Categories
Politik Sosial Budaya

Urgensi Perda Kebudayaan

Kota Yogyakarta sampai tahun 2025 ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara khusus mengenai kebudayaan. Meski pada tingkat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah diatur secara komprehensif di dalam Perdais DIY Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan, tetapi sebagai kota yang memiliki kewenangan tersendiri sudah sepatutnya Kota Yogya karta juga memiliki Perda Kebudayaan. 

Sedikit lebih maju daripada Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul telah memiliki Perda khusus mengenai pengelolaan kebudayaan sejak tahun 2022 lalu. Perda tersebut setidaknya dapat menjadi pijakan dan jaminan akan hadirnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam urusan kebudayaan, baik sekarang maupun mendatang. 

Mendesak 

Setidaknya ada beberapa argumentasi mengapa pembentukan Perda tentang Kebudayaan sangat urgen untuk segera diwujudkan di Kota Yogyakarta. Secara filosofis, sebagai bagian dari DIY, Kota Yogyakarta mewarisi nilai-nilai luhur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat. Warisan budaya tersebut perlu dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan dan dibina agar terus lestari. Pemerintah Daerah harus hadir dalam rangka mempertahankan eksistensinya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan di tengah tantangan dan hambatan peradaban daerah. 

Secara sosiologis, tren positif pengelolaan kebudayaan yang dianggap telah baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Raihan kategori terbaik/emas oleh Kota Yogyakarta dalam penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 dari Kementerian Kebudayaan, perlu juga diimbangi dengan kontribusi murni Kota Yogyakarta kepada pengelolaan kebu- dayaan. 

Saat ini, kontribusi Kota Yogyakarta dalam tata kelola kebudayaan, secara mayoritas masih dalam kedudukannya sebagai pelaksana dan penerima tugas urusan keistimewaan bidang kebudayaan dari Pemerintah DIY, bukan murni dari inisiatif atau otonomi Kota Yogyakarta. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberikan kesempatan kepada Pemerintah Kota untuk juga turut aktif dalam memajukan dan melestarikan kebudayaan di daerahnya.

Secara yuridis, kontribusi yang belum optimal di atas dapat dimaklumi karena Pemerintah Kota Yogyakarta sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Tahunan 2023 Dinas Kebudayaan mengamini sendiri bahwa Kota Yogyakarta memiliki keterbatasan perangkat regulasi teknis terkait dengan pelestarian, pengawasan, dan pengembangan seni budaya di Kota Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasi- kan bahwa terjadi kekosongan hukum bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan tata kelola kebudayaan yang berlandaskan atas otonomi daerah. 

Materi Muatan 

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka ke depan, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta perlu segera membentuk Perda Kota Yogyakarta tentang Kebudayaan. Materi muatan yang perlu diatur dapat berisi beberapa hal berikut. Pertama, sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan antara Pemerintah Daerah DIY dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tujuannya bukan untuk memperumit pembagian kewenangan, tetapi justru dapat memperjelas masing-masing kewenangan dari dua daerah tersebut. Di samping sebagai pelaksana tugas dari Pemerintah DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta juga perlu dimak- simalkan kontribusinya seba- gai daerah yang memiliki kewenangan tertentu. 

Kedua, pemetaan mengenai objek kebudayaan.yang bersumber dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat yang memang berada di Kota Yogyakarta di antaranya nilai hamemayu hayuning bawana, segoro amarto, dan rewang/balad. Ketiga, perlu pengaturan mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan urusan di bidang kebudayaan yang dapat terdiri pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. 

Keempat, pemeliharaan dan pengembangan rintisan ke lurahan budaya serta kelurahan budaya. Dua entitas ini perlu diberi pembinaan dan pelestarian melalui diantaranya peningkatan manajemen, kungan dan fasilitasi sarana dan prasarana serta pendampingan tenaga teknis. Ketentuan ini menjadi lokalitas (local wisdom) karena menjadi kekhasan Kota Yogyakarta. Kelima, pemberian pengha gaan kepada pihak-pihak yang telah be. prestasi dan berperan penting dalam upaya pengelolaan kebudayaan. Penghargaan dapat berupa fasilitas, insentif dan bentuk lainnya. 

