direktori putusan; termasuk mempercepat atau memperlambat penyampaian salinan putusan ke terpidana, jaksa, penggugat, atau tergugat.

Kedua, menahan permohonan upaya hukum (banding atau kasasi) agar proses berlarut-larut. Ketiga, membocorkan putusan kasasi atau PK kepada terpidana yang tidak ditahan atau kepada penasihat hukum sebelum secara resmi putusan disampaikan sehingga terpidana yang berniat menghindari eksekusi punya kesempatan melarikan diri.

Keempat, menahan atau melambat-lambatkan penyerahan ekstrak vonis kepada jaksa agar terpidana punya kesempatan untuk kabur. Kelima, menahan putusan kasasi yang menguatkan atau meningkatkan vonis supaya tak buru-buru disampaikan ke pengadilan dan jaksa penuntut umum agar eksekusi tertunda, dan dalam penundaan eksekusi itu, terpidana bisa melakukan sesuatu.

Keenam, menghubungi pihak-pihak untuk merundingkan proses dan atau putusan kasasi atau PK yang diajukan.

Ketujuh, dalam perkara perdata, oknum pegawai MA menahan putusan kasasi atau PK sehingga pihak yang dikalahkan punya waktu meneruskan mengeksploitasi tambang, memetik hasil panen, menahan proses jual beli yang tinggal menunggu salinan resmi putusan.

Pembenahan

Praktik ”bisnis” putusan telah berlangsung lama, momentum perbaikan berkali-kali datang, tetapi momen tersebut berlalu begitu saja, sampai kemudian terjadi lagi suap atau gratifikasi berikutnya. Lalu, apa yang bisa dilakukan agar ada harapan?

Pertama, pemerintah, DPR, dan MA duduk bersama merevisi semua UU yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dengan fokus pada, pertama, rekrutmen hakim tingkat pertama dilakukan oleh lembaga independen Komisi Yudisial (KY) atau oleh tim seleksi yang memiliki integritas, kapasitas, dan kapabilitas.

Kedua, jadikan hakim sebagai pejabat negara (state apparatus), bukan pegawai negeri (government apparatus), agar independensi tidak terganggu oleh kewajiban-kewajiban administratif sebagai aparatur sipil negara.

Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan.

Ketiga, naikkan pendapatan hakim (take home pay). Keempat, perkuat sistem kontrol dengan menjadikan KY satu-satunya institusi yang melakukan pengawasan, setidaknya proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi sepenuhnya wewenang KY.

Kelima, staf administrasi perkara haruslah orang-orang andal, memiliki integritas dan kompetensi sesuai dengan peruntukannya sebagai pegawai pengadilan dengan mekanisme pengadaan tersendiri.

Keenam, administrasi perkara harus transparan dan akuntabel dengan basis teknologi informasi yang andal.

Ketujuh, harus ada mekanisme kontrol ketat dalam pendayagunaan teknologi informasi supaya tidak terjadi kelambanan mengunggah perkara, mengunggah putusan, tidak salah memuat nomor putusan, dan tidak terjadi perbedaan amar antara yang dimuat di laman dan salinan putusan resmi.

Langkah-langkah ini harus dilakukan segera oleh pemerintah dan DPR dengan merevisi secara luas peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Kepada pimpinan MA, bersikaplah responsif. Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan. Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 November 2024

Suparman Marzuki
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada sosiologi hukum dan hukum HAM. Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015

 

 

Categories
Pendidikan

Glorifikasi terhadap Institusi ‘Negeri’ adalah Warisan Kolonial. Perlukah Dipertahankan?

 

  • Glorifikasi terhadap institusi negeri di Indonesia adalah warisan kolonial yang terus-menerus dilanggengkan negara.
  • Ketimpangan antara perguruan tinggi negeri dan swasta menciptakan diskriminasi simbolik.
  • Masyarakat perlu menghargai kualitas serta inovasi dari berbagai ekosistem alternatif selain institusi negeri.

Di Indonesia, kita sering mendengar kalimat seperti “yang penting bisa masuk kampus negeri” atau “kerja di instansi negeri lebih terjamin”. Status ‘negeri’—baik dalam pendidikan maupun pekerjaan—kerap dianggap sebagai simbol keberhasilan, kemapanan, bahkan kehormatan sosial.

Glorifikasi terhadap institusi negeri dapat dilacak sejak masa kolonial. Pada era Hindia Belanda, hanya sebagian kecil penduduk pribumi yang memiliki akses ke pendidikan formal seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA. Kala itu, akses ke institusi ini sangat terbatas dan hanya bisa ditempuh oleh anak-anak priayi (lapisan masyarakat dengan kedudukan yang dianggap terhormat) atau mereka yang memiliki koneksi dengan kekuasaan kolonial.

Sayangnya, hingga saat ini, negara masih melanggengkan glorifikasi tersebut. Institusi negeri, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), mendapat alokasi anggaran yang lebih besar, akses ke program unggulan, dan dukungan politis yang lebih kuat. Sementara perguruan tinggi swasta (PTS) harus berjuang sendiri, dengan sumber daya terbatas dan dukungan yang minim.

Akibatnya, tidak sedikit lowongan pekerjaan yang secara eksplisit maupun implisit memprioritaskan lulusan perguruan tinggi negeri, bahkan ketika kualifikasi lulusan swasta sama atau lebih unggul dalam pengalaman dan keterampilan.

Di beberapa sektor, lulusan dari PTS masih harus ‘membuktikan diri dua kali lipat’ melalui syarat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang lebih tinggi. Ini adalah bentuk diskriminasi simbolik yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Mengapa status negeri diglorifikasi

Menurut perspektif Louis Althusser, filsuf asal Prancis, sekolah-sekolah seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA merupakan bagian dari aparatus ideologis negara, atau alat kekuasaan yang tidak bekerja dengan paksaan, tetapi melalui penanaman nilai-nilai.

Melalui sistem pendidikan, kolonialisme menanamkan gagasan bahwa menjadi bagian dari struktur negeri berarti menjadi lebih “beradab”, lebih dekat pada kekuasaan, dan lebih terhormat secara sosial.

Sementara itu, pekerjaan sebagai pegawai pemerintah kolonial—dikenal sebagai ambtenaar, dan di antara pribumi direpresentasikan lewat posisi pangreh praja—diposisikan sebagai jalur mobilitas sosial yang terhormat. Menjadi bagian dari struktur pemerintahan Belanda adalah bukti kedekatan dengan kekuasaan dan modernitas, sekaligus menjanjikan stabilitas ekonomi. Dalam kerangka pemikiran ilmuwan sosiologi Pierre Bourdieu, status sebagai bagian dari institusi negeri menciptakan kapital simbolik: bentuk pengakuan sosial yang dilekatkan bukan karena capaian substansial, melainkan karena asosiasinya dengan negara dan kekuasaan.

Menurut Frantz Fanon, psikiatris sekaligus filsuf politik asal Prancis,, masyarakat pascakolonial sering kali menginternalisasi nilai-nilai kolonial yang dulu menjadi alat penjajahan, dan menjadikannya tolok ukur kemajuan. Glorifikasi terhadap institusi negeri adalah contoh nyata dari internalisasi ini.

Jebakan dominasi pasar dan negara

Dari kacamata ekonomi-politik Gramsci, kondisi ini mencerminkan hegemoni negara dalam sistem pendidikan.

Negara memosisikan institusi negeri sebagai standar ideal, menciptakan ketimpangan akses, pendanaan, dan pengakuan antara lembaga negeri dan non-negeri. Glorifikasi status negeri dijadikan alat untuk mempertahankan dominasi negara dalam struktur sosial.

Banyak PTN juga semakin terjebak dalam logika pasar. Skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang awalnya bertujuan memberikan otonomi akademis, kini mendorong kampus untuk mencari pembiayaan sendiri.

Akibatnya, banyak PTNBH memperbesar jumlah mahasiswa, membuka program-program populer tanpa pertimbangan strategis jangka panjang, dan menaikkan biaya pendidikan. Mereka menjelma menjadi semacam kapal keruk, mengangkut sebanyak mungkin sumber daya dari masyarakat demi menjaga kelangsungan operasional, tetapi tetap dikultuskan sebagai simbol kemuliaan negara.

Dalam konteks ekonomi-politik, ini menunjukkan kontradiksi antara neoliberalisme dan patronase negara. Negara menarik diri dari tanggung jawab pembiayaan, tetapi tetap mempertahankan pengaruh simbolik dan hierarki kelembagaan. Hasilnya adalah glorifikasi kosong yang menjebak masyarakat dalam ilusi kemajuan.

Bukan norma universal

Menariknya, glorifikasi terhadap institusi negeri seperti yang terjadi di Indonesia tidak selalu berlaku di negara lain. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, universitas yang paling bergengsi justru didominasi oleh institusi swasta seperti Harvard, Stanford, dan Yale.

Status sosial lulusan juga lebih sering dikaitkan dengan reputasi akademis, kontribusi ilmiah, dan jejaring alumni, bukan semata karena afiliasi dengan negara. Bahkan universitas negeri seperti University of California atau University of Michigan bersaing secara terbuka dengan swasta, dan harus membuktikan keunggulannya lewat riset dan inovasi.

Situasi ini tidak otomatis menyingkirkan peran publik, tetapi justru mendorong institusi membangun legitimasi berbasis kualitas, bukan sekadar simbol negara.

Lepaskan ukuran lalu

Masyarakat perlu berpikir ulang tentang apa arti keberhasilan dan kemajuan, sekaligus menyadari bahwa banyak cara pandang kita terhadap status ‘negeri’ adalah hasil warisan simbolik kolonial yang layak dikaji ulang.

Institusi swasta, komunitas independen, hingga kelompok masyarakat sipil telah banyak menunjukkan kemampuan berinovasi, beradaptasi, dan menghadirkan solusi di luar struktur negara.

Misalnya, munculnya gerakan pendidikan akar rumput di berbagai daerah, inisiatif teknologi oleh anak-anak muda di start-up yang tidak pernah ‘berlabel negeri,’ atau organisasi keagamaan yang justru lebih cepat tanggap dalam menghadapi kebutuhan publik dibanding institusi formal.

Di luar glorifikasi simbolik, ada ekosistem keberhasilan lain yang tidak kalah bermakna dan layak diapresiasi.

Kita juga perlu berhati-hati terhadap jebakan meritokrasi semu yang hanya mengakui “keberhasilan” berdasarkan asal lembaga.

Dalam beberapa kasus, akses ke institusi negeri lebih ditentukan oleh latar belakang sosial dan ekonomi, sehingga memelihara glorifikasi semacam ini justru memperkuat ketidakadilan struktural.

Tanpa kesadaran akan hal ini, masyarakat akan terus melanggengkan sistem hierarki sosial yang tidak adil, hanya demi status ‘negeri’.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 25 April 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Kesehatan Sosial Budaya

Jumlah Ibu yang Berikan ASI Eksklusif Menurun : Pesan Kampanye ASI harus Lebih Efektif

Selama lima tahun terakhir, pemerintah gencar kampanyekan pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sebagai bagian dari upaya pencegahan stunting di Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama usia enam bulan pertama bayi agar tumbuh kembangnya optimal. Selama masa awal kehidupannya, bayi hanya boleh menerima ASI dan tidak boleh mendapatkan asupan makanan lain.

Sayangnya, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) melalui Survey Status Gizi Indonesia justru menunjukkan drastisnya penurunan pemberian ASI eksklusif dari 48.6% pada tahun 2021 menjadi 16,7% pada 2022. Angka tersebut jauh dari target yang dicanangkan Majelis Kesehatan Dunia (WHA) mengenai pemberian ASI eksklusif di setiap negara, setidaknya mencapai 50% pada 2025.

Meski bukan faktor penentu keberhasilan pemberian ASI eksklusif, penelitian menunjukkan bahwa kampanye ASI bisa berdampak nyata (signifikan) dalam meningkatkan jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif.

Di Indonesia, pesan kampanye ASI eksklusif selama ini berkutat seputar ASI merupakan nutrisi terbaik yang dibutuhkan bayi hingga pentingnya pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Namun, penelitian menunjukkan pesan kampanye ASI sejenis ini justru dikritisi banyak ibu menyusui (busui).

Meramu pesan kampanye ASI yang efektif

Para busui peserta penelitian di Inggris pada 2016 menilai perlunya promosi alternatif pesan kampanye ASI yang lebih efektif agar mendorong kesadaran para ibu mengenai pentingnya pemberian ASI.