Keenam, peran serta masyarakat. Ketentuan ini mengatur mengenai peran apa saja yang dapat diberikan oleh masyarakat di dalam pengelolaan kebudayaan. Peran serta dapat berupa bantuan upaya pengelolaan kebudayaan, bantuan pendanaan, melakukan pelindungan sementara, melakukan advokasi publikasi dan sosialisasi serta pengawasan terhadap upaya pengelolaan kebudayaan. Ketujuh, dukungan pendanaan dalam pelaksanaan pengelolaan kebudayaan. 

Beberapa materi muatan di atas perlu dipertimbangkan agar kehadiran Pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih nyata dalam memberikan kontribusi dalam pengelolaan kebudayaan sebagai daerah otonom, bukan hanya dalam kedudukannya melaksanakan tugas dari Pemerintah DIY. Tentu saja hal ini bertujuan agar potensi kebudayaan di Kota Yogyakarta menjadi optimal secara khusus dan secara umum kebudayaan DIY dapat lestari secara maksimal.



Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 26 Maret 2025

M. Addi Fauzani
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII

Categories
Sosial Budaya

‘Ecohorror’, Alternatif untuk Film Horor Religi di Indonesia

Sutradara Indonesia, Gina S. Noer melayangkan kritik terhadap tren film horor yang sedang berkembang di Indonesia. Ia menyayangkan para sineas yang cenderung mencari jalan cepat untuk menciptakan efek seram dengan memanfaatkan ritual ibadah, alih-alih mengutamakan variasi dan kedalaman cerita. Banyak kalangan juga mempermasalahkan bagaimana agama direduksi sedemikian rupa dan hanya menjadi alat untuk membuat adegan-adegan seram.

Kiblat (2024) menjadi salah satu film yang banyak disorot. Mulai dari poster yang dinilai menistakan agama karena menampilkan sosok seperti iblis sedang salat sampai penggunaan judul ‘kiblat’ yang dianggap menjelek-jelekkan ka’bah selaku tempat suci. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan meminta Agung Saputra, sutradara Kiblat, beserta timnya untuk meminta maaf kepada publik.

Eksploitasi agama di film horor bukanlah hal baru. Sejak rezim Orde Baru, ketatnya sensor pemerintah terhadap film demi menjaga stabilitas rezim, membuat mayoritas pembuat film memilih jalan yang relatif lebih aman. Caranya dengan memproduksi film horor yang mengandung unsur adegan ranjang dan kesadisan, sambil mempromosikan moralitas bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan dan bertakwa kepada Tuhan adalah solusi keselamatan.

Setelah reformasi, mulai muncul film horor yang berani ‘menghilangkan’ kesakralan agama. Sosok kiai atau ustaz tidak lagi menjadi solusi mutlak dari serangan roh jahat. Namun, terlepas dari posisi agama dalam narasi film, ia tetap menjadi menu wajib bagi film horor.

Ini menunjukkan kurangnya eksplorasi sineas terhadap isu religiusitas di masyarakat. Isi film horor hanyalah pengulangan adegan-adegan horor dalam suatu praktik ibadah, misal orang salat yang dimakmumi hantu atau hantu yang bisa memutus doa seseorang. Seolah-olah, tidak ada formula atau ide cerita lain untuk film horor di Indonesia.

Padahal, film horor memiliki potensi sebagai medium yang bisa membicarakan beragam isu penting, termasuk isu lingkungan. Terlebih, masyarakat kita tidak kekurangan cerita-cerita mengenai alam yang bisa mendatangkan celaka kepada siapapun yang mengusiknya.

Apa itu genre ‘ecohorror’?

Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia.

Dalam genre ini, alam direpresentasikan sebagai kekuatan-kekuatan mengerikan yang mengancam manusia gara-gara aktivitas eksploitatif. Salah satu contoh yang paling sering dibahas adalah Godzilla (1954)—film tentang monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

Dalam perkembangannya, ecohorror semakin mempunyai banyak varian cerita yang mengeksplorasi bentuk-bentuk hubungan antara manusia, alam, dan terutama mahluk hidup lainnya.