Berikut elaborasi pandangan mereka soal pesan alternatif dalam kampanye ASI yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengembangkan strategi kampanye ASI eksklusif di Indonesia:

  1. Memberikan ASI adalah cara normal menyusui

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI seharusnya tidak digambarkan sebagai cara menyusui “yang terbaik,” melainkan cara menyusui “yang normal.”

Melabeli ASI sebagai “yang terbaik” berisiko menimbulkan pemahaman di antara para ibu bahwa menyusui adalah proses sulit yang hanya bisa dilakukan orang-orang tertentu. Pandangan lain yang mungkin muncul, yaitu jika ASI adalah “yang terbaik,” berarti susu formula “cukup baik” sehingga tidak masalah jika dikonsumsi bayi.

Penelitian mengenai promosi ASI  kemudian merekomendasikan agar pesan kampanye ASI adalah yang terbaik dihentikan karena justru membuat para orang tua beralih ke susu formula. Di Indonesia, angka pemberian susu formula pada bayi terus meningkat dari 45,2% pada tahun 2021 menjadi 61,6 persen pada 2022, dengan total belanja mencapai Rp3 triliun per tahun.

Sebagai gantinya, pesan kampanye berupa “pemberian ASI adalah cara normal menyusui” perlu digalakkan. Produksi ASI merupakan proses biologis normal yang dialami semua ibu usai melahirkan, kecuali ibu dengan kondisi kesehatan tertentu.

Karena itu, sangat penting untuk menormalisasi pemberian ASI sebagai “aturan biologis.” Menekankan praktik menyusui sebagai aturan biologis bisa menghasilkan efek positif.

Pertama, pesan kampanye ini bisa memotivasi para ibu untuk percaya pada kemampuan tubuhnya dalam memproduksi ASI. Kedua, menyusui tidak dijadikan sebagai pilihan, tetapi diharapkan menjadi tindakan otomatis yang dilakukan para ibu setelah melahirkan. Dengan begitu, pemberian susu formula untuk bayi jadi pilihan terakhir saat menyusui tidak bisa dilakukan.

  1. Menyusui tak mudah, ibu butuh dukungan

Dalam kampanye ASI eksklusif, menyusui digambarkan sebagai proses yang mudah, murah, dan memberikan banyak manfaat kesehatan. Pesan ini tidak keliru, tapi kurang menggambarkan situasi nyata yang dihadapi para ibu saat menyusui.

Busui menghadapi banyak sekali tantangan secara fisik dan psikis, seperti sakit di area payudara, kelelahan, khawatir berlebih, dan mudah stres akibat hormon yang tidak stabil usai melahirkan.

Penelitian menunjukkan ketidaktahuan busui mengenai tantangan saat menyusui dan cara mengatasinya membuat mereka tidak siap dan gampang menyerah saat menghadapi kesulitan dalam proses menyusui.

Penting untuk menginformasikan risiko-risiko tersebut kepada busui dan pasangannya sebelum dan selama proses menyusui. Dengan begitu, para orang tua akan lebih siap menghadapi tantangan dari proses menyusui, termasuk mengetahui kapan dan ke mana mereka harus meminta pertolongan saat menghadapi kesulitan.

  1. Efek samping susu formula

IDAI melalui Panduan Pemberian Susu Formula pada Bayi Lahir menjelaskan bahwa bayi diperbolehkan mengonsumsi susu formula jika sang bayi atau ibunya memiliki kondisi medis tertentu, seperti bayi lahir prematur atau ibu HIV positif. Selain alasan medis yang disebutkan dalam panduan tersebut, bayi di bawah enam bulan tidak dianjurkan mengonsumsi susu formula karena dapat membahayakan kesehatannya di masa depan.

Meski sudah ada kesepakatan bersama (konsensus) bahwa konsumsi susu formula harus dibatasi, penelitian menunjukkan masih adanya kesalahpahaman mengenai susu formula tidak berbahaya.

Padahal, konsumsi susu formula dalam jangka waktu lama bisa berdampak buruk pada kesehatan bayi maupun produksi ASI sang ibu. Bayi berisiko mengalami masalah medis, seperti alergi susu dan gagal mendapatkan perlindungan kekebalan tubuh dari kolostrum, cairan pertama yang dikonsumsi bayi dan keluar dari kelenjar payudara ibu, sebelum ASI.

Pemberian susu formula dalam waktu lama juga berisiko mengurangi, bahkan menghentikan produksi ASI ibu. Soalnya, bayi yang sudah terbiasa mengonsumsi susu formula cenderung malas menyusu sehingga ASI yang menumpuk dalam payudara menyebabkan pembengkakan dan nyeri yang pada akhirnya menghentikan produksi ASI. Kegagalan ASI eksklusif juga merupakan salah satu faktor risiko anak mengalami stunting di masa depan.

Kendati risiko pemberian susu formula cukup besar, belum ada upaya khusus dari pemerintah dalam menginformasikan efek samping tersebut kepada masyarakat lewat pelabelan produk maupun kampanye ASI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi telah memuat aturan pelabelan dalam produk susu formula, di antaranya pencantuman informasi nilai gizi, cara penggunaan, dan dukungan terhadap ASI eksklusif. Namun, tidak ada aturan khusus yang mewajibkan produsen untuk mencantumkan efek samping pemberian susu formula pada bayi dan produksi ASI ibu.

Padahal, dengan menyertakan efek samping susu formula lewat pelabelan produk dan kampanye ASI, kesadaran masyarakat mengenai risiko kesehatan yang ditimbulkan susu formula akan meningkat sehingga dapat memotivasi para orang tua dalam mengupayakan pemenuhan ASI eksklusif untuk bayi mereka.

Evaluasi kampanye ASI

Sudah saatnya pemerintah dan lembaga terkait mengevaluasi strategi kampanye ASI eksklusif di Indonesia. Apakah pesan kampanye yang ada saat ini masih relevan dan efektif mendorong orang tua untuk konsisten memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama bayi mereka?

Tiga pesan alternatif di atas dapat dipertimbangkan dan diuji coba sebagai upaya meningkatkan pemberian ASI eksklusif di Indonesia. Tanpa meningkatkan pemberian ASI eksklusif, rencana penurunan stunting bisa jadi hanya mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 September 2024

Lutviah
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada komunikasi pemberdayaan, promosi kesehatan, gender dan pembangunan.

 



Categories
Politik

Jokowisme, Trumpisme, dan Dinasti Politik: Bagaimana Fenomena Pendangkalan Demokrasi Kian Mendunia

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa maju dalam kontestasi pemilihan presiden kian melebarkan jalan dinasti politik yang diduga tengah dibangun oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Putusan MK akan membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk mengikuti kontestasi pencapresan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Saat ini Gibran tengah menjabat Walikota Solo. Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hal yang kemudian turut memantik kontroversi karena Kaesang hampir nihil pengalaman politik.

Yang menarik adalah PSI memunculkan dan mempopulerkan terminologi Jokowisme, terminologi yang mengagungkan figur tertentu. Metafora semu semacam ini akan turut berperan mendangkalkan praktik demokrasi. Kedaulatan rakyat kini menjadi arena pertaruhan sekelompok elit politik demi mempertahankan maupun merebut kekuasaan.

Namun, pada kenyataannya, pendangkalan demokrasi semacam ini telah menjadi tren global yang terjadi di negara-negara pelopor demokrasi seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Ini menunjukkan bahwa ternyata praktik demokrasi di dunia tengah menghadapi tantangan yang makin meningkat, yang membuat kita mempertanyakan kembali definisi demokrasi itu sendiri.

Jokowisme dan dinasti politik di Indonesia

PSI mengklaim istilah Jokowisme sebagai metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat serta memiliki paham progresivitas pembangunan negara yang berkeadilan dan berdaulat. Penjelasan ini kemudian memunculkan anggapan bahwa Jokowisme telah melampaui sekat ideologi.

Ini sekilas memberi angin sejuk bagi platform (prinsip atau kebijakan yang didukung) pergerakan partai politik di Indonesia yang kebanyakan saat ini susah dibedakan–hampir semuanya menganut platform nasionalis religius, atau sebaliknya, religius nasionalis.

PSI dan para loyalisnya menjustifikasi bahwa mereka yang mengkritik maupun menolak Jokowisme telah gagal memahami cara kerja kekuasaan. Padahal, metafora Jokowisme itu sulit dipisahkan dari kesan proses pembentukan dinasti politik bagi anak-anak Jokowi.

Dengan kata lain, secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa cara kerja kekuasaan dalam metafora Jokowisme sendiri ternyata tidak berbasis sistem meritokrasi yang mendasarkan pada kapabilitas, melainkan tidak lebih dari sekadar fanatisme terhadap tokoh tertentu. Dan ini akan sangat mendorong terbangunnya dinasti politik.

Di Indonesia fenomena dinasti politik memang tidak hanya dilakukan oleh keluarga Jokowi. Di tingkat nasional, dengan skala yang berbeda, beberapa yang masih terlihat di antaranya adalah Puan Maharani (keluarga Megawati Soekarnoputri), Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono (keluarga Susilo Bambang Yudhoyono), dan mungkin belakangan muncul Yenny Wahid (keluarga Abdurrahman Wahid).

Trumpisme dan ancaman terhadap demokrasi AS

Pendangkalan demokrasi melalui terminologi semu juga menjalar di AS. Polarisasi antara dua partai besar di AS–Partai Republik dan Partai Demokrat–terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ada istilah Trumpisme yang muncul ketika mantan Presiden AS Donald Trump maju sebagai kandidat presiden dari Partai Republik dalam Pemilu Presiden AS 2016.

Trumpisme kemudian kerap digunakan untuk menyebut arah kebijakan dan sikap Trump terhadap berbagai kebijakan, baik domestik maupun luar negeri, serta gerakan yang mendukung atau sejalan dengan pandangan Trump. Sejumlah pengamat politik AS menyebut Trump sebagai presiden yang mempromosikan autokrasi yang akan mengancam demokrasi AS.

Peter J. Katzenstein, profesor politik dari Cornell University, mendefinisikan bahwa Trumpisme terdiri dari tiga pilar yaitu etnonasionalisme, agama, dan ras. Etnonasionalisme berfokus pada loyalitas kaum kulit putih AS. Sementara, pilar agama berpusat pada kelompok Kristen sayap kanan dan isu ras meminggirkan kelompok kulit hitam, hispanik, Muslim, dan kelompok minoritas lain.

Politik yang Trump lakukan lebih berfokus kepada dirinya sendiri sebagai tokoh. Ketika kalah dalam Pemilu AS 2020, Trump memprovokasi pendukungnya hingga menciptakan kerusuhan di Gedung Capitol, bahkan sempat melontarkan wacana untuk membuat partai baru.

Arah politik yang dibawa Trump tidak selalu mewakili ideologi partai yang mendukungnya. Bahkan muncul gerakan Never Trump oleh tokoh-tokoh Partai Republik yang lebih moderat karena mereka tidak mendukung kebijakan Trump.

Menjelang Pemilu AS 2024, narasi Trumpisme masih kembali muncul dalam debat kandidat presiden Partai Republik, padahal Trump sendiri sedang berkutat dengan berbagai dakwaan hukum.

Bagaimanapun, sistem demokrasi AS yang telah dibangun berdasarkan meritokrasi sejak abad ke-18 mampu bertahan meski sempat menghadapi berbagai ancaman. Peran dan pembagian kekuasaan yang dimiliki kongres serta pemerintah negara bagian, independensi lembaga yudikatif, serta kebebasan pers menjadi pengawal dan penjamin utama berjalannya sistem demokrasi di AS.

Referendum dan prospek demokrasi Australia

Tren pendangkalan demokrasi menjadi tantangan bagi Australia sejak satu dekade terakhir. Terbaru, hasil referendum Australia yang dilaksanakan 14 Oktober 2023 menunjukkan bahwa 60,6% rakyat Australia menolak usulan untuk mengubah konstitusi agar mengakui penduduk asli (Aborigin dan Pribumi Selat Torres). Padahal, penyelenggaraan referendum ini sendiri awalnya merupakan indikasi demokrasi Australia yang kian progresif.

Sekilas, hasil referendum ini menunjukkan kedaulatan rakyat karena adanya proses pemungutan suara yang demokratis. Namun, dalam konteks praktik demokrasi, ini mencerminkan kebangkitan tren demokrasi reaksioner.

Demokrasi reaksioner adalah gambaran kebangkitan rasisme dan populisme yang sekilas tampak sebagai cerminan tuntuan masyarakat, meski sebenarnya kebangkitan tersebut adalah hasil manipulasi yang dilakukan secara sadar oleh elit untuk mendorong kemunculan ide-ide reaksioner.