Deep Blue Sea (1999), misalnya, menggambarkan ilmuwan yang melakukan eksperimen untuk meningkatkan kapasitas otak hiu dalam upaya menemukan obat alzeimer. Namun, situasi berubah horor ketika hiu yang semakin cerdas memburu para ilmuwan dan staf di fasilitas penelitian mereka.

‘Ecohorror’ dan upaya memahami alam di Indonesia

Jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih sedikit. Genre ini tak banyak dibahas baik di ranah populer maupun akademis. Sejauh ini, saya hanya menemukan penelitian tahun 2023 yang secara spesifik membicarakan ecohorror, khususnya dalam konteks perfilman di era Orde Baru.

Menurut riset tersebut, film Ratu Buaya Putih (1988) dan Titisan Dewi Ular (1990) mempunyai formula yang serupa yaitu kemarahan alam atas perbuatan manusia.

Dalam Ratu Buaya Putih, perilaku eksploitatif manusia ditunjukkan lewat pembantaian buaya oleh tokoh bernama Sumarna dan Jefri demi kepentingan bisnis, sedangkan dalam Titisan Dewi Ular, persoalannya adalah spesies ular yang eksistensinya terancam oleh tokoh bernama Dayan demi memperoleh kesaktian. Kedua film tersebut lantas menghadirkan pembalasan alam melalui representasi roh-roh dengan wujud siluman buaya dan siluman ular.

Pada konteks film Indonesia kontemporer, genre ecohorror juga mulai muncul. Sayangnya, isinya masih didominasi narasi yang menempatkan alam sebagai entitas berbahaya.

Seri Kisah Tanah Jawa: Merapi (2019), misalnya, berbicara mengenai demit gunung Merapi yang bisa menculik manusia untuk dijadikan pengantin. Ceritanya mengadopsi kisah yang berkembang di masyarakat mengenai gunung sebagai tempat angker, kerajaan makhluk halus, kemudian pendaki yang hilang dan diculik oleh bangsa jin untuk dijadikan sebagai pengantin.

Namun, karena terlalu fokus pada penciptaan teror, seri ini berhenti pada penggambaran gunung yang misterius dan berbahaya. Sementara manusia sekadar diposisikan menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai kekuatan jahat di sana. Narasi ini berpotensi menciptakan ecophobia (ketakutan irasional terhadap alam) alih-alih tergerak untuk memahami alam secara lebih mendalam.

Memang, risiko membuat audiens menjadi ecophobic tetap ada pada setiap film ecohorror. Sebab, ecohorror adalah genre yang kerap menghadirkan kengerian kepada penonton, entah melalui monster atau perubahan iklim yang membawa bencana.

Namun, kita tetap butuh film ecohorror yang memberi penekanan kuat terhadap kerusakan alam akibat ulah manusia agar muncul rasa bersalah atau, paling tidak, kegelisahan di antara penonton sehingga memantik perbincangan terkait isu-isu lingkungan.

Potensi genre ‘ecohorror’

Meski jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih terbatas, Indonesia memiliki kekayaan cerita yang secara dialogis mewacanakan hubungan antara alam, entitas makhluk gaib, dan manusia.

Di YouTube, misalnya,acara-acara talkshow berbasis paranormal experience telah banyak memuat cerita bagaimana para pendaki gunung memperoleh gangguan jin gara-gara mengotori lingkungan,  seperti mengotori tempat-tempat sakral atau membuang pembalut sembarangan. Biasanya mereka baru bisa lepas dari gangguan tersebut setelah meminta maaf kepada si jin penjaga gunung.

Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara.

Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya.

Kontekstualisasi ‘ecohorror’

Industri perfilman luar negeri sudah banyak mengeksplorasi variasi tema dalam genre ecohorror. Godzilla merupakan salah satu monster yang filmnya paling sering direproduksi dan kerap menjadi perbincangan terkait isu-isu lingkungan. Jika film Godzilla pertama (1954) menyuguhkan pesan mengenai bom nuklir yang membawa petaka, Godzilla versi baru menyajikan tema perubahan iklim dan kepunahan massal.

Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menggunakan formula film ecohorror dari luar.

Sebagian besar masyarakat Indonesia barangkali tidak bisa terhubung dengan kisah monster yang bangkit gara-gara ledakan nuklir atau monster yang tercipta akibat eksperimen sains tertentu. Namun, mereka jelas punya kedekatan terhadap kisah para pendaki gunung yang tersesat ke desa gaib karena membuang pembalut sembarangan. Jutaan views di kanal YouTube RJL 5 saat mengundang narasumber-narasumber yang mengklaim punya pengalaman soal penunggu gunung, misalnya, menguatkan hal ini.

Dengan minat yang tinggi terhadap isu-isu pengalaman gaib, film-film ecohorror bisa menjadi salah satu medium untuk mengarusutamakan isu lingkungan di tengah masyarakat. Meski film horor sendiri bersifat dinamis, fleksibel, dan terbuka untuk berbagai interpretasi, mengeksplorasi ecohorror bisa menjadi langkah awal untuk memantik dialog terkait isu lingkungan, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang kerap abai terhadap kelestarian alam.

Minimal, film ecohorror bisa mengajak kita untuk berpikir ulang: masihkah kita berupaya memahami alam dan bahasa-bahasanya dengan benar?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 17 April 2024

Khumaid Akhyat Sulkhan
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bergiat di Klub Studi Simulakra. Bidang riset pada kajian media dan budaya digital.

Categories
Hukum Kesehatan

Rokok dan UU Kesehatan 2023

Polemik dan perdebatan tentang rokok dan kesehatan adalah polemik lama berkepanjangan yang tampaknya tidak akan pernah usai. Seilmiah apa pun hasil penelitian kesehatan menunjukkan bahaya rokok dan menghirup asap rokok. Pada faktanya banyak orang merokok yang tetap sehat dan bugar, sebaliknya tidak sedikit juga orang yang tidak merokok tetapi memiliki masalah yang kompleks terhadap kesehatannya.

Kondisi ini bersamaan pula dengan merebaknya penjual rokok, baik yang legal maupun ilegal, bahkan belakangan semakin banyak bermunculan merek-merek rokok baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Maka tidak heran, jika berhenti merokok untuk alasan kesehatan belum menjadi kesadaran bersama masyarakat Indonesia.

Mari kita coba kembali pada persoalan klasik mengenai merokok atau hak untuk merokok. Banyak orang berasalan bahwa merokok adalah hak asasi setiap orang. Oleh karena itu, sama dengan komponen hak lainnya, negara berkewajiban untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati hak tersebut. Benarkah demikian menurut konsepsi hak asasi manusia?

Dalam konsepsi hak asasi manusia, merokok bukanlah bagian dari hak asasi, sebaliknya yang merupakan hak asasi adalah hak untuk sehat dan mendapatkan udara yang sehat. Oleh karena itu, justru yang harus dilakukan dan dilindungi oleh negara adalah jaminan bahwa setiap orang mendapatkan udara yang bersih, segar, dan sehat.

Dengan demikian, apakah merokok mejadi terlarang? Tentu tidak, merokok sah-sah saja bagi siapa pun yang menginginkannya, bahkan merokok dapat mejadi hak jika kebolehannya ini diatur dalam sebuah peraturan, misalnya dalam peraturan daerah. Namun, dalam konteks ruang publik, negara justru wajib memastikan agar setiap orang terbebas dari asap rokok yang dapat mengganggu kesehatannya. Jadi, merokok justeru dapat bahkan harus dilarang jika berpotensi atau telah mengganggu hak mendapatkan udara yang segar dan sehat.

Kewajiban di UU Kesehatan

Saat ini, pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan 2023) yang salah satunya mengatur tentang rokok. Dari aspek formal prosedural, ini kali kesekian pemerintah dan DPR mengesahkan UU secara tergesa-gesa, tidak melewati partisipasi yang memadai, juga tidak melalui kajian yang cukup baik.