Dari definisi tersebut, boleh jadi, antiklimaks hasil referendum Australia ini muncul akibat ide-ide reaksioner yang menggagalkan dukungan pengakuan penduduk asli.

Pemimpin oposisi, Peter Dutton dan politikus populis Pauline Hanson menjadi yang terdepan dalam menolak pengakuan penduduk asli dalam konstitusi.

Menurut Hanson, dukungan terhadap perubahan konstitusi hanya akan menambah kekuasaan yang dimiliki oleh penduduk asli. Pandangan ini dinilai rasis dan kian menguatkan istilah Hansonism yang dilekatkan padanya sebagai metafora antiglobalisasi. Hanson juga dikenal sebagai politikus demagog–yang menarik dukungan dengan memanfaatkan isu populer, bukan dengan menggunakan argumen rasional.

Selain antiklimaks hasil referendum, ancaman pendangkalan demokrasi Australia juga sempat marak dengan terjadinya instabilitas politik dalam pemerintahan federal, seperti pergantian perdana menteri yang sengaja dirancang oleh kolega kabinet sendiri, menyimpangi hasil pemilu.

Ujian demokrasi reaksioner: dinasti dan demagogi

Tren politik dunia yang tengah menghadapi ancaman pendangkalan demokrasi memberikan tanda bahwa perjuangan negara merawat demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia.

Meski Indonesia, Australia, dan AS menghadapi konteks masalah berbeda dalam melawan erosi demokrasi, ketiganya tampak menghadapi ujian yang sama: demokrasi reaksioner yang ditunjukkan dari praktik politik demagogi dan politik dinasti.

Di Australia dan AS, ujian ini lebih terlihat dari pergerakan demagog yang menyebarkan isu-isu reaksioner seperti etnonasionalisme, agama, dan ras. Isu ini dijadikan komoditas politik demi mendulang popularitas dan merebut kekuasaan. Untungnya, kejelasan peran oposisi dalam badan legislatif pada kedua negara tersebut sedikit banyak menangkal kampanye demagogi yang kian memprihatinkan.

Di Indonesia, tidak mudah mengidentifikasi politik demagogi. Di atas permukaan, lebih banyak muncul fenomena dinasti politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dengan sokongan fanatisme dari para pendukung yang mengidolakan patron.

Demagog dari luar terlihat sebagi seorang yang seolah memperjuangkan rakyat, padahal semua itu sekadar hasutan yang dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Jika demagog sering diidentikan sebagai suara oposan yang menebar ketakutan demi meraih kekuasaan, hal ini sulit ditemukan di Indonesia.

Pada beberapa hal, ketiadaan oposisi formal dalam sistem pemerintahan Indonesia berpotensi membuka kemungkinan politik demagogi justru dapat muncul dari pucuk penguasa.

Demi keberlangsungan nilai-nilai demokrasi di Indonesia, sikap Jokowi yang selama ini tidak netral dalam kontestasi pemilihan presiden 2024, jika memang harus diteruskan, perlu disajikan dengan pendekatan yang lebih bermartabat guna menghindari kemungkinan kebangkitan politik demagogi dari penguasa.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.

Categories
Hukum

Indonesia Sudah Lama Punya Pengadilan HAM sendiri. Mengapa Kiprahnya Jarang Terdengar?

Pemerintah meluncurkan kick off Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada 27 Juni 2023. Langkah ini diambil atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (Tim PPHAM), yang diketuai oleh Profesor Makarim Wibisono, pakar hukum HAM sekaligus eks duta besar RI.

Hingga kini, setidaknya ada12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih mangkrak. Padahal, mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia memiliki Pengadilan HAM sendiri yang mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lembaga ini sudah berdiri sejak lebih dari 20 tahun silam.

Pengadilan HAM Indonesia pernah menjadi ‘primadona’ perbincangan akademisi pada kurun tahun 2000-an. Setelah itu, seakan tertidur tak terdengar kembali rimbanya.

Pengadilan HAM Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM). Menurut ketentuannya, Pengadilan HAM merupakan bagian dari Peradilan Umum.

Indonesia saat ini memiliki empat Pengadilan HAM permanen yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Makassar, dan PN Medan. Selain itu, juga pernah dibentuk dua Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran sebelum tahun 2000.

Ketika ramai diberitakan tentang mekanisme nonyudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, para aktivis HAM kembali “mencolek” keberadaan Pengadilan HAM ini. Amnesty International Indonesia,  misalnya, masih vokal mendorong dilangsungkannya peradilan melalui Pengadilan HAM.

Jika kita punya Pengadilan HAM, mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial?

Sempitnya yurisdiksi

Setelah dibentuk pada tahun 2000, kritik terbesar bagi Pengadilan HAM adalah bahwa kompetensi kasus yang diadili terlalu sempit.

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki pernah mengkritik bahwa menunggu Pengadilan HAM menyelesaikan kasus pelanggaran di Indonesia hanyalah “harapan semu”, karena terlalu tinggi dan sempitnya level kejahatan yang dapat diadili Pengadilan HAM.

Ini karena yurisdiksi Pengadilan HAM hanya mencakup kejahatan genosida dan kemanusiaan – tipikal kejahatan yang hanya terjadi pada kondisi konflik bersenjata, atau minimal situasi internal disturbance (gangguan keamanan tingkat tinggi) semata. Sederhananya, kasus yang diadili oleh Pengadilan HAM hanya akan terjadi jika Indonesia sedang mengalami kekacauan keamanan.

Terbukti, Pengadilan HAM, baik ad hoc maupun permanen, sedikitnya baru menyelesaikan empat kasus saja sejak dibentuk. Dua pengadilan HAM ad hoc pernah mengadili kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Sementara Pengadilan HAM Permanen pernah menangani dua kasus, yaitu kasus Abepura dan Paniai di Provinsi Papua. Keduanya terjadi setelah tahun 2000. Padahal, setidaknya ada 15 kasus pelanggaran HAM yang telah diproses Kejaksaan dan seharusnya masuk menjadi kompetensi Pengadilan HAM. Artinya, ada 11 kasus yang menunggu untuk diselesaikan.