Dampaknya, tidak ada dasar dan pijakan ilmiah terhadap pilihan kebijakan yang diambil. Salah satu misalnya adalah kesalahan berpikir dalam memaknai rokok dan hak asasi manusia. Misalnya ketentuan Pasal 151 UU Kesehatan 2023 yang berbunyi, “Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok”.

Pasal ini mewajibkan agar tempat-tempat publik menyediakan tempat khusus bagi perokok. Sekilas, ini seperti jalan tengah antara perokok dan bukan perokok, ini seperti jalan keluar agar perokok tetap mendapatkan tempat untuk merokok, di sisi lain tidak mengganggu orang yang tidak merokok.

UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut.

Namun, jika dilihat lebih dalam, Pasal 151 ini justru ambigu, anomali, dan bertentangan dengan UUDN RI Tahun 1945. Pasal 28H UUD menegaskan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.

UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut. Dengan demikian, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, dan tempat umum sejatinya harus membantu memastikan agar tempat publik terbebas dari asap rokok.

Selain itu, jika ketentuan di atas disahkan, lalu ada pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja dan tempat umum yang karena menjalankan mandat konstitusi ingin melindungi hak atas lingkungan yang sehat, dengan cara tidak menyediakan tempat khusus merokok, maka akan mendapatkan sanksi, karena frasa ”wajib” dalam pasal tersebut. Ini sangat anomali, bagaimana mungkin ada pihak yang melindungi masyarakat dari lingkungan yang kotor akibat asap rokok justru mendapatkan hukuman.

Ini mengindikasikan bahwa ketentuan pasal tersebut harus ditinjau ulang, jalan singkat yang dipilih oleh DPR dan pemerintah ini akan berdampak fatal bagi jaminan atas hak mendapatkan udara sehat dan segar. Terlebih, penormaan ini dengan mengesampingkan partisipasi publik yang memadai. Sejatinya, urusan rokok ini sudah sangat jelas terpampang di bungkusnya bahwa ”merokok membunuhmu”, jika pemerintah mewajibkan penyediaan tempat khusus untuk merokok, tampaknya mengamini adagium itu.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 26 Juli 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.



Categories
Ekonomi

PPN 12 Persen, Penggerak atau Pengerem Ekonomi Rakyat?

Meski kebutuhan pokok seperti sembako sebagian besar dikecualikan, barang-barang sekunder yang juga krusial bagi konsumsi rumah tangga akan terkena imbasnya.

 

Mampukah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen menjadi penggerak ekonomi melalui optimalisasi pendapatan negara, atau justru akan menjadi pengerem ekonomi yang melemahkan daya beli dan sektor riil?

Pemerintah berdalih, langkah menaikkan tarif PPN diperlukan guna meningkatkan penerimaan negara demi pembiayaan pembangunan berkelanjutan. Namun, bagi masyarakat kecil, kebijakan ini menyulut kekhawatiran baru. Harga barang dan jasa yang kian melonjak menjadi beban berat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Keputusan pemerintah untuk meningkatkan tarif PPN bukanlah langkah yang diambil tanpa dasar. Sejak awal diterapkannya sistem PPN di Indonesia pada 1984, kebijakan ini dirancang sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara. Dalam beberapa dekade terakhir, PPN menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas fiskal.

Ketika defisit anggaran meningkat, seperti yang terjadi selama pandemi Covid-19, pemerintah berupaya mencari cara untuk menutup celah pendanaan tanpa terlalu membebani kelompok berpenghasilan rendah.

Pilihan untuk menaikkan PPN, dibandingkan pajak lainnya, karena PPN dianggap memiliki basis yang lebih luas dan efisien dalam pengumpulan.

Namun, sejarah juga mencatat, setiap kali terjadi kenaikan tarif PPN, respons masyarakat tak pernah sederhana.

Pada tahun 2001, ketika tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen, terjadi peningkatan inflasi sebesar 1,2 persen yang langsung memukul daya beli masyarakat. Situasi serupa terjadi pada 2022 ketika PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen, dengan lonjakan inflasi mencapai 4,2 persen.

Dengan memahami histori ini, kita dapat melihat mengapa pemerintah memilih kebijakan ini meski menyadari potensi risiko ekonomi yang menyertai.

Dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari berbagai perspektif. Dalam konteks pemulihan ekonomi nasional, pendapatan pajak yang meningkat diyakini mampu mendukung program-program prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Namun, pada saat yang sama, daya beli masyarakat yang rendah akibat kenaikan harga dapat menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi lokal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi tahunan pada 2024 diproyeksikan berada di kisaran 4-5 persen, sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga barang dan jasa yang dikenai PPN. Dengan basis data ini, penting untuk menganalisis lebih dalam dampak dan potensi dari kebijakan kenaikan tarif PPN.

Perspektif pemerintah

Pemerintah mengklaim meningkatkan tarif PPN adalah langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara. Dengan meningkatnya penerimaan pajak, pemerintah dapat melanjutkan program prioritas nasional seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, dan pendidikan.

Pada tahun 2023, pendapatan pajak Indonesia mencapai Rp 1.716 triliun, di mana PPN menyumbang sekitar 38 persen dari total pendapatan tersebut. Dengan peningkatan tarif menjadi 12 persen, pemerintah memproyeksikan tambahan penerimaan hingga Rp 150 triliun per tahun, yang dapat dialokasikan untuk berbagai program pembangunan.

Selain itu, pemerintah menekankan bahwa tarif 12 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Filipina dan Vietnam yang mengenakan PPN hingga 15 persen. Klaim ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam batas wajar secara regional.

Namun, klaim ini perlu diuji lebih jauh. Apakah dana yang terkumpul benar-benar dikelola secara efisien dan tepat sasaran? Tantangan utama kebijakan fiskal di Indonesia bukan hanya pada aspek penerimaan, melainkan juga pada pengelolaan dan transparansi anggaran.

Pemerintah juga berargumen, kenaikan tarif ini tak serta-merta membebani rakyat kecil karena beberapa barang dan jasa kebutuhan pokok dikecualikan dari PPN. Namun, pertanyaan tetap ada: bagaimana kebijakan ini berdampak pada barang sekunder dan jasa lainnya yang turut memengaruhi konsumsi masyarakat? Dampak jangka pendek seperti penurunan daya beli dan inflasi perlu menjadi perhatian serius untuk memastikan kebijakan ini tidak menghambat pemulihan ekonomi.

Pemerintah mengklaim meningkatkan tarif PPN adalah langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara.

Dampak pada ekonomi rakyat

Kenaikan tarif PPN berpotensi menimbulkan efek domino terhadap perekonomian rakyat. Salah satu dampaknya, lonjakan harga barang dan jasa.

Meski kebutuhan pokok seperti sembako sebagian besar dikecualikan, barang-barang sekunder yang juga krusial bagi konsumsi rumah tangga akan terkena imbasnya. Menurut survei BPS di triwulan I-2024, pengeluaran rumah tangga pada barang sekunder mengalami penurunan hingga 12 persen dibandingkan dengan periode sama 2023. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran konsumen akan kenaikan harga akibat PPN.

Efek ini bukan hanya bersifat ekonomi, melainkan juga psikologis, melemahkan daya beli masyarakat yang sudah rentan. Dalam konteks ekonomi mikro, teori permintaan menunjukkan kenaikan harga biasanya menyebabkan penurunan konsumsi, terutama untuk barang yang elastis. Daya beli masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada pada level menengah ke bawah membuat mereka lebih sensitif terhadap perubahan harga.

Bagi sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, dampaknya lebih nyata. UMKM menyumbang sekitar 61 persen produk domestik bruto (PDB) dan mempekerjakan lebih dari 97 persen tenaga kerja nasional. Tekanan biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan tarif PPN bisa mengurangi margin keuntungan mereka.

Di sisi lain, penurunan konsumsi domestik berisiko mengurangi omzet UMKM dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.

Kebijakan ini juga menyoroti sifat regresif dari PPN, di mana beban pajak cenderung lebih berat dirasakan oleh kelompok berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok kaya. Data OECD menunjukkan bahwa sistem pajak regresif dapat memperburuk ketimpangan ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini berpotensi memperlebar ketimpangan ekonomi jika tidak diimbangi dengan kebijakan redistributif yang efektif.