Pengadilan sandiwara

Pengadilan HAM juga banyak mendapat kritik dari kelompok pembela HAM karena dianggap sebagai “pengadilan sandiwara” dan penuh rekayasa. Nyaris semua kasus yang ditangani Pengadilan HAM hanya dianggap sandiwara semata dan cenderung memberikan kekebalan hukum pada aparat negara yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM.

Dalam kasus Abepura dan Paniai, Pengadilan HAM memvonis bebas para terdakwa yang merupakan personil TNI dan Polri.

Kasus Abepura merupakan kasus pelanggaran HAM pertama yang diselesaikan oleh Pengadilan HAM permanen. Peristiwa ini terjadi pada 7 Desember 2000. Bermula ketika sejumlah massa tak dikenal menyerang Markas Polsek Abepura yang mengakibatkan satu orang polisi meninggal dunia. Merespons penyerangan itu, pihak kepolisian melakukan pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.

Dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan polisi itulah diyakini telah terjadi kejahatan kemanusiaan, mengakibatkan setidaknya dua mahasiswa Papua tewas dan puluhan warga sipil luka-luka.

Saat itu, Pengadilan HAM menjadi harapan banyak masyarakat, terutama para korban dan keluarga korban peristiwa Abepura. Namun, majelis hakim Pengadilan HAM pada tahun 2005 justru memutus bahwa dua terdakwa yang merupakan personel aktif Polri tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.

Putusan bebas ini membuat publik pesimis bahwa eksistensi Pengadilan HAM akan membawa kemajuan bagi penegakkan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM. Sebaliknya, kasus ini justru menegaskan impunitas aparat keamanan terhadap institusi peradilan.

Sementara itu, peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014. Saat itu, warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan oleh aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Namun, pasukan militer malah menembaki warga sipil di sana. Empat pelajar tewas di tempat, satu tewas setelah sempat dirawat di rumah sakit, dan belasan orang lainnya luka-luka.

Pada 2022, majelis hakim Pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang seorang pensiunan TNI. Putusan ini dikecam banyak kelompok masyarakat sipil. Proses persidangan dianggap tidak berkualitas, penuh kejanggalan, dan seakan memang sejak awal dimaksudkan untuk gagal (intended to fail).

Carut marut konsep sejak pembentukannya

Patut dicurigai lemahnya taring lembaga Pengadilan HAM sudah “terdesain” sejak pertama dibentuk. Dengan kentalnya pelibatan TNI dan Polri dalam perumusannya, UU Pengadilan HAM justru berpotensi memberikan impunitas hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat, khususnya yang dilakukan oleh kedua lembaga negara tersebut.

Jika demikian, pantas saja kemauan politik (political will) untuk menuntaskan penanganan kasus pelanggaran HAM oleh negara selama ini sangat lemah.

Ketika pertama dibahas, konsep Pengadilan HAM digadang-gadang bertujuan untuk menangani tuntutan warga negara yang tidak terpenuhi hak-haknya. Namun, hasil pembahasan justru menyatakan bahwa lembaga ini hanya mengadili dua bentuk kejahatan semata, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua kompetensi ini sangat mirip dengan kompetensi yang dimiliki oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang dapat mengadili empat jenis kejahatan: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Ketika UU Pengadilan HAM masih dalam tahap pembahasan pada 1999, dunia internasional tengah mendesak Indonesia untuk mengadopsi dan mengakui yurisdiksi ICC guna menangani kasus pasca-disintegrasi Timor Timur.

Pun pada akhirnya, Indonesia menolak mengakui yurisdiksi ICC dan memilih membentuk Pengadilan HAM nasionalnya sendiri yang memiliki yurisdiksi yang mirip.

Padahal dua kompetensi tersebut telah dikritik sejak dalam pembahasan awal. Dalam catatan Pemandangan Umum Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, dikhawatirkan “pada masa yang akan datang bisa jadi Pengadilan HAM tidak akan dapat bekerja secara efektif, karena langkanya perkara. 

Kritik-kritik ini akhirnya menjadi kenyataan.

Hari ini, kita semakin jarang mendengar kiprah Pengadilan HAM. Sayangnya, hal ini tidak bisa serta-merta kita artikan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi semakin sedikit, karena yang terjadi adalah sebaliknya.

Label pengadilan sandiwara pun masih tersemat. Jika masalah-masalah ini tak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin penanganan kasus melalui Pengadilan HAM akan semakin ditinggalkan. Akibatnya, harapan untuk memenuhi rasa keadilan para korban pelanggaran HAM akan semakin menjadi mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.



Categories
Ekonomi Islam

Peran Strategis Bank Syariah Wujudkan Ekosistem Halal

Bank syariah sering kali hanya dipahami sebagai lembaga keuangan yang mengganti bunga dengan prinsip bagi hasil atau akad syariah. Padahal, bank syariah seharusnya berperan lebih dari sekadar lembaga komersial, tetapi juga sebagai agen perubahan dalam mewujudkan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Contohnya, Grameen Bank di Bangladesh telah sukses menjadi bis nis sosial yang memberdayakan perempuan, dengan 96,8% nasabahnya adalah perempuan. 

Para ulama dan ahli ekonomi Islam seperti Dr. Yusuf Qardawi, Monzer Kahf, dan Umer Chapra juga menekankan pentingnya peran sosial perbankan syariah melalui zakat, wakaf, dan pemberdayaan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan sebuah ekosistem dengan masyarakat nya yang memiliki gaya hidup halal (halal life style). Ekosistem semacam ini dikenal pula dengan ekosistem halal.

Bank syariah tidak hanya perlu mengembangkan produk dan layanan halal sebagai alternatif konvensional, tetapi juga harus menjadi katalisator perubahan menuju halal life style. Bank syariah seharusnya tidak mendorong konsumsi berlebihan melalui pemasaran kredit yang agresif atau penawaran hadiah yang bisa menyebabkan misalokasi pendapatan. Ekosistem halal membutuhkan sinergi lima unsur: pelaku usaha halal, lembaga ekonomi sosial, pemerintah, infrastruktur halal, dan sumber daya insani (SDI). Infrastruktur halal mencakup kawasan industri halal (KIH), laboratorium halal, sistem penelusuran halal, serta standarisasi dan sertifikasi halal. 

Dalam ekosistem halal, bank syariah memiliki empat peran strategis. Pertama, sebagai pusat keuangan bagi industri halal, bank syariah harus inovatif dalam menyediakan produk dan layanan sesuai kebutuhan industri halal, baik dalam bentuk skema pembiayaan maupun investasi. Faktanya, menurut data OJK, pembiayaan perbankan syariah tahun 2024 hanya 8,06% dari total kredit nasional, dengan 48%-nya dialokasikan ke sektor produktif, jauh di bawah rata-rata kredit produktif secara nasional (73%). Karena itu, bank syariah perlu meningkatkan strategi pembiayaan produktif agar sektor halal bisa tumbuh seperti sektor makanan, fesyen, farmasi dan kosmetik, pariwisata, dan industri kreatif halal. 

Kedua, peningkatan kualitas SDI tidak hanya tanggung jawab dunia pendidikan. Bank syariah harus berkontribusi dalam edukasi dan literasi ekonomi syariah dengan menggandeng lembaga pendidikan dan pelatihan. Program “Praktisi Mengajar” serta magang mahasiswa perlu diperluas dan diperkuat. Selain itu, edukasi ekonomi halal ke pondok pesantren dan sekolah menengah juga penting agar pemahaman ekonomi syariah tertanam sejak dini. 

Ketiga, pengembangan infrastruktur ekosistem halal membutuhkan sinergi banyak pihak, termasuk bank syariah. Pembangunan KIH, pusat kuliner halal, destinasi wisata ramah Muslim, dan UMKM halal membutuhkan keteribatan bank syariah sebagai penyedia modal, perguruan tinggi sebagai inkuba- tor bisnis, serta pemerintah daerah sebagai penyedia lokasi. Saat ini, baru ada tiga KIH yang diresmikan, yaitu di Serang Jawa Barat, Sidoarjo Jawa Timur, dan Bintan. KNEKS juga telah mengembangkan Zona Kuliner Halal Aman dan Sehat (KHAS) sejak 2022 di beberapa lokasi, dan ke depan diharapkan KIH hadir di lebih banyak wilayah, termasuk Yogyakarta. 

Keempat, sektor sosial syariah seperti zakat, sedekah, dan wakaf berperan dalam meningkatkan kesejahteraan kelompok rentan dan miskin. Bank syariah dapat berkolaborasi dengan lembaga amil zakat (LAZ) dan nadzhir wakaf dalam pemberdayaan masyarakat, baik sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) maupun lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU). Dalam hal ini, bank syariah diharapkan menjadi mediator dan inkubator bagi kelompok rentan. 

strategis tersebut, bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai entitas keuangan, tetapi juga sebagai lokomotif dalam mewujudkan ekosistem halal yang inklusif dan berkelanjutan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Februari 2025

Priyonggo Suseno
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi UII. Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Wilayah DIY. Pengawas syariah pada beberapa entitas bisnis syariah



Categories
Sosial Budaya

Refleksi Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia: Mendialogkan Pemikiran Fransiskan dengan Perspektif Sufi Yunus Emre

Kunjungan apostolik yang dilakukan oleh Paus Fransiskus ke Indonesia memberikan hikmah dan pelajaran yang berlimpah bagi seluruh umat beriman. Dalam pidato dan khotbah yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam ragam forum di Indonesia, ada satu poin utama yang coba ditegaskan oleh Paus dalam setiap penjelasannya, yaitu bagaimana umat beriman di Indonesia dapat memaknai kembali hubungan Allah, alam, dan umat manusia.

Penjelasan yang disampaikan dan solusi yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus didasarkan pada filsafat fransiskan yang berangkat dari pemikiran dan laku Santo Fransiskus dari Asisi, seorang rahib dan teolog Katolik pada Abad Pertengahan.

Pemikiran Santo Fransiskus dari Asisi juga tumbuh pada masa-masa krisis setelah kontestasi berdarah antara kuasa muslim dan kristen pada masa itu yang menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat sipil.

Hal itulah yang membuat Paus Fransiskus memilih Santo Fransiskus dari Asisi sebagai nama kepausan. Pola pikir fransiskan memberikan takhta suci Vatikan kesempatan untuk memikirkan kembali posisi agama dan takhta suci dalam krisis multidimensional yang tidak mudah pada kurun kedua abad ke-21.

Dasar pemikiran Fransiskan
Terdapat tujuh nilai dasar Fransiskan yang menjadi laku harian para pengikut tarikat fransiskan hingga masa kini dan menginspirasi pola hidup umat Katolik. Pertama, fransiskan sangat mengutamakan penghormatan dan perlindungan terhadap makhluk hidup seperti yang tergambar dalam dalam doa Santo Fransiskus dari Asisi yang menginspirasi ensiklik Laudato St.

Kedua, fransiskan memberikan tempat khusus pada perlindungan terhadap muruah dan harga diri manusia. Ketiga, fransiskan menganggap bahwa setiap manusia harus dijaga kehidupannya terlepas dari latar belakang kehidupan manusia tersebut. Keempat, fransiskan juga memberikan penekanan yang amat besar terhadap kaum miskin dan masyarakat yang memiliki kerentanan secara sosial dan ekonomi.

Fransiskan memiliki teologi kasih yang berpusat pada welas asih dan laku hidup sederhana yang memberikan umat beragama ruang eksplorasi untuk peduli pada sesama.

Kelima, fransiskan dikenal juga dengan aktivismenya dalam isu perdamaian dan rekonsiliasi konflik yang tergambar dalam slogannya Pax et bonum, damai dan kelakuan baik. Dasar dari slogan Pax et bonum itulah yang kemudian menginspirasi Paus Fransiskus untuk merumuskan dokumen bersejarah Deklarasi Persaudaraan Manusia dan ensiklik Fratelli Tutti untuk mendorong pola pikir yang menerobos kejumudan dan konflik yang tak kunjung berakhir.

Keenam, fransiskan juga beranggapan bahwa ada kesejalanan di antara keadilan dan kedamaian yang perlu berjalan secara seiringan untuk mengoreksi kuasa yang dapat berlaku lalim dan tanpa batas sehingga merugikan hidup kaum miskin dan masyarakat rentan.

Ketujuh, fransiskan memberikan peluang untuk transformasi diri yang akan berpe- ngaruh pada transformasi masyarakat se- hingga setiap orang Katolik yang mengikuti teologi Fransiskan diekspektasikan untuk menjadi agen perubahan.