Kebijakan penyeimbang

Untuk memastikan kenaikan tarif PPN tidak menimbulkan gejolak yang terlalu besar, diperlukan kebijakan penyeimbang yang komprehensif.

Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi UMKM untuk meredam dampak kenaikan tarif ini. Sebagai contoh, pembebasan pajak untuk bahan baku tertentu yang digunakan UMKM dapat menjadi solusi untuk menekan biaya produksi. Selain itu, perluasan program bantuan sosial yang tepat sasaran juga menjadi solusi penting untuk menjaga daya beli masyarakat miskin.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk bantuan sosial pada tahun 2024 mencapai Rp 470 triliun, tetapi efektivitas distribusinya masih perlu ditingkatkan.

Pengalaman negara-negara seperti Jerman dan Swedia menunjukkan bahwa tarif PPN yang tinggi bisa diterapkan tanpa menekan ekonomi rakyat, asalkan diimbangi dengan subsidi langsung dan insentif yang memadai. Di Jerman, subsidi untuk energi dan transportasi publik membantu meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pajak. Tanpa langkah ini, kenaikan tarif PPN hanya akan menambah beban tanpa memberikan manfaat nyata bagi rakyat.

Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan literasi pajak di kalangan masyarakat juga penting. Sebagai bagian integral dari ekosistem ekonomi, masyarakat memiliki peran penting dalam menyikapi kebijakan ini. Salah satu langkah awal adalah meningkatkan pemahaman tentang pajak, termasuk tujuan kenaikan tarif PPN dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.

Dengan memahami konteks kebijakan, masyarakat bisa mengurangi resistensi yang berbasis pada kesalahpahaman.

Untuk memastikan kenaikan tarif PPN tidak menimbulkan gejolak yang terlalu besar, diperlukan kebijakan penyeimbang yang komprehensif.

Langkah mitigasi

Agar kenaikan tarif PPN menjadi langkah yang konstruktif, pemerintah perlu menyiapkan strategi mitigasi yang komprehensif untuk meredam dampak negatif kebijakan ini, terutama bagi masyarakat kecil dan sektor UMKM.

Pertama, memberikan subsidi langsung untuk barang dan jasa esensial dalam kehidupan masyarakat, seperti transportasi publik, bahan bakar, dan energi rumah tangga, untuk menjaga daya beli masyarakat.

Kedua, memberi insentif pajak bagi UMKM dan sektor riil, berupa pembebasan/pengurangan PPN untuk bahan baku tertentu yang digunakan UMKM dan insentif khusus untuk sektor riil yang terdampak langsung. Ini bisa membantu pelaku usaha menekan biaya produksi dan menjaga stabilitas operasional.

Ketiga, perluasan dan efisiensi program bansos. Meningkatkan cakupan dan ketepatan sasaran program bansos seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau kartu sembako. Penggunaan data terkini yang akurat sangat penting untuk memastikan bantuan ini sampai kepada yang benar-benar membutuhkan.

Keempat, kebijakan harga yang terjangkau untuk kebutuhan pokok. Mengendalikan harga barang kebutuhan pokok melalui pengawasan rantai distribusi, serta memberikan insentif kepada produsen untuk menjaga stabilitas harga di tengah kenaikan tarif pajak.

Kelima, edukasi dan literasi pajak bagi masyarakat dan pelaku usaha. Keenam, penguatan transparansi dan akuntabilitas dana publik. Ketujuh, peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran. Memastikan setiap tambahan penerimaan negara dari PPN digunakan secara optimal, mengurangi pemborosan, dan memprioritaskan proyek yang memberi dampak sosial-ekonomi terbesar. Kedelapan, monitoring dan evaluasi dampak kebijakan.

Dengan menerapkan langkah-langkah mitigasi ini, pemerintah tidak hanya dapat meminimalkan dampak negatif kebijakan kenaikan PPN, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan fiskal yang diambil.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Desember 2024

Listya Endang Artiani
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi UII. Bidang riset pada makroekonomi, ekonomi moneter, dan ekonomi energi