Yunus Emre sebagai sufi rakyat
Dalam perspektif Islam, filsafat fransiskan dapat didialogkan secara berkelanjutan dengan filsafat sufi. Salah satu figur sufi dalam sejarah Islam, Yunus Emre, merupakan seorang tokoh yang memiliki latar belakang yang cukup serupa dengan Santo Fransiskus dari Asisi dan mengembangkan pemikirannya seputar Allah, alam, dan manusia dalam konteks sosial-politik yang cukup serupa.

Yunus Emre merupakan seorang sufi yang merakyat dan hidup mengembara dalam laku hidup miskin di tanah Anatolia (sekarang Turki), serupa dengan Santo Fransiskus dari Asisi. Sebagai seorang sufi, Yunus Emre tentunya hidup dengan bimbingan guru spiritualnya, yakni Taptuk Emre yang dikenal sebagai salah satu santri kinasih dari Maulana Jalaluddin Rumi yang tersohor dan Haji Bektash Veli yang merupakan pendiri tarikat bektashi di Turki.

Dalam menyebarkan ajaran sufinya, Yunus Emre dikenal sering membuat syair-syair yang sampai sekarang dikenal luas dan dihafal oleh masyarakat Turki secara keseluruhan. Layaknya Santo Fransiskus dari Asisi yang menyampaikan ajaran Katolik dalam bahasa Italia yang sederhana, Yunus Emre menyederhanakan ajaran agama Islam dengan bahasa Turki yang digunakan oleh rakyat sehari-sehari.

Salah satu ajaran Yunus Emre yang menjadi dasar pemikirannya ialah pentingnya untuk memahami dan mengubah diri sendiri sebelum melakukan transformasi terhadap sekitar. Hal itu tergambar dalam bait syairnya: ‘lim ilim bilmekdir, ilim ken- din bilmekdir. Sen kendini bilmezsin ya nice okumakdr yang bermakna: Ilmu itu berarti ilmu untuk memahami kebenaran, dan ilmu untuk memahami kebenaran yang paling paripurna ialah memahami diri sendiri yang menjadi bagian dari ciptaan Tuhan, seberapa besar pun pengetahuan yang dipelajari akan kebenaran, tiada bermakna tanpa pengetahuan akan diri sendiri.

Bait itu disampaikan oleh Yunus Emre sebagai kritik akan para ulama skripturalis yang terlalu berfokus akan kebenaran yang dideliberasi secara tekstual tanpa ada pe- mahaman kontekstual yang baik di alam sekitar. Teologi Islam, menurut Yunus Emre, akan menjadi tidak bermakna tanpa ada refleksi diri yang kuat dan kontekstualisasi kebenaran dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat. Pemikiran itu tentunya sejalan pula dengan laku fransiskan yang menekankan pada iman dalam laku, serta iman yang menghidupkan masyarakat dalam tindakan-tindakan yang nyata.

Teologi kasih sebagai sumber laku dan inspirasi dialog
Kesepadanan pemikiran Yunus Emre dan Santo Fransiskus dari Asisi juga terlihat dalam fokusnya akan teologi kasih. Salah satu bait puisi yang menjadi prinsip sentral dalam filsafat Yunus Emre ialah ‘sevelim sevilelim, dunyaya kimseye kalmaz (marilah mencintai dan saling memberikan cinta/ kasih karena tiada sesiapa yang akan hidup selamanya di dunia).

Ketika cinta dan kasih menjadi inti dalam laku agama, ia akan menggerakkan umat beriman untuk berlaku damai dan baik pada sesama. Dalam salah satu ceramahnya, Paus Fransiskus menyampaikan bahwa teologi penuh hikmat kebijaksanaan (sapiential the ology) ialah teologi kasih. Paus Fransiskus menjelaskan pula bahwa siapa pun yang hidup tanpa kasih, ia hidup tanpa Tuhan karena esensi Tuhan ialah kasih.

Sikap kasih mendorong manusia untuk sadar bahwa materialisme dunia bukan merupakan tujuan, melainkn sekadar alat yang membantu manusia untuk melanjut kan hidup di dunia. Sikap berserah diri pada Tuhan-lah yang selayaknya menjadi referensi untuk menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual di dunia yang fana.” Itu tergambar pula dalam bait Yunus Emre, ‘neyi sever isen imann oldur, nice sevmeyesin sultann oldur,(keimanan seseorang itu bergantung apa yang ia kasihi dan apalah arti kasih itu jika tidak dapat memahami kasih sejati yang berasal dari sang Penguasa).

Dalam bait yang lain, Yunus Emre bahkan mengritik sikap rakus dan eksploitatif ma- nusia sebagai salah satu dasar terjadinya konflik yang merugikan sesama manusia dan merusak lingkungan sekitar. Hal itu tergambar dalam bait ‘ana durur buhl u hased key mubariz durur gayet, kokunu kaz yabana at farig otur ey gam- güzar (di mana pun ada sikap kikir dan cemburu, di situlah ada seteru yang menderu. Maka, bersihkanlah jiwamu dan jauhkanlah dirimu dari sikap- sikap seperti itu).

Dalam beberapa kesempatan, Paus Fransiskus juga mengingatkan bahwa sikap materialisme dan hoarding (menumpuk barang) sebagai laku konsumerisme ekstrem yang menjauhkan seseorang dari kebenaran Tuhan, yang menekankan hidup penuh kasih dan hidup yang berbagi pada sesama. Seperti yang tercantum di dalam ensiklik Fratelli Tutti, konflik yang terjadi di dunia merupakan ejawantah dari keserakahan material yang marak terjadi di dunia ini. Sudah selayaknya laku hidup reflektif dan kembara yang dilakukan oleh Yunus Emre dan Santo Fransiskus dari Asisi menjadi inspirasi yang memberikan manusia peluang untuk memotong rantai konflik dengan memahami lingkungan sekitar secara lebih mendalam.

Dengan mendialogkan ajaran fransiskan dan Yunus Emre itu, sudah selayaknya dialog-dialog yang lebih intensif layak dibuka antarumat Islam dan umat Katolik, utamanya dalam isu-isu spiritualisme yang bersifat kontekstual dan menapak tanah. Hal itu amat penting dilakukan untuk mentransformasi agama yang tidak hanya eksis sebagai sekumpulan doktrin, tetapi juga menjadi semangat hidup yang dapat menginspirasi solusi akan masalah-masalah yang mendera masyarakat Indonesia dan dunia.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Media Indonesia pada tanggal 13 September 2024

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